Friday, October 18, 2013

Radikalisme VS Deradikalisasi



Jihad
Dari sekian variabel yang dapat menciptakan radikalisme, doktrin jihad boleh dibilang memainkan peran kunci. Sebab, meskipun seorang Muslim menganut paham radikal dalam soal penegakan Syariat Islam dan cita-cita pembentukan khilafah Islamiyah, tidak akan memberikan konsekuensi praktis, selama tidak dibarengi doktrin jihad.
Dengan kata lain, pemahaman kaku tentang jihad berpotensi mengantar seorang Muslim menjadi radikal yang destruktif, dengan menggunakan berbagai instrumen kekerasan untuk membunuh dan/atau terbunuh, dengan alasan berjihad.
 pemaparan tentang jihad ini juga disajikan secara head-to-head antara radikalisme dan deradikalisasi: setiap pendapat dan gagasan tentang jihad di pihak radikal akan langsung disandingkan dengan pendapat dan gagasan pembandingnya.
Namun, sekali lagi, harus ditegaskan bahwa pemaparan argumen dengan argumen tandingannya secara head-to-head akan terlihat bahwa pada bagian tertentu, argumen radikalisme yang lebih kuat, sementara pada bagian lain, giliran argumentasi deradikalisasi yang lebih rasional. Kemungkinan seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Sebab, dalam rangka deradikalisasi, persoalan benar dan salah menjadi nomor dua. Dan yang paling penting adalah bahwa setiap gagasan dan penafsiran selalu tersedia gagasan dan penafsiran pembandingnya.

5.1.        MAKNA JIHAD
Radikalisme: Kata jihad, berasal dari asal kata jim-ha’-dal (j-h-d), yang berarti upaya yang sungguh-sungguh.
Dari segi terminologi, konotasi awal dari kata jihad adalah berperang dan bertempur di jalan Allah (jihad fi sabilillah), atau biasa juga disebut ghazwah (perang). Meskipun jihad dapat pula diartikan perbuatan amal shaleh lainnya atau melawan hawa nafsu.
Deradikalisasi: Dari segi terminologi secara umum jihad berarti suatu perbuatan amal shaleh yang dilakukan dengan penuh kesungguhan guna menyelesaikan suatu masalah atau untuk mencapai suatu tujuan mulia yang diridhai Allah swt. Karena itu, terdapat beberapa variasi perbuatan jihad, antara lain:
Pertama, bertempur di medan perang untuk melawan musuh Islam.
Kedua, menunaikan ibadah guna meraih haji mabrur. Haji diposisikan sebagai jihad karena selain membutuhkan dana, juga kekuatan fisik. Hampir seluruh manasik haji membutuhkan tenaga fisik, mulai dari tawaf, sai, melontar jumrah, perjalanan dari satu titik ke titik lokasi manasik lainnya. Bahkan di zaman dulu, ketika sarana transportasi belum maju, haji adalah perjalanan yang sangat melelahkan. Khusus untuk Indonesia, sampai tahun 1970-an, ketika jemaah haji menggunakan kapal laut, periode perjalanan haji berlangsung sampai enam bulan. Karena itulah, jemaah haji yang meninggal dunia diyakini telah mati syahid, khususnya kalau wafat dalam keadaan ihram.
Ketiga, menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim. Disebut sebagai jihad, karena menyampaikan kebenaran memang dapat berisiko tinggi berupa kematian.
Keempat, berbakti kepada kedua orang tua.
Kelima, menuntut ilmu pengetahuan.
Keenam, membantu fakir miskin.
Ketujuh, bekerja secara profesional. Moral dasar dari bekerja adalah bahwa setiap Muslim tidak boleh menjadi beban bagi orang lain. Rasulullah saw bersabda, wa la takunu kallan ‘alan-nas (Dan jangan Kamu sekalian menjadi beban bagi orang lain).
Dalam hal profesionalisme, Rasulullah saw bersabda Innallaha yuhibbu idza amila ahadukum amalan an uutqinahu (Allah mencintai orang yang bila bekerja, dia melakukannya dengan cermat dan teliti). Kata itqan dalam hadis ini diartikan profesional, yang menuntut kecermatan dan ketelitian di bidangnya masing-masing.
Point paling penting dari semua jenis-jenis jihad di atas tentu saja adalah niat. Artinya semua perbuatan itu dilakukan dengan niat mencari ridha Allah swt.
Bahkan dalam satu ayat yang bermakna lebih umum disebutkan, “Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sunguh) di jalan Kami, maka Kami akan menuntunnya dengan petunjuk Kami.” (QS Al Ankabut, ayat 69). Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seorang Muslim secara bersungguh-sungguh, selama perbuatan itu masih dalam koridor tuntunan Allah swt dan dilakukan untuk mendapat ridha Allah swt, maka dapat dikategorikan sebagai jihad. Tegasnya, berdasarkan ayat ini, perbuatan yang dapat dikategorikan jihad paling tidak harus memenuhi tiga syarat: (a) perbuatan itu tidak melanggar hukum Allah swt; (b) perbuatan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh alias tidak asal-asalan; dan (c) tujuan melakukan perbuatan itu adalah ingin mendapatkan ridha Allah swt.
Radikalisme: Kami tidak membantah bahwa jihad memang luas maknanya. Tapi, grade jihad yang paling tinggi nilai pahalanya adalah mati syahid di medan tempur. Sebab, aktivitas jihad yang paling dekat dengan mati syahid adalah bertempur di medan perang.
Imam Samudra menulis, “Menurut pandangan saya, jihad adalah pertama, dari segi bahasa, artinya bersungguh-sungguh. Ini berlaku untuk orang Muslim atau orang kafir. Karena orang kafir juga bersungguh-sungguh. Kedua, jihad secara istilah, bersungguh-sungguh menegakkan syariat Islam. Ketiga, secara syariat adalah berperang melawan kafir dan sekutunya, terutama jihad terbesar sekarang yaitu jihad memerangi teroris Amerika dan sekutunya yang terlibat perang salib memerangi umat Islam di seluruh dunia. Terutama denan menjatuhkan ribuan ton bom di Afghanistan pada September 2001, tepatnya Ramadhan 1422 H, terhadap kurang lebih 200.000 lelaki tua, Muslimah dan anak-anak kecil yang tidak berdosa. Orang yang telah berjihad secara bahasa, dia masih berkewajiban untuk melaksanakan jihad secara istilah dan syariat.”[1]
Deradikalisasi: Klaim bahwa bertempur di medan adalah grade jihad paling tinggi, dapat juga dikategorikan sebagai bagian dari metode membangkitkan semangat berjihad. Sebab, dalam sebuah hadis, ketika pulang dari suatu perang, Rasulullah saw justru bersabda “Kita baru pulang dari perang kecil, dan sedang menuju ke perang yang lebih besar, yakni berjihad melawan hawa nafsu.” Artinya, jihad melawan nafsu lebih besar (termasuk pahalanya) dibanding jihad tempur.
Deradikalisasi: Klaim bahwa bertempur di medan adalah grade jihad paling tinggi, dapat juga dikategorikan sebagai bagian dari metode membangkitkan semangat berjihad. Sebab, dalam sebuah hadis, ketika pulang dari suatu perang, Rasulullah saw justru bersabda “Kita baru pulang dari perang kecil, dan sedang menuju ke perang yang lebih besar, yakni berjihad melawan hawa nafsu.” Artinya, jihad melawan nafsu lebih besar (termasuk pahalanya) dibanding jihad tempur.
Deradikalisasi: Memerangi hawa nafsu dikategorikan sebagai jihad paling besar, karena dalam semua jenis aktivitas jihad, seorang Muslim harus mengendalikan hawa nafsunya atau selera-selera manusiawinya. Misalnya, untuk berjihad dalam menunut ilmu, seorang Muslim dituntut sabar dan tidak tergesa-gesa ingin mencapai hasil. Dalam berjihad tempur, seorang Muslim dituntut mengendalikan hawa nafsunya secara maksimal. Dengan kata lain, kalau melakukan jihad tempur hanya untuk mau disebut mujahid yang mati syahid, berarti pengendalian hawa nafsunya belum maksimal. Sebab masih dibayangi sifat riya’ (congkak). Singkat kata, mengendalikan hawa nafsu dikategorikan jihad paling besar, karena jihad yang sesungguhnya hanya mungkin dilakukan oleh orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya secara maksimal.
5.2.        TAHAPAN DOKTRIN JIHAD TEMPUR
Radikalisme: Salah satu pemahaman radikal tentang jihad adalah fokus pada makna jihad dalam pengertian jihad tempur, yang juga kadang disebut Jihad Musallahah (jihad bersenjata) di medan laga. Qital (pertempuran) adalah berperang di jalan Allah untuk melawan musuh Allah dan Rasul-Nya, antara lain penguasa kafir, musyrik, murtad, zindiq, mustabdil dan pembantu-pembantunya. Karena itu dapat juga disebut dengan jihad tempur.[2]
Rujukan dalil yang sering dipakai oleh kelompok-kelompok radikal untuk melegalkan aktivitas jihad tempur ini antara lain.[3]
§  QS. Al-Baqarah, ayat 216: : “Telah diwajibkan kepadamu tentang berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi, sesuatu yang kamu benci itu justru merupakan sesuatu yang amat baik bagimu, dan (sebaliknya) boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu amat buruk bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahuinya”.
§  QS. At-Taubah, ayat 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula beriman) kepada hari kemudian, dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang yang) telah diberikan alkitab, (perangilah mereka itu) sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dan penuh ketundukan”. (catatan: jizyah adalah pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan penganut Islam dan hidup dalam wilayah pemerintahan Islam, sebagai imbangan bagi jaminan keamanan diri mereka).
§  QS. At-Taubah, ayat 41: “Berangkatlah kamu (untuk berperang), baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu (jiwamu) di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
§  QS. At-Taubah, ayat 123: “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan pada dirimu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
Ketika menjelaskan fungsi dan tujuan jihad tempur disebutkan antara lain sebagai berikut:
§  Untuk menghancurkan kekuatan thogut (sebagai sumber fitnah), yang selalu menghalangi dakwah Islamiyyah berdasarkan Sunnah Nabi (rujukan: QS. Al-Anfal, ayat 39).
§  Untuk memberantas kezhaliman dan menegakkan al-haq (kebenaran) sehingga tercegah penyebaran kerusakan di muka bumi (Rujukan QS. Al-Baqarah, ayat 251; dan QS. Al-Hajj, ayat 39-40).[4]
§  Menjaga eksistensi dan kemuliaan kaum Muslimin dan menolong kaum yang lemah (rujukan: QS. An-Nisa’, ayat 75).[5]
§  Menghinakan dan menggetarkan musuh-musuh Allah dan mencegah kejahatan mereka (Rujukan: QS. At-Taubah, ayat 29; QS. Al-Anfal, ayat 60; dan QS. An-Nisa’, ayat 84).[6]
§  Untuk membedakan dan memisahkan antara mu’min dan kafir/munafiq dan untuk menyediakan jalan menuju mati syahid (QS. Muhammad, ayat 4).[7]
§  Untuk menguji iman (QS. Muhammad, ayat 4).[8]
§  Untuk memantapkan kekuasaan di muka bumi dalam rangka menegakkan Syariat Allah (keadilan) dan hidup di bawah naungan minhaj Allah (Rujukan: QS. .........................., ayat 39-41).
Adapun target jihad tempur adalah untuk tegaknya Khilafah Islamiyyah ‘Ala Minhajin Nubuwwah (berdasarkan praktek dan metode Kenabian); dan dalam hubungannnya dengan minhaj haraki (tahapan perjuangan), jihad bersenjata ini ditergetkan untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyyah (Negara Islam).[9]
Untuk memaksimalkan indoktrinasi jihad, diperlukan tiga tahapan, sebagai berikut:[10]
Pertam, i’dad (persiapan yang matang). Persiapan yang matang ini dilakukan dalam dua kategori: mental dan fisik.[11]
Kedua, ribath (Soliditas). Artinya, kekuatan kelompok harus dibangun secara solid. Dan salah satu kunci soliditas adalah kerahasiaan gerakan.[12]
Ketiga, qital (pertempuran di medan perang). Ini merupakan tahapan praktek. Di Indonesia, wilayah konflik seperti di Poso dan Ambon pernah dijadikan sebagai lokasi latihan sekaligus tempat praktek lapangan untuk mengimplementasikan doktrin jihad.[13]
Deradikalisasi: Sebenarnya tidak ada yang salah dalam rumusan tahapan-tahapan persiapan jihad tersebut. Namun, ada satu point yang perlu dicermati pada tahapan i’dad yang berarti persiapan atau menyiapkan kekuatan untuk jihad.
Di kalangan kelompok radikal, i’dad (persiapan) di sini dimaknai secara longgar. Yang sering dilansir media massa adalah melakukan pelatihan militer di lokasi rahasia.
Tapi, berdasarkan keterangan Ali Imron, persiapan dapat dilakukan dengan melakukan perburuan senjata dan bahan peledak. “Sejak masih di Afganistan, saya sudah berencana, di mana pun saya berada, harus mencari dan mengumpulkan senjata-senjata beserta amunisinya, bahan-bahan bom, dan peralatan perang.”[14]
Setelah pulang pulang ke  Indonesia, dan berdomisili sementara di Lamongan, Jawa Timur, lanjut Ali Imron, “... langkah pertama yang saya lakukan adalah mencari toko-toko kimia di Surabaya yang menjual pupuk, yang merupakan bahan yang paling mudah dijadikan bom.... Saya juga selalu berusaha mendapatkan bermacam-macam jenis racun, sebagai persiapan jika suatu saat diperlukan melakukan pembunuhan dengan racun. Dan racun itu bisa langsung digunakan lewat berbagai macam cara, atau digabungkan bersama bom menjadi Bom Kimia... juga selalu berusaha mencari pedang, senjata api beserta amunisinya...”.[15] Dan ternyata sebagian bahan bom yang dipakai dalam Bom Bali-I, adalah bahan yang sudah dibeli, bahkan sebelum tercetus rencana aksi Bom Bali tersebut.
Yang menarik, bahwa kegiatan mencari dan mengumpulkan alat-alat dan bahan-bahan pembunuh tersebut, dilakukan dengan senang hati dan diposisikan sebagai bagian dari jihad juga.
Dengan kata lain, bahwa dalam keadaan adem ayam pun, dalam arti tidak ada aksi teror, sangat dimungkinkan bahwa jajaran anggota kelompok radikal tetap dan terus aktif mengumpulkan senjata, bahan peledak, belajar membuat peledak dan melakukan percobaan membuat senjata dan bom improvisasi.[16] Kemungkinan inilah yang harus diantisipasi secara cermat dan teliti dalam program deradikalisasi.

Radikalisme: dalam kajian tentang jihad, banyak dijelaskan bahwa pada zaman Rasulullah saw, jihad disyariatkan dalam empat tahap:
Tahap pertama: Menahan diri: di tahap ini, sebenarnya jihad belum disyariatkan. Umat Islam diperintahkan menahan diri atas segala macam ujian, celaan, serangan dan penindasan kaum kafir. Hal ini terjadi pada periode Makkah, sebelum Rasulullah saw dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Artinya, tindakan menahan diri itu adalah bagian jihad.
Tahap kedua: Diizinkan berperang, ketika dizalimi. Pada tahap ini, jihad belum diperintahkan, tapi baru sebatas diizinkan. Artinya jihad masih bertahan secara pasif. Jihad hanya boleh bagi yang mampu. Karena baru sebatas diizinkan, maka hukumnya masih fardhu kifayah (bila ada yang berjihad, berarti kewajiban itu gugur bagi yang lain).
Tahap ketiga: Jihad diperintahkan secara terbatas. Pada tahap ini, jihad sudah diperintahkan namun masih terbatas. Terbatas di sini berarti jihad hanya boleh untuk memerangi kelompok non-Muslim yang menyerang kaum Muslimin. Sementara kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin tidak boleh diperangi. Artinya, umat Islam sudah diperintahkan melawan dan membalas penyerangan. Pada tahap ini, posisi hukum jihad sudah dikategorikan fardhu ain (kewajiban individual) ketika terjadi perang. Bila tidak ada penyerangan musuh, maka fardhu air (kewajiban individual) itu gugur.
Tahap keempat: perintah jihad untuk memerangi seluruh kaum kafir musyrik. Pada tahap inilah, jihad diartikan sebagai jihad thalab (berjihad karena permintaan), yang sekarang disebut jihad ofensif, dan karena itu posisi hukumnya adalah fardu ain selamanya. Mulai saat itulah, terjadi pemilahan antara darul Islam (wilayah yang dikuasai umat Islam dan Syariat Islam ditegakkan) dan darul harbi (wilayah perang yang dikuasai oleh orang kafir).[17]
Berdasarkan tafsiran tentang pentahapan jihad itu, “...para pelaku pengeboman meyakini bahwa setelah turun Syariat Islam yang memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir secara umum, maka dibolehkan memerangi, membunuh, mengebom dan menyerang orang-orang kafir di mana pun mereka berada dan dengan cara apapun. Ini dikuatkan dengan keyakinan bahwa hampir semua negara yang ada di dunia ini statusnya adalah sebagai Darul Harbi (negara yang boleh diperangi atau boleh berperang di dalam wilayahnya). Karena itu, melakukan penyerangan kepada orang-orang kafir di manapun dan dengan cara apapun adalah sah, karena penyerangan tersebut dalam rangka melaksanakan jihad ofensif”.[18]
Deradikalisasi: Sebagai suatu hasil analisis tentang pentahapan kewajiban berjihad, kesimpulan itu tidak memberikan konsekuensi apapun. Sebab, itu merupakan hasil interpretasi.
Sebagian besar ulama Islam sepakat pada tahapan pertama, kedua dan ketiga. Namun, mulai muncul perbedaan interpretasi pada tahapan keempat. Artinya, tahap keempat itu tidak boleh dilaksanakan secara serampangan, karena terlebih dahulu harus memenuhi beberapa syarat. Artinya, persoalan muncul ketika tahapan keempat (jihad ofensif) ditafsirkan lanjut dengan mengatakan boleh “membunuh orang kafir di manapun dan kapanpun”.
Ungkapan bahwa boleh membunuh orang kafir “kapan pun dan di mana pun” menjadi persoalan karena berpotensi menimbulkan berbagai implikasi negatif, yang bertentangan dengan tujuan utama dari jihad itu sendiri, seperti tergambar dalam uraian berikut:
Pertama, ketika ayat di tahap keempat itu diturunkan, umat Islam di Madinah memang sudah kuat, memiliki wilayah kekuasaan sendiri. Artinya identifikasi musuh dengan mudah dapat dilakukan. Sehingga mereka yang berada di wilayah kufur (darul harbi) boleh diperangi. Karena itu, ketika menyerang musuh di wilayah kafir, maka semua korbannya adalah musuh. Berbeda saat ini, tidak ada pemilahan yang tajam antara wilayah Islam dan wilayah kafir. Maka, sebuah serangan terhadap titik musuh, katakanlah ruang publik, sangat berpotensi mengakibatkan korban sipil.
Kedua, ada kepemimpinan yang jelas dan diakui (legitimated). Dengan demikian, garis komando jelas, dan mobilisasi pasukan berjalan baik. Sekarang ini, komando hanya diperintahkan oleh pimpinan kelompok. Lebih fatal lagi, dalam kelompok radikal di Indonesia, tidak semua anggota menyetujui aksi-aksi penyerangan dengan bom terhadap fasilitas dan ruang publik.
Ketiga, terkait dengan aksi bom, terdapat dua persoalan paling krusial (a) jatuhnya korban sipil dan (b) pengrusakan ruang/fasilitas publik. Kalau dicermati, resistensi dan kutukan publik terhadap jihad melalui aksi bom selama ini sebenarnya diakibatkan oleh dua elemen tersebut (jatuhnya korban sipil dan pengrusakan ruang/fasilitas publik).
Sebab, Islam tampak tidak damai lagi, sebagian umat Islam tampak seperti orang yang haus darah.
5.3.        SYARAT-SYARAT JIHAD
Radikalisme: Sebagian anggota kelompok terkesan seolah memaksa-maksakan jihad tanpa memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad.
Deradikalisasi: Dan Rasulullah saw tidak berjihad dan Allah swt tidak mewajibkan, kecuali setelah syarat-syarat jihad terpenuhi. Dan semua syarat jihad ini tidak terpenuhi di sebagian besar negara Muslim, yaitu:[19]
·         Tidak adanya darul hijrah. Dan darul hijrah di sini bukan sekedar wilayah persembunyian. Sebab, Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah mendapatkan jaminan keamanan dan setelah sebagian warga Madinah membaiat – melalui Baiatul Aqabah yang pertama dan kedua – untuk tunduk  kepada agama Islam, dan melindungi Rasulullah saw. Juga setelah Rasulullah saw mengirim seorang mata-mata, yaitu Mush’ab bin Umair, untuk mengetahui kondisi Madinah dan penduduknya. Dan syarat ini tidak terpenuhi sekarang ini.[20]
·         Tidak adanya perimbangan kekuatan dari segi kuantitas dan kualitas, yang merupakan syarat utama untuk bertahan atau memenangkan pertempuran. Bila tidak ada perimbangan kekuatan, dengan sendirinya, jihad menjadi tidak wajib alias gugur. Dan inilah kondiri riil kelompok-kelompok Islam di sebagian besar negara Muslim.[21]
·         Jaminan keamanan bagi keluarga (istri dan anggota keluarga), juga tidak terpenuhi. Sebab, anggota kelompok Islam yang berkonfrontasi dengan rezim penguasa sering justru sering mencelakakan keamanan keluarganya. Dalam perang Al-Ahzab, Rasulullah saw mengumpulkan para wanita dan anak-anak di sebuah benteng di Madinah. Pada bab empat, saya telah mengutip pendapat Imam Syafi’i dalam bukunya “Al-Umm” yang mengatakan, “bila seorang Muslim khawatir keluarganya akan diserang musuh selama pergi berjihad, maka dia tidak boleh pergi berjihad.” Dan syarat ini juga diisyaratkan pada ayat: “... Dan sebagian dari mereka minta izin keada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: ‘sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)’. Padahal rumah mereka samasekali tidak terbuka. Mereka tidak mau kecuali lari dari perang,” (QS. Al-Ahzab, ayat 13). Arti ayat ini bahwa bila rumah mereka terbuka dan rentan terhadap serangan musuh, maka mereka boleh meminta izin tidak ikut berjihad, tanpa harus takut dicela.[22]
·         Tidak adanya dukungan logistik untuk berjihad. Tidak halal bagi seorang Muslim melakukan pengambilan harta benda orang lain secara tidak sah, dengan dalih membiayai jihad. Sebab, tidak boleh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh, untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan.[23]
·         Tidak adanya kelompok yang bisa dimintai bantuan: Umar bin Khattab berkata, “Saya adalah tempat yang bisa dimintai pertolongan oleh setiap Muslim”. Sekarang ini, tidak ada orang seperti Umar bin Khattab. Dan Khalid bin Walid, dalam perang Mu’tah, meminta pertolongan kepada Rasulullah saw.[24]
·         Sulit membedakan kriteria musuh: akibatnya, dalam melakukan operasi jihad, sering terjadi pembunuhan terhadap orang yang semestinya tidak boleh dibunuh, meskipun dalam situasi perang.[25]
Oleh karena tidak terpenuhi syarat utama berjihad, maka tidak boleh bersikukuh melakukan tindakan konfrontasi dengan rezim penguasa, untuk menerapkan syariat Islam. Karena itu, perlu beralih haluan menempuh alternatif lain, yang juga sesuai dengan hukum Islam, seperti jalur dakwah dan reformasi damai. Khususnya karena alternatif jalur konfrontasi juga menciptakan mudharat yang lebih besar. Sementara ada kaidah fikhi yang mengatakan, “mencegah kerusakan lebih utama daripada  upaya mendapatkan maslahat”; Juga kaidah fikhi lain: “kerusakan adalah alasan pengharaman”; dan bahwa “mudharat tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan mudharat yang sama, apalagi mudharat yang lebih besar”. Semua kaidah ini membuktikan bahwa haram hukumnya melakukan tindakan konfrontasi dengan rezim penguasa.[26]
5.4.        MATI SYAHID DAN MATI NORMAL
Radikalisme: Salah satu ajaran agama Islam yang paling mendasar adalah bahwa orang yang mati syahid dijamin masuk surga. Dan salah satu mati syahid yang paling mulia adalah tewas di medan tempur.
Deradikalisasi: Memang harus diakui bahwa banyak hadis Nabi yang memposisikan mati di medan tempur (jihad) merupakan mati syahid yang paling mulia, dengan catatan, kematian benar-benar didasarkan niat yang baik, dan praktek jihadnya sudah memenuhi syarat, rukun dan etika berjihad di medan laga.
Dan nyaris tidak bisa diukur atau diketahui secara kasat mata. Artinya, bagi kita yang masih hidup, sulit menentukan apakah seseorang yang mati di dalam perang sekalipun telah mati syahid atau malah mati kafir.
Hanya, perlu disampaikan bahwa mati syahid juga bisa didapatkan dari perbuatan lain selain bertempur fi sabilillah. Berdasarkan beberapa riwayat hadis Nabi, bahwa mati syahid itu dapat diperoleh oleh seorang Muslim yang meninggal dan/atau terbunuh dalam sepuluh kasus, sebagai berikut:
1.    Bertempur: yakni meninggal karena tewas dalam pertempuran jihad di medan perang.
2.    Membela agama (non tempur): misalnya seorang Muslim terbunuh oleh musuh, karena mempertahankan dan membela prinsip-prinsip agama Islam. Misalanya, seorang Muslim dibunuh seorang penguasa karena menyampaikan kebenaran.
3.    Membela dan mempertahankan harta: yakni orang yang mempertahankan harta bendanya, dari pencurian dan perampokan, misalnya, yang mengakibatkan dia terbunuh.
4.    Membela darahnya: artinya mempertahankan jiwa atau membela diri dari suatu penganiayaan atau pembunuhan.
5.    Membela keluarga: dan bangsanya, yakni mati karena membela anggota keluarga dari penganiayaan
6.    Sakit perut: yakni meninggal dunia karena sakit perut.
7.    Sakit tha’un (muntaber): meninggal dunia akibat penyakit tha’un (muntaber).
8.    Tenggelam: orang yang mati tenggelam, baik di laut maupun di sungai.
9.    Kebakaran: orang yang tewas karena kebakaran, akibat tidak bisa atau tidak mampu menyelamatkan diri dari kobaran api.
10.  Menahan diri dari berbuat zalim (madzlamatihi). Artinya, orang yang meninggal dunia karena bertahan tidak melakukan perbuatan zalim.
11.  Melahirkan (khusus wanita): ibu yang meninggal ketika melahirkan juga dikategorikan mati syahid.
Selain itu, terdapat beberapa ijtihad dan hasil analisis para ulama yang menggambarkan kategori lain tentang orang mati syahid. Ibnu Hizam berpendapat, seorang miskin papa, yang mencuri dari orang kaya, lalu ditangkap dan dipukuli akhirnya meninggal dunia, dapat diposisikan sebagai orang yang mati syahid.
5.5.        BOM SYAHID VS BOM BUNUH DIRI
Bom syahid kadang juga disebut bom istisyhad (إستشهاد) yang berarti meminta atau berharap mati syahid. Aksi jihad bunuh diri juga kadang disebut istimata (إستماتة), yang berarti berharap mati atau meminta kematian dalam suatu operasi. Dari kata istimatah inilah asal nama laskar istimatah, yang dapat diartikan prajurit yang mencari mati atau laskar berani mati.
Dengan kata lain, seorang Muslim yang menerima dan mau melakukan bom istisyhad, dalam hatinya sebenarnya sudah ada keyakinan bahwa kemungkinan mati dalam operasinya lebih besar daripada kemungkinan untuk selamat.
Radikalisme: pelaku aksi bunuh diri dalam aksi teror bom adalah mujahid. Bukan teroris. Karena itu, aksinya tidak disebut bom bunuh diri, tapi bom syahid atau bom istisyhad.
Deradikalisasi: Tidak ada jaminan bahwa pelaku bom bunuh diri telah mati syahid. Sebab, tidak seorang pun yang dapat mengklaim dirinya telah mati syahid. Juga, tidak seorang Muslim pun yang memiliki otoritas untuk memvonis bahwa seorang Muslim telah mati syahid atau mati kafir.
Salah seorang pimpinan di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga konon menolak Amrozy cs disebut syahid, dengan berkomentar sinis: “Syahid dari mana? Emang ente yang nentuin siapa yang syahid dan siapa yang bukan syahid?[27]
Dan para pelaku aksi bom bunuh diri disebut teroris, karena mereka telah menebar rasa takut di kalangan warga sipil. Lagi pula, aksi seperti itu sering juga membunuh warga Muslim yang tidak berdosa, yang notabene termasuk kelompok yang tidak boleh dibunuh dalam pertempuran.
Radikalisme: keutamaan orang mati syahid sungguh luar biasa. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Seorang yang mati syahid memiliki enam keistimewaan di sisi Allah: dosanya diampuni pada tetesan darah pertamanya; akan dinikahkan dengan 72 bidadari; dibebaskan dari siksaan kubur; diselamatkan dari goncangan dahsyat di hari kiamat; di kepalanya akan dipasang mahkota kehormatan; berhak memberikan syafaat (hak pengampunan) bagi 70 orang anggota keluarganya”.[28]
Di hadis lain, Rasulullah saw bersabda, “Tidak seorang pun penghuni surga yang mau kembali ke dunia sampai sepuluh kali kecuali orang mati syahid. Sebab orang yang mati syahid ingin kembali ke dunia untuk mengalami lagi mati syahid sampai sepuluh kali, setelah dia merasakan nikmatnya”.[29]
Deradikalisasi: Tentu saja kita tidak membantah kebenaran hadis-hadis Nabi yang memberikan keutamaan orang yang mati syahid. Persoalannya, kita tidak bisa memastikan apakah seseorang yang meninggal dunia telah mengalami mati syahid atau mati sombong.
Dan kalau ingin melihat perbandingan, barangkali bisa diberikan dua contoh sebagai berikut: pertama, seorang warga Palestina yang mati dalam pertempuran melawan pasukan Israel akan dielu-elukan sebagai korban mati syahid. Sementara seorang pelaku bom bunuh diri di tempat publik akan mendapatkan kecaman dari ulama-ulama Islam.
Radikalisme: Salah satu ungkapan yang sering terdengar di kalangan kelompok-kelompok radikal adalah penggalan sebuah hadis Nabi yang berbunyi: isy kariman aw mut syahidan (hiduplah secara terhormat atau mati dengan syahid).
Sebagian kelompok radikal memaknai hadis ini secara serampangan. Misalnya dikatakan bahwa kalau di dunia seseorang tidak bisa mendapatkan hidup layak, dalam arti selalu menderita dan karena itu hidup menjadi terhina alias tidak mulia, maka keterhinaan tersebut harus segera diakhiri, dan salah satu cara mengakhirinya adalah menjadi pengantin (pelaku bom syahid), guna mendapatkan kehidupan di surga.
Deradikalisasi: Hidup secara terhormat dan mulia dapat diperoleh dengan bebagai cara, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Kalau aksi bom syahid dilakukan karena ingin mengkhiri hidup (bunuh diri) melalui aksi teror dengan alasan mengkhiri kesengsaraan hidup, dapat dipastikan bahwa aksi itu adalah tindakan kafir, karena menunjukkan adanya rasa putus asa dalam menjalani kehidupan, yang dilarang oleh Allah swt. Dalam hal tertentu tindakan seperti ini juga merupakan ciri orang pengecut, tidak berani hidup dan manja.
Radikalisme: Dalam sejarah Islam ada beberapa hadis yang bercerita tentang aksi individual dalam melawan musuh Islam, dengan cara menerobos masuk ke wilayah pasukan musuh, yang biasa diistilahkan inghimas (penetrasi).
Dalam kaitan ini, terdapat sebuah hadis Nabi menceritakan aksi syahid yang dilakukan oleh satu orang:
Abu Bakar bin Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “saya mendengar ayahku, ketika sedang menghadapi musuh, berkata, Quran telah bersabda, ‘Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah bayang-bayang pedang’. Lantas ada seorang lelaki berpakaian usang berdiri dan berkata, ‘Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan Quran mengatakan yang demikian ini. Abu Musa menjawab, ya. Selanjutnya Abu Musa berkata, “Lelaki (berpakaian usang) itu kembali ke kawan-kawannya seraya berkata, ‘saya mengucapkan salam (selamat tinggal) kepada kalian’. Kemudian dia memecahkan sarung pedangnya lalu mencampakkannya, dan sambil membawa pedangnya, dia bergerak dan menerobos masuk ke arah pasukan musuh dan menyerang dengan pedangnya, sampai akhirnya dia tewas (HR Muslim).
Deradikalisasi: Hadis itu bercerita ketika sedang terjadi perang, di mana dua pasukan sedang berhadap-hadapan. Karena itu, seorang ulama fikhi modern asal Suriah, Wahbah Zuhaili mengatakan, “Jihad hanya mungkin terjadi dalam tiga kondisi: (a) apabila perbuatan itu terjadi saat bertemunya dua pasukan yang sedang bertempur, yakni pasukan Islam dan pasukan musuh; (b) Apabila penduduk suatu negeri Muslim diserang oleh musuh; (c) Apabila Amirul Mukminin (pemimin umat Islam, khalifah) memerintahkan warganya untuk pergi berperang."[30]
Dalam fatwanya, Dr. Yusuf Al Qardhawi hanya membenarkan mati syahid dalam kasus Palestina. Namun, fatwa ini diakui telah menginspirasi banyak kalangan untuk melakukan bom syahid. Berikut adalah petikan lengkap fatwa Dr. Yusfu Al Qardhawi:
“Banyak orang bertanya tentang aksi pemboman, yang mengakibatkan jatuhnya korban tewas di kalangan orang-orang Yahudi, melalui operasi bom syahadah (bom Syahid) yang dilancarkan oleh pemuda-pemuda HAMAS di Palestina.
Apakah para pemuda yang mengorbankan dirinya itu termasuk syahid ataukah dianggap pelaku bunuh diri karena membunuh dirinya sendiri dengan ulah sendiri pula? Apakah perbuatan mereka termasuk kategori menjerumuskan diri ke dalam kehancuran, yang telah dilarang oleh Quran melalui sebuah ayat “Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah, ayat 195).
Saya ingin tegaskan di sini, bahwa operasi-operasi bom syahid ini merupakan cara paling jitu dalam praktek jihad fi sabilillah. Dan termasuk salah satu bentuk teror yang disinggung dalam Quran “Dan persiapkanlah kekuatan apa saja yang bisa kamu kuasai (termasuk) menunggang kuda, yang bisa kamu gunakan untuk membuat takut musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kamu (QS. Al-Anfaal, ayat 60).
Ini adalah operasi heroik yang sarat dengan muatan agamisnya. Karena itu, sangat tidak tepat bila dikatakan sebagai tindakan bunuh diri. Pelakunya pun tidak bisa disebut sebagai pelaku bunuh diri atau seorang teroris. Sebab, para pemuda itu melawan orang (kelompok/negara penjajah) yang menduduki wilayah tanah airnya, mengusir mereka dan keluarga mereka, merampas hak-haknya dan membungkam masa depan mereka.
Orang yang murni bunuh diri adalah orang yang membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sementara para pejuang Palestina itu mempersembahkan dirinya sebagai korban/tumbal demi kepentingan agama dan ummatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis terhadap dirinya dan putus atas atas ketentuan (taqdir) Allah. Sedangkan pejuang-pejuang tersebut adalah manusia yang seluruh cita-citanya hanya ingin menggapai rahmat dan ridha Allah swt.
Orang yang bunuh diri itu ingin menyelesaikan dan melepaskan tanggungjawab dan melepaskan diri dari kesulitannya dengan cara menghabisi nyawanya sendiri. Sedangkan seorang mujahid membunuh musuh Allah dan musuh mereka dengan “senjata terbaru” (bom syahid), yang telah ditakdirkan menjadi milik orang-orang lemah dalam menghadapi tirani kuat yang sombong. Mujahid itu menjadi bom yang siap meledak kapan dan dimana saja, menelan korban di pihak musuh Allah dan musuh bangsa, hingga para musuh itu tidak mampu lagi menghadapi perlawanan para pejuang syahid tersebut. Mereka adalah pejuang yang menjual dirinya kepada Allah, yang manaruh kepalan tangan mereka di telapak tangan-Nya demi mencari syahadah di jalan Allah.
Mereka benar-benar orang yang mati syahid, karena mereka mempersembahkan nyawa mereka dengan penuh kerelaan hati di jalan Allah, tentu selama niatnya ikhlas hanya kepada Allah, dan selama mereka terpaksa melakukan cara ini untuk menggetarkan musuh Allah swt, yang notabene jelas-jelas menyatakan permusuhannya dan bangga dengan kekuatan yang didukung oleh kekuatan besar lainnya, serta mereka dimotivasi oleh perintah agama yang memerintahkan untuk membela diri, melarang mundur dari tanah air dan wilayahnya, yang sebenarnya termasuk wilayah Islam. Persoalannya sama seperti ungkapan penyair masa yang mengatakan, “Jika tak ada tunggangan selain mata tombak, maka tidak ada jalan yang terpaksa kecuali menumpangi tombak tersebut”.
Tegasnya, aktivitas para pejuang Pelastina itu tidak termasuk tindakan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, seperti diduga oleh sebagian orang awam. Bahkan perbuatan mereka itu termasuk bagian perbuatan terpuji dalam jihad dan sah menurut hukum Syariat Islam. Sebab tujuan bom syahid adalah untuk bisa mengalahkan musuh, membunuh anggota musuh, menancapkan rasa takut di hati musuh dan mendorong kaum muslimim untuk berani menghadapi musuh-musuhnya.
Dan seperti diketahui, masyarakat Yahudi Zionis adalah masyarakat militer, kaum lelaki dan wanitanya adalah prajurit angkatan bersenjata, yang kapan saja bisa dipanggil berdinas.
Kalaupun ada seorang anak atau ada orang lanjut usia terbunuh dalam operasi syahid ini, pelakunya tentu tidak bermaksud membunuhnya. Para korban dari kalangan anak-anak dan orang lanjut usia tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari darurut perang. Dan segala yang darurat tentu bisa membolehkan yang terlarang (menghalalkan yang haram)”.[31]
Catatan: Argumentasi Qardhawi tentang boleh bom syahid dalam kasus Palestina berangkat dari asumsi bahwa warga Palestina sedang berjuang untuk meraih kemerdekaan dari penjajarahan Yahudi Israel. Namun, kalau dicermati, argumen ini sebenarnya bisa digeneralisir. Dengan kata lain, seorang radikal di Indonesia bisa saja berasumsi bahwa posisinya sama dengan warga Palestina, dan karena itu juga berhak melakukan bom syahid.
Radikalisme: Memang tidak ada orang yang berhak mengklaim dirinya telah mati syahid. Tapi kalau sebuah kematian diyakini sebagai tindakan mati syahid, toh tidak dilarang juga untuk meyakininya. Urusan benar tidaknya mati syahid itu adalah persoalan kedua, baru akan diketahui di akhirat kelak.
Deradikalisasi: Keyakinan mati syahid, tanpa dalil yang jelas, adalah perilaku yang tidak Islami. Sebab, dengan demikian, tidak salah juga bila disebut mati kafir, alias mati dalam keadaan kafir, karena mati dengan membunuh dirinya sendirinya dan juga orang lain.
Dalam satu kasus, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki tewas dalam suatu perang bersama Rasulullah saw. Dan beberapa sahabat lainnya mengatakan, “si Fulan itu mati syahid”, tiba-tiba Rasulullah saw bersabda, “Sama sekali tidak, justru dia akan di neraka, berpakaian api neraka” (HR Muslim). Ternyata, sebelum tewas, laki-laki itu sempat mencuri pakaian yang diambil dari harta rampasan yang belum dibagi. Saya tidak tahu, bagaimana keadaan orang yang bukan hanya mencuri sepotong pakaian, tapi juga membunuh banyak orang dan merusak banyak properti melalui aksi peledakan bom yang memakan korban tanpa pilih kasih.[32]
Sungguh, sekarang ini, sudah banyak orang yang merasa enteng melakukan perbuatan dosa besar. Padahal, Anas ra pernah mengatakan, “Kalian melakukan suatu perbuatan yang di mata kalian terlihat seperti biji gandum. Padahal di masa Rasulullah saw, kami menganggapnya perbuatan yang membinasakan” (HR Bukhari). Dan sikap enteng dalam berbuat dosa besar adalah akibat dari kebodohan, ketidakpedulian dan hati yang keras.[33]
Radikalisme: Salah satu dalil yang digunakan oleh aksi bom syahid adalah kisah Ashabu-l-Ukhdud, yang dikisahkan dalam sebuah hadist Riwayat Muslim. lihat Shahih Muslim, hadis nomor 3005 berdasarkan tahqiq Muhammad Fuad Abdul-Baqi atau hadis nomor 7703, berdasarkan tahqiq Muhammad Makram Al Mishriy.
Di hadis ini Rasulullah saw berkisah tentang seorang raja zalim, yang menganggap dirinya sebagai Tuhan, yang berkali-kali berupaya membunuh seorang anak laki-laki, namun tidak berhasil. Akhirnya, si Anak itu menentang dengan mengatakan, “Wahai Raja, Anda tidak akan mampu membunuhku kecuali Anda melakukan apa yang saya perintahkan. Sang Raja bertanya, apa yang harus saya lakukan. “Kumpulkan banyak wargamu (dipadang terbuka) di satu sisi, dan di sisi lain, ikat saya dan salib saya di batang kayu, lalu ambil anak panah di kantong panahku, kemudian pasang anak panah itu ke dalam busur, dan sebelum memanahku, ucapkanlah: bismillahi rabbi-l-gulam (Dengan nama Allah, Tuhan si Anak ini)...” Ketika semua yang diperintahkan oleh anak itu dilakukan oleh raja, “... dan si Raja siap memanah, dia mengucapkan bismillahi rabbi-l-gulam (Dengan nama Allah, Tuhan si Anak ini), dan anak panah itupun menancap di pelipis sang anak, dan anak itu sempat meraba lokasi anak panah yang menancap di pelipisnyanya, dan tidak lama kemudian, si anak itupun meninggal dunia. Namun, warga yang melihat peristiwa itu ramai-ramai berkata, ‘Kami telah beriman kepada Tuhan anak ini’. Mendengar pernyataan dari rakyatnya, tentu sang Raja semakin marah, dan akhirnya memerintahkan untuk menggali sebuah lobang/gua (ukhdud) untuk membakar semua warganya yang beriman kepada Tuhan anak itu...”
Kisah dalam hadis ini menunjukkan bahwa seorang Muslim boleh mengorbankan dirinya (kalau sekarang dengan melakukan aksi bom syahid), dalam rangka menunjukkan keagungan dan kekuasaan Allah di hadapan seorang raja/penguasa yang zalim, dengan harapan, mati syahid itu akan mengakibatkan akan semakin banyak orang yang beriman kepada Allah swt, seperti yang terjadi dalam kisah Ashabu-l-Ukhdud.
Kesimpulan ini mengacu pada komentar yang dinisbatkan ke syaikhu-l-Islam (Ibnu Taimiyah) yang mengatakan, “Perbuatan anak itu adalah jihad fi sabilillah, karena perbuatannya mengakibatkan suatu umat/bangsa beriman, sedang si anak itu tidak kehilangan apapun, walaupun dia mati, karena pada akhirnya dia akan mati juga, cepat atau lambat.”
Deradikalisasi: Ini merupakan sebuah perbandingan yang tidak sebanding. Benar bahwa perbuatan anak itu mengakibatkan suatu bangsa beriman kepada Allah, dan karena itu, perbuatannya yang siap dibunuh dan akhirnya memang terbunuh dikategorikan jihad fi sabilillah. Tapi, si anak itu tidak membantai musuh.
Adapun pelaku bom bunuh diri sekarang, dia membunuh dirinya sendiri, dan juga orang lain yang tidak berdosa. Dan lebih dari itu, belum tentu suatu bangsa berbondong masuk Islam, karena adanya bom bunuh diri. Yang terjadi malah sebaliknya, bila bom bunuh diri bisa membunuh 10 atau 100 atau 200 orang kafir, agama Islam tidak diuntungkan. Bahkan aksi pembalasan justru mengakibatkan banyak umat Islam terbunuh”,[34] seperti yang terjadi di Afganistan, Irak, Palestina.
5.6.        BERJIHAD DENGAN DALIL QISHAS: MEMBELA MUSLIM YANG TERTINDAS
Radikalisme: hukum qishas adalah tindakan pembalasan yang setara dengan perbuatan/perlakuan musuh terhadap umat Islam. Acuan ayatnya adalah sejumlah firman Allah antara lain:
Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishas. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka balaslah serangnya secara seimbang dengan serangannya kepada kamu...” (QS. Al Baqarah, ayat 194).
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang setara dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik, dan ketahuilah bahwa Allah swt bersama orang-orang bertakwa.” (QS. An-Nahl, ayat 126).
Deradikalisasi: Menurut Tafsir Al-Qurthubi, bahwa firman Allah dalam QS. Al Baqarah, ayat 194 dan  QS. An-Nahl, ayat 126 adalah ayat qishas yang harus dilaksanakan di pengadilan. Tidak boleh dilaksanakan dengan cara main hakim sendiri. Selain itu, pelaksanaan qishas juga harus dilakukan sendiri oleh keluarga atau wali korban. Dan pembalasan perbuatan dalam hukum qishas dilakukan dengan alat yang sama, cara yang sama, dan ke bagian tubuh yang sama.
Artinya, penikaman pisau tidak boleh diqishas dengan tembakan peluru tajam. Peluru tajam tidak boleh dibalas dengan bom TNT. Dan orang lain tidak boleh mewakili wali korban dalam melaksanakan hukum qishas, apalagi tanpa seizin keluarga korban.

Radikalisme: Tentang perlunya membalas perbuatan musuh-musuh Islam dengan tindakan yang setara, berdasarkan hukum qishas, Imam Samudra menulis justifikasinya, sebagai berikut:
Yang menjadi target kita adalah personalnya, individunya, manusianya, bukan tempatnya.... ayat-ayat di atas dengan jelas tidak membatasi tempat memerangi orang kafir”.[35] Dengan kata lain, serangan boleh di manapun dan kapanpun, asal target opersinya adalah personalnya, individunya, manusianya.
Imam Samudra juga menulis, “Operasi Jihad Bom Bali dimaksudkan sebagai jihad ofensif”.[36]
Deradikalisasi: Istilah Jihad ofensif tidak dikenal dalam ajaran Islam. Sebab, sesungguhnya perang dalam Islam umumnya bersifat defensif.
Radikalisme: Selanjutnya Imam Samudra menegaskan, “Pada periode ini, seluruh kaum musyrikin diperangi, kecuali jia mereka bertaubat, masuk Islam, mendirikan shalat dan membayar zakat”.[37]
Sipil dibalas sipil!. Itulah keseimbangan.... dan dengan demikian, jihad Bom Bali tidak dilakukan secara asal-asalan dan serampangan”.[38]
Deradikalisasi: Ungkapan bahwa sipil harus dibalas dengan sipil, korban dibalas dengan korban, adalah keyakinan yang dapat mengantar keyakinan yang menghalalkan segala cara. Dan dengan demikian tidak bisa diterima begitu saja, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah perang dalam ajaran Islam.
Radikalisme: Dalam satu pernyataannya terkait Bom Bali I, Imam Samudra menegaskan bahwa “Saya bertugas sebagi ide, hukum dan strategi. (a) Ide adalah mengangkat fakta yang terjadi dalam pembantaian 200 ribu Muslim di Afganistan yang terdiri dari laki-laki lembah, bayi-bayi dan rakyat sipil lainnya yang tidak berdosa yang dijatuhi ribuan ton bom pada bulan September 2001, tepatnya dalam bulan Ramadahn 1422 Hijriyah. (b) Yang dimaksud dengan hukum ialah menyampaikan kembali pendapat dan fakta ulama Mujahidin tentang hukum wajibnya kaum Muslimin membela saudara-saudara mereka yang tertindas dan dibantai di berbagai penjuru dunia dan tentang wajibnya berjihad terhadap seluruh kaum kafir. Kalau sekarang ini terutama teroris AS dan sekutu salibnya. (c) Strategi ialah berkenaan dengan pemilihan target secara spesifik dan tidak mengganggu atau mencelakakan orang-orang/obyek di luar target (yang saya maksudkan target adalah AS dan sekutunya, yaitu Inggris, Jerman, Perancis, Australia, Belgia, Jepang, Cina, Swedia, Italia, Rusia dan lain-lain)”.[39]
“Salah satu tujuan saya melakukan pengeboman di Bali adalah untuk melaksanakan perintah Allah swt seperti yang tersirat dalam Surat An Nisa’ ayat 74-76, yaitu kewajiban  membela lelaki lemah dan bayi-bayi yang tidak berdosa yang selalu menjadi sasaran atas kebiadaban teroris Amerika dan sekutunya”.[40]
“Alasan pertama memerangi orang Amerika dan sekutunya ini adalah perintah Allah dan Rasulnya baik secar langsung ataupun tidak. Alasan kedua, di kepala saya, dalam ingatan saya, kejahatan Amerika dan sekutunya sudah melampau batas, sehingga tidak bisa lupa image tentang orang Muslim hilang lehernya dan kebiadaban Amerika dan sekutunya terhadap kaum Muslim. Yang mana hal ini yang selalu membayang-bayangi pikiran saya sehingga saya tergerak untuk melakukan pembelaan terhadap kaum Muslim. Gambar-gambar tentang kebiadaban itu saya lihat pada internet dan VCD tentang Perang Salib, tentang jihad di Ambon dan jihad di Afganistan, yang dijual bebas, dan yang paling penting adalah bahwa saya sangat takut akan ancaman Allah jika saya tidak melakukan jihad terhadap kaum kafir dan sekutunya sesuai dengan surat At Taubah ayat 39 yang berbunyi, “Jika kamu berperang di jalan Allah, maka Allah pasti akan mengazab (menyiksa) dengan siksaan yang sangat dahsyat (At-Taubah (9), ayat 39).”[41]
Terkait dengan aksi Bom Bali-I, Oktober 2002, Imam Samudra menulis sebuah pernyataan yang soft file-nya kemudian ditemukan di dalam laptopnya yang disita ketika tertangkap. Pernyataan itu secara lengkap sebagai berikut:
Awal kutipan: “Tidak ada setetes pun darah kaum Muslimin yang gratis. Dari bangsa apapun dan di belahan bumi manapun. Kematian ratusan kaum Muslimin mulai dari Palestina, Afganistan, Iraq, Kashmir, Gujarat dan lain-lain di dataran Asia. Kematian dan kekejaman tak terperikan terhadap kaum Muslimin di Bosnia dan Kosovo di daratan Asia. Begitu juga dengan pembunuhan secara brutal terhadap Muslim Sudan di Afrika.
Perpanjangan tangan dan konspirasi Salibis Internasional di Filipina dan Indonesia. Sehingga terjadi “Moslem Cleansing” di Moro, Poso serta Ambon dan sekitarnya, membuktikan bahwa era perang salib baru telah berjalan dan akan terus berjalan. Serangan Salibis Internasional dan sekutunya (pasukan Ahzab Salib) di bawah komando Bush dengan semboyan ‘Crusade War’ dan ‘Undefinitif Justice’ terhadap Daulah Islamiyah Afganistan sungguh tidak bisa diingkari.
Nyawa dibalas nyawa, darah dibalas darah.... ‘dan perangilah kaum Musyrikin semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu (kaum Muslimin) semuanya’ (At-Taubah: 36). Seorang Mu’min dengan seorang Mu’min lainnya turut merasakan hal yang sama.
Untuk kalian hai Kafir Salib! Jika anda katakan bahwa pembunuhan ini biadab dan kejam dan terjadi atas ‘sipil tak berdosa’, dari bangsa-bangsa kalian, ketahuilah bahwa anda melakukan hal yang lebih kejam dari itu. Apakah 600 ribu bayi di Irak dan setengah juta anak-anak Afganistan dan ibu-ibu mereka, anda anggap sebagai tentara dan manusia penuh dosa yang harus menanggung ribuan ton bom-bom kalian???!! Di mana otak dan nurani kalian??!!!
Tangis bayi dan jeritan Muslimah yang kemudian dipanjangkan dengan diplomasi-diplomasi segelintir kaum Muslimin demi menghentikan kebrutalan kalian tak berhasil dan sama sekali tidak akan pernah mampu menghentikan kebiadaban kalian. Maka inilah kami, kaum Muslimin!!! Yang hati-hati kami terluka dan menyimpan kepedihan atas kematian-kematian saudara kami. Pantang bagi kami untuk membiarkan kesemena-menaan dan kebiadaban terjadi terhadap saudara-saudara kami kaum Muslimin di belahan bumi manapun.
Dengan ini kami menyatakan, bertanggungjawab atas BOM SYAHID yang terjadi di Jalan Legian, Kuta, Bali pada hari Sabtu Malam Minggu, 12 Oktober 2002 dan sekitarnya. Kedutaan Amerika Serikat di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, Bali pada malam yang sama.
Tuntutan kami:
Selagi pasukan Ahzab (Salibis Internasional dan sekutu-sekutunya: Amerika Serikat, Inggeris, Jerman, Australia, Perancis, Belanda, Italia, Jepang, Swedia dan lainnya) tidak keluar dari Afganistan, maka selama itu korban dari negara-negara kalian di manapun berada akan terus berjatuhan.
Selagi saudara-saudara kami yang kalian anggap teroris dan kalian siksa dalam penjara-penjara kalian, terutama di Guantanamo, selama itu pula warga dari negara-negara kalian akan merasakan hal yang sama.
Kuta, 12-10-02, Katibul Istimata Al-Alamiyah (Batalyon Berani Mati Internasional)
Komandan
Abu Istimata
Deradikalisasi: Perlu ditegaskan di sini bahwa Allah kadang mempermudah bagi hambanya melakukan maksiat untuk menguji keimanan, seperti orang sedang berpakaian ihram dalam ibadah haji atau umrah, kadang sangat mudah mendapatkan hewan buruan, padahal ketika itu, haram hukumnya berburu. “Wahai orang-orang beriman, sungguh Allah akan mengujimu dengan sesuatu hewan buruan, yang mudah digapai dengan tangan dan/atau tombak-tombak kalian, agar Allah swt mengetahui siapa di antara kalian yang takut kepada Allah, biarpun dia tidak melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas setelah itu, maka baginya siksaan yang pedih... Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika sedang ihram...”, (QS. Al-Maidah, ayat 94-95).[42]
Nabi Yusuf as juga diuji dengan kemudahan melakukan perbuatan keji (zina). Juga Allah menguji bangsa Yahudi, dengan kemudahan berburu di hari Sabtu, padahal Allah telah melarang mereka berburu di hari Sabtu, seperti dikisahkan dalam Quran, surat Al-A’araf.[43]
Berdasarkan uraian ini, kita bisa mengetahui bahwa kemudahan melakukan sesuatu yang haram, boleh jadi sebagai ujian dari Allah swt. Menurut Umar bin Khattab, seorang Muslim yang mampu menghindari suatu maksiat – meskipun mudah dilakukan dan dia bisa melakukannya kalau mau – berarti dia termasuk orang yang dipuji oleh Allah dalam firmanya, “... mereka yang telah diuji hatinya oleh Allah swt untuk memastikan ketakwaannya, untuk mereka ampuran dan pahala yang besar,” (QS. Al-Hujuraat, ayat 3). (lihat penjelasan Tafsir Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat ini).[44]
Perbedaan mazhab dan pendapat
Tidakkah cukup sebagai peringatan, hadis Nabi saw yang berbunyi, “Bahwa seorang mu’min tetap memiliki kelapangan dalam agamanya, selama tidak membunuh orang yang haram dibunuh,” (HR Bukhari).[45]
Juga hadis Nabi yang menyebutkan, “Bahwa orang bangkrut dari umatku adalah orang yang dihari kiamat kelak, datang menghadap Allah dengan amal shalat, puasa dan zakat. Tapi, pada saat yang sama, ada orang lain yang datang menghadap dengan mengatakan dia juga mencaci maki si ini, , membunuh si itu, menuduh yang tidak-tidak si Anu, dan memukul si itu. Lalu amal baiknya dikurangi untuk menebus amal kejahatannya. Kalau amal baiknya lebih dulu habis daripada amal jahatnya, maka kejahatan orang lain itu ditimpakan kepadanya, dan dia pun dijebloskan ke dalam neraka,” (HR Muslim). Di hadis lain, Rasulullah juga bersabda, “Jauhilah tujuh perbuatan yang membinasakan, yaitu:... (antara lain) membunuh orang yang diharamkan dibunuh kecuali dengan alasan yang benar... ” (muttafaq ‘alaihi). Rasulullah saw juga bersabda, “persoalan yang paling pertama diputuskan pada hari kiamat adalah masalah darah (pembunuhan)” (Muttafaq ‘alaihi).[46]
Karena itu, juga tidak boleh membunuh seseorang berdasarkan perbedaan aliran/mazhab/pendapat. Dan di zaman modern ini, telah muncul beragam bid’ah, seperti membunuh karena alasan warga negara, membunuh karena alasan penampilan, membunuh karena alasan identitas, membunuh karena alasan nama, membunuh karena alasan aliran mazhab, termasuk membunuh orang yang bermazhab Syiah, yang merupakan salah satu aliran yang sudah muncul sejak abad pertama Hijriyah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah, dalam bukunya “Minhaj al-Sunnah” mengatakan, “Sama sekali, tidak seorang pun ulama salaf yang mengkafirkan mazhab Syiah”. Dan seorang Muslim haram dibunuh meskipun berbeda mazhab.[47]
Dan seorang Muslim tidak boleh membantu tindakan atau perbuatan yang melanggar batas. Sebab, siapapun yang memberikan bantuan, berarti dia ikut menanggung dosanya, Allah swt berfirman, “...Dan janganlah bekerja sama (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan pelanggaran (hukum)” (QS. Al-Maidah, ayat 2).[48]
Larangan bergembira atau membanggakan perbuatan maksiat
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab yang lalu, dapat dikatakan bahwa membunuh warga asing dan wisatawan di negara-negara Muslim, dan operasi jihad di wilayah negara asing, dan pembunuhan warga sipil, semua itu adalah dosa besar yang diharamkan, dan seorang Muslim tidak boleh bangga melakukannya. Sebab, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bergembira dengan amal baiknya, dan merasa tidak enak dengan amal jahatnya, berarti dia orang yang beriman”, (HR Thabrani, dari Abu Musa ra).
Memang, ambisi dan semangat untuk melampiaskan kemarahan terhadap musuh-musuh Islam telah membuat sebagian kelompok Islam justru merasa gembira ketika melakukan dosa-dosa di atas. Dan sikap ini menunjukkan kebodohan tentang ajaran agama Islam, dan merupakan indikasi iman yang tidak sempurna. Sebab orang yang gembira dengan pebuatan maksiatnya adalah bukan orang beriman. Lebih dari itu, orang yang meridhai suatu perbuatan maksiat akan berdosa seperti dosa pelakunya, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Jika suatu kesalahan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya dan lalu membencinya sama dengan orang yang tidak melihatnya. Sebaliknya, orang tidak melihatnya namun meridhainya, posisinya seperti orang yang melihatnya,” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Abu Daud).[49]
Lagi pula, sangat tidak pantas membangga-banggakan perbuatan maksiat dan aksi pengkhianatan. Karena sikap seperti itu justru merupakan tindakan berterang-terangan dengan maksiat, yang bisa menambah jarak antara pelakunya dengan pintu ampunan Allah. Rasulullah saw bersabda, “setiap umatku akan dimaafkan, kecuali yang melakukan maksiat secara terbuka/terang-terangan” (hadis muttafaq ‘alaihi). Perbuatan maksiat seharusnya justru dimintakan ampun dan istighfar, bukan malah gembira dan membangga-banggakannya. Sebab, tidak ada kebanggaan dalam hal melakukan pengkhianatan, atau pertempuran yang disertai dengan penipuan, meskipun dianggap kepahlawanan oleh orang-orang bodoh.[50]

5.7.        Quran dan terorisme: perintah melakukan persiapan
Pertanyaan paling esensial dalam kasus terorisme adalah apakah Quran memuat ayat-ayat yang mengisyaratkan perlunya melakukan teror? Tegasnya, apakah Quran memiliki ajaran atau konsep untuk melakukan teror?
Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara takut dan teror. Kata takut lebih sering diungkapkan dengan kata khauf (akar kata: kha’-waw-fa’). Sementara, dalam bahasa Arab modern, kata teror diungkap dengan kata irhab (asal kata: ra’-ha’ besar-ba’ dibaca ra-hi-ba) yang berarti menakut-nakuti.
Kata yang berakar irhab atau ra-hi-ba dengan segala derivasinya ini disebutkan dalam Quran sebanyak 12 (duabelas) kali, dan artinya berbeda-beda, tergantung konteks ayatnya dan juga derivasi kata-kata yang digunakan dalam suatu ayat.
Dari 12 ayat itu, memang ada dua ayat di mana kata rahiba dimaknai menakut-nakuti, yaitu.
n QS. Al-A’raf, ayat 116: “Dan ketika mereka melemparkan, mereka pun menyulap mata orang dan menakut-nakuti mereka, lalu mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)”.
n QS. Al-Anfal, ayat 60: “Untuk menghadapi musuh-musuhmu, maka persiapkanlah semaksimal mungkin (segala jenis) kekuatan, (termasuk) kuda yang ditambatkan,, yang bisa kamu jadikan alat untuk menakut-nakuti (menggentarkan) musuh Allah swt dan musuhmu, dan kelompok lain yang tidak kamu ketahui, namun Allah mengetahui mereka. Dan kebaikan apapun yang kamu belanjakan (lakukan) di jalan Allah akan mendapatkan balasan yang setimpal, dan kamu sekalian tidak akan dizalimi”.
Radikalisme: Dengan tegas, melalui dua ayat itu, Allah memerintahkan ummat Islam membangun kekuatan yang dapat digunakan untuk menteror musuh ummat Islam dan musuh Allah.
Dan QS. Al-Anfal, ayat 60 mengandung tiga persoalan inti yaitu: (1) perintah untuk membangun kekuatan; (2) kekuatan itu digunakan untuk melakukan teror; dan (3) sasaran teror adalah musuh ummat Islam dan musuh Allah swt dengan rincian penjelasan sebagai berikut:
Pertama, tentang perlunya ummat Islam membangun kekuatan, termasuk kekuatan berkuda. Di ayat ini, pasukan kuda disebutkan, karena ketika itu, pasukan kuda merupakan kekuatan yang diandalkan pada setiap perang. Tapi intinya adalah kekuatan apa saja yang berpotensi dijadikan sebagai elemen pertahanan dan penyerangan.
Kedua, kekuatan ummat Islam tersebut memang bertujuan untuk menakut-nakuti (menteror) musuh-musuh Allah swt dan musuh ummat Islam. Dengan jelas bahwa ayat ini menghalalkan ummat Islam menggunakan kekuatannya untuk dijadikan sebagai alat atau serana untuk menakutnakuti musuh, yang dalam istilah populernya adalan melakukan teror.
Ketiga, identifikasi musuh-musuh ummat Allah dan dan musuh ummat Islam. Memang, persoalan paling pelik dari ketiga inti esensi ayat tersebut adalah masalah mengidentifikasi siapa musuh ummat Islam dan musuh Allah swt.
Deradikalisasi: Ayat 60 Surat Al Anfal memang menjadi perbedaan tafsir dikalangan para ulama, khususnya di kalangan aktivis pergerakan Islam. Namun, dilihat dari konteks ayatnya, musuh yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir musyrik. Sementara ahlu kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak dikategorikan sebagai musuh.
Dalam Quran terjemahan Indonesia oleh Departemen Agama, kata turhibuna dalam ayat 60 Surat Al-Anfal diterjemahkan dengan kata menakut-nakuti atau menggentarkan.
Sementara Quran terjemahan bahasa Inggris, kata turhibuna dalam ayat 60 Surat Al-Anfal tersebut diterjemahkan dengan ...to afraid the enemy of Allah and your enemy..., bukan diterjemahkan ...to terrorise the enemy of Allah and your enemy....
Lagi pula, perintah mempersiapkan kekuatan itu lebih ditujukan kepada pimpinan pasukan Islam dalam sebuah negara, bukan perintah perorangan.
Selain itu, kata kekuatan dalam ayat tersebut juga dapat ditafsirkan lain, misalnya kekuatan ekonomi. Dan terbukti sekarang ini, negara/bangsa yang memiliki kekuatan ekonomi, justru disegani dan ditakuti oleh negara/bangsa pesaingnya.
5.8.        IDENTIFIKASI MUSUH ISLAM: MEMERANGI ORANG KAFIR ATAU NON-MUSLIM
Radikalisme: Memerangi orang kafir adalah kewajiban seorang Muslim, di manapun dan kapan pun. Paham ini mengacu pada sejumlah ayat Quran, antara lain sebagai berikut.
“...Bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At-Taubah, ayat 5).
“...Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu.” (QS. At-Taubah, ayat 14).
“...Perangilah orang-orang yang tidak beriman keapda Allah dan tidak (pula ) kepada hari kemudian.” (QS. At-Taubah, ayat 29).
“...Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagai mana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah, ayat 36).
“...Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah .” (QS. Al Anfaal, ayat 39)
 “...Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. Al Baqarah, ayat 191).
Menurut penganut radikalisme, ayat-ayat tersebut di atas dengan tegas memerintahkan untuk membunuh orang kafir, di manapun dan kapan pun, tidak peduli laki-laki, wanita, anak-anak. Artinya, bila tidak dilaksanakan maka seorang Muslim akan berdosa.
Deradikalisasi: Ayat-ayat tersebut di atas, yang memerintahkan pembunuhan orang kafir, semuanya berbicara dalam konteks pertempuran di medan perang. Artinya, ayat-ayat itu hanya berlaku di medan tempur, ketika pasukan Islam berhadapan dengan pasukan musuh.
Karena semua ayat itu diturunkan dalam kasus perang dan pertempuran. Bila kemudian ayat-ayat itu diimplementasikan dalam situasi damai, misalnya melakukan pemboman di tempat publik yang kemudian menggugurkan orang-orang sipil, baik kafir apalagi yang Muslim, tentu merupakan penafsiran rancu terhadap teks ayat. Dengan kata lain, tafsiran itu sudah keluar konteks ayat.
Sebab di ayat lain juga banyak ayat untuk menghormati orang kafir yang tidak memusuhi dan tidak menyerang umat Islam.
Radikalisme: Metode identifikasi musuh yang paling baik adalah bukan berdasarkan orang dan kelompok, tapi mengacu pada sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh seseorang ataupun suatu kelompok terhadap ummat Islam. Artinya, musuh Islam adalah orang atau kelompok yang nyata-nyata menyatakan permusuhan terhadap Islam dan umat Islam, baik secara fisik (serangan tempur) maupun non-fisik (seperti cemoohan, manipulasi ayat, ataupun lewat gambar dan karikatur penghinaan terhadap simbol-simbol Islam).
Artinya, sikap permusuhan terhadap Islam dapat diungkapkan lewat berbagai cara: tulisan, pernyataan terbuka, lukisan karikatur dan yang paling brutal adalah serangan pasukan asing terhadap suatu negeri Muslim.
Dengan demikian, musuh Ummat Islam dan musuh Allah adalah mereka yang memperlihatkan sikap permusuhan terhadap ummat Islam dan/atau kepada Allah swt dan Rasulnya alias terhadap ajaran agama Islam. Artinya pula, musuh di sini bisa datang dari berbagai kelompok dan agama.
Dalam buku PUPJI, klasifikasi musuh Allah dan Rasul-Nya, disebutkan antara lain: Penguasa kafir, Musyrik, Murtad, Zindiq, mustabdil dan pembantu-pembantunya.[51]
Dan di masa kini, musuh Islam yang paling nyata adalah negara adidaya Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, serta Israel (Zionis Yahudi).
Di kalangan kelompok radikal, Amerika dan Yahudi selalu disandingkan. Sebab, dalam beberapa kasus memang kebijakan luar negeri Amerika sering ditumpangi oleh kepentingan lobi Yahudi, yang merasuk bahkan ke semua lembaga politik dan keuangan di Amerika Serikat.
Deradikalisasi: Salah satu persoalan mendasar dalam kasus terorisme adalah poin tentang bagaimana mengidentifikasi musuh. Aksi-aksi teror bom di tempat-tempat publik, seperti hotel dan restoran, adalah hasil dari pemahaman dan metode identifikasi musuh yang keliru.
Dalam prakteknya, identifikasi musuh ini bisa sangat longgar. Sehingga kalau misalnya Amerika dianggap musuh, maka seluruh yang berbau Amerika atau terkait dengan Amerika adalah juga musuh, yang boleh dijadikan sasaran operasi. Metode melakukan break-down dari kategori musuh seperti ini memang sangat berbahaya dan konsekuensinya bisa melebar ke mana-nama, sebab bisa mencakup wilayah yang sangat lebar, misalnya sebagai berikut.
Ÿ  Properti warga Amerika. Itulah sebabnya, kelompok radikal menghalalkan serangan teror terhadap hotel-hotel jaringan internasional, seperti JW Marriott, yang diyakini sebagai salah satu hotel yang pemiliknya adalah warga Amerika.
Ÿ  Warga Amerika, di manapan dan kapan pun, diposisikan sebagai target operasi. Dan tindakan seperti ini tentu saja menciptakan resistensi di kalangan warga Amerika.
Ÿ  Sekutu Amerika, mencakup seluruh negara sahabat yang mengamini kebijakan Amerika Serikat. Serangan teror terhadap Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004, adalah bagian dari serangan terhadap sekutu Amerika. Itulah sebab, dalam secara global, pihak Al Qaidah dan Jamaah Islamiyah sering menyebutkan Inggris dan Australia sebagai sekutu Amerika yang paling dekat.
Dalam satu pertemuan, seorang anggota kelompok radikal berkoar tentang perlunya memboikot produk-produk Israel.
Tapi, di tangannya terdapat satu handset telepon seluler, yang menggunakan kartu salah satu operator di Indonesia. Ketika ditanyakan kepadanya kartu seluler apa yang digunakan? dia langsung menyebut salah satu operator seluler. Dia menjadi malu ketika saya menyampaikan bahwa untuk memaksimalkan mutu jaringan selulernya di Indonesia, operator kartu yang Anda gunakan itu menyewa sebuah satelit milik Israel.
Kefasikan dan Maksiat
Dan dapat dipastikan, bahwa suatu perbuatan fasik dan/atau maksiat tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam. Dan mendiamkan suatu kemungkaran atau kekafiran bukan berarti menerima kemungkaran dan kekafiran tersebut.[52]
Sebagian kelompok Muslim berdalih bahwa “Meridhai suatu kekafiran adalah kafir” atau “Barang siapa yang tidak mengkafirkan seorang kafir, maka dia juga menjadi kafir”. Dan akhirnya, mereka mengkafirkan semua orang. Dan ini tidak benar. Sebab hukum Islam membolehkan sikap mengingkari suatu maksiat hanya dengan hati. Dan seorang yang sedang tertindas tidak wajib mengingkari suatu maksiat, dengan tangan ataupun lisan, kalau jutru akan mengancam keselamatan jiwanya. Artinya, dalam keadaan takut, dia boleh menutupi keyakinannya. Karena itulah, ada kaidah fikhi yang mengatakan, “لا يُنسَب إلي ساكت قولٌ” (tidak boleh menisbahkan satu perkataan/pendapat kepada orang yang diam), kecuali dalam beberapa pengecualian, seperti diamnya seorang gadis perawan dapat dimaknai persetujuan untuk menikah.[53]
Secara umum, tidak boleh menilai keimanan seseorang berdasarkan aksi diamnya. Bukankah Allah swt mengakui keimanan seorang yang menyembunyikan keimanan dan keyakinan agamanya? “Dan berkata seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir’aun, yang menyembunyikan keimanannya... “ (QS. Gafir, ayat 28). Lantas atas dasar apa kita menghakimi seseorang dengan cra menisbahkan perkataan atau hukum kepada orang yang diam?[54]
Rasulullah saw juga mengakui keimanan “seorang Muslim yang mengingkari kemungkaran dengan hatinya”, yang berarti dia diam dan tidak mengkafirkan perbuatan orang kafir. Lantas kenapa kita mencabut keimanan yang notabene diakui oleh Rasulullah saw? “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah mencegahnya dengan tangan (kekuatan), bila tidak mampu, boleh dengan lidahnya. Kalau tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah”, (HR Muslim, dari Abu Sa’id). Di hadis lain, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berjihad dengan hatinya dalam melawan orang kafir, maka dia juga beriman”, (HR Muslim). Dan tentu saja, tidak ada lagi pendapat yang bisa didengar setelah Rasulullah saw menyampaikan keputusan. Dan pengingkaran dengan hati bisa dilakukan dalam bentuk membenci dan menjauhi kemungkaran tersebut, seperti dijelaskan dalam hadis lain, “Barang siapa yang membenci (kemungkaran) berarti dia telah bebas (dari tuntutan)” (HR Muslim).[55]
Dalam hal mengenali identitas keimanan dan keislaman seseorang, manusia pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok: mastur al-hal (keadaan dan identitas keimanan dan keisalamannya tertutupi) dan majhul al-hal (keadaan dan identitas keimanan dan keisalamannya tidak diketahui).[56]
Mastur al-hal  (orang yang keadaannya tertutupi)
Kelompok pertama, mastur al-hal (keadaan dan identitas keimanan dan ke-Islam-annya tertutupi). Yaitu orang yang penampilannya mengindikasikan keislaman, dan tidak terdapat tanda-tanda yang mencederai ke-Islam-annya itu. Kelompok ini haram dibunuh dan harta bendanya harus dilindungi. Sabda Rasulullah saw, “Seorang Muslim terhadap sesama Muslim lainnya, haram saling membunuh, dan saling mengambil harta dengan cara tidak sah, dan saling mengganggu kehormatan.” (HR Muslim). Membunuh seorang yang mastur al-hal dengan sengaja merupakan dosa besar, dan pembunuhnya harus dihukum di dunia dan tentu saja di akhirat kelak; seorang yang mastur al-hal juga sah dijadikan imam shalat, hewan sembelihannya boleh dimakan tanpa syarat harus lebih dulu harus diuji kebenaran aqidahnya.[57]
Dengan kata lain, segala bentuk ibadah yang dilakukan oleh orang yang mastur al-hal dianggap sah secara hukum. Firman Allah “... Jangan mengatakan: ‘kamu tidak beriman’, kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu”, (QS. An-Nisa’, ayat 94). Rasulullah saw bersabda, “Siapapun yang shalat menurut cara shalat kami, yakni menghadap kiblat, dan memakan sembelihan kami, maka dia adalah seorang Muslim” (HR Bukhari). Artinya, menafikan keislaman orang yang melakukan segala bentuk ibadah, adalah sikap yang bertentangan dengan tuntunan Quran dan Sunnah Nabi. Allah juga berfirman “Ambillah al-afwu” (QS. Al-A’raf, ayat 199).[58] Dan kata al-afwu di ayat itu berarti “yang tampak dari seseorang”, dan tidak harus diperiksa dan dipastikan keadaan hati/batinnya.[59]
Karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Saya tidak diperintahkan untuk memeriksa hati manusia” (muttafaq ‘alaihi). Menilai setiap orang berdasarkan penampilan luarnya, merupakan salah satu prinsip agama Islam. Umar bin Khattab berkata, “Kami orang Islam, pada masa Rasulullah saw, dinilai berdasarkan tuntunan wahyu. Namun setelah wahyu Allah sudah terputus (dengan wafatnya Muhammad), maka kami akan menilai kalian sesuai dengan perbuatan kalian yang tampak bagi kami. Karena itu, siapapun yang memperlihatkan perbuatan baik, maka kami menjamin keamanannya dan berusaha mendekatkannya kepada kami. Kami tidak ada urusan dengan apa yang ada di hati/batinnya. Dan siapapun yang melakukan kejahatan, maka kami akan mengamankan diri darinya, dan tidak akan mempercayainya, meskipun hati/batinnya menginginkan kebaikan” (HR Bukhari).[60]
Tentu dibolehkan bahkan diwajibkan melakukan penelitian atau pemeriksaan terhadap orang yang mastur al-hal (keadaannya tertutupi) berdasarkan firman Allah, “... apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita beriman, maka hendaklah kamu menguji (keimanan) mereka...” (QS. Al-Mumtahanah, ayat 10). Juga boleh meneliliti keyakinan seseorang untuk memastikan derajat keislaman seseorang, seperti sifat adil bagi orang yang akan menjadi saksi, atau seorang yang akan menduduki suatu jabatan, dan juga perkawinan.[61]
Firman Allah, “...Dan angkatlah dua orang saksi yang adil di antara kamu...” (QS. Ath-Thalaq, ayat 2). Juga firman Allah, “... menurut keputusan dua orang yang adil di antara kamu...” (QS. Al-Maidah, ayat 95). Satu Hadis Rasulullah saw mengatakan, “Barang siapa menikahkan putrinya dengan laki-laki fasik, berarti dia telah memutus hubungan keluarganya”... Dan hadis “Bila kamu didatangi orang yang kamu ridhai akhlak dan agamanya, maka kawinkanlah dia (dengan putrimu)” (HR Turmidzi, hadis hasan). Dalam satu kasus, Umar bin Khattab berkata kepada seorang saksi, “Saya tidak mengenal pribadi Anda, maka datangkanlah orang yang mengenal Anda (agar saya bisa mengenal siapa Anda)” (lihat “Manar al-Sabil”, karya Ibnu Dhuwaiyan).[62]
Majhul al-hal (orang yang keadaannya tidak diketahui)
Terkait soal keimanan, kelompok manusia kedua adalah yang majhul al-hal (keadaan dan identitas keimanan dan ke-Islam-annya tidak diketahui). Yakni orang yang tidak menunjukkan tanda-tanda apakah dia Muslim atau kafir. Dan di zaman modern ini, beginilah keadaan sebagian besar umat manusia. Kelompok ini wajib diteliti keadaannya. Karena itu, mereka tidak bisa disakiti oleh umat Islam. Tapi, penelitian di sini hanya boleh dilakukan dalam persoalan yang memang menuntut untuk mengetahui agama dan keadilan, seperti sudah dijelaskan ketika membahas kelompok mastur al-hal.[63]
Dulu, kelompok majhul al-hal  diposisikan sebagai orang Islam (Muslim). Karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Anda boleh mengucapkan salam, kepada orang lain yang Anda kenal dan juga kepada orang yang Anda tidak kenal” (HR Bukhari). Padahal, hukum dasar dalam soal mengucapkan assalamu alaikum adalah haram mendahului mengucapkan salam kepada non-Muslim. Dengan hadis itu, berarti orang yang tidak diketahui identitasnya dianggap Muslim, karena boleh mengucapkan salam kepadanya. Dan hukum ini mengacu pada dua alasan sebagai berikut: Pertama, karena dulu, perbedaan penampilan dapat diketahui dengan mudah. Sebab, komunitas dzimmi (non-Muslim yang hidup di wilayah Islam) diwajibkan mengenakan pakaian khusus, yang membedakannya dengan pakaian komunitas Muslim. Kedua, hukuman murtad diterapkan secara ketat terhadap seorang Muslim yang menyatakan murtad dari agama Islam.[64]
Kedua alasan ini, sudah tidak ada lagi di zaman modern ini. Sebab, sulit memastikan keislaman orang yang majhul al-hal (identitasnya tidak diketahui).[65]
Radikalisme: Memang ada sebagian ulama memposisikan orang yang majhul al-hal berdasarkan negara domisilinya, artinya kalau berdomisili di wilayah non Muslim, maka diposisikan sebagai orang kafir.[66]
Derdikalisasi: Tapi kesimpulan ini tidak benar. Sebab, Allah swt membolehkan seorang Muslim yang tertindas untuk menyembunyikan keimanannya atau keislamannya, berdasarkan firman Allah, “Dan kalau bukan laki-laki yang mu’min dan wanita-wanita yang mu’min yant tidak kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu...” (QS. Al-Fath, ayat 25).[67]
Dulu, Makkah adalah wilayah kafir sampai ditaklukkan tahun 8 Hijriyah. Dan Rasulullah saw dan sahabatnya bermukim di Makkah sebelum hijrah. Namun setelah Rasulullah Hijrah ke Madinah, sebagian umat Islam yang lemah tetap berdomisili di Makkah, dan mereka adalah orang beriman. Meskipun demikian, tidak seorang pun yang memposisikan mereka sebagai orang kafir, hanya karena tetap berdomisili di wilayah kafir (Makkah).[68]
Bila ada sebuah kampung/negeri yang memberontak, menurut Ibnu Taimiyah, seluruh penduduknya, Muslim ataupun kafir, diperlakukan sesuai haknya masing-masing. Artinya, tidak semua penduduknya dianggap pemberontak. Sebab, tidak seorang pun ulama yang mengatakan bahwa hukum suatu wilayah berlaku bagi seluruh penduduknya.[69]
Singkat kata, pendapat yang benar bahwa orang yang majhul al-hal memang tidak bisa dihakimi, sebelum dipastikan keadaan dan identitasnya yang sebenarnya, berdasarkan firman Allah, “Dan janganlah mengikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui...” (QS. Al-Isra’, ayat 36). Juga firman Allah, “Wahai orang-orang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah...” (QS. An-Nisa’, ayat 94).[70]
Dua tingkatan penelitian identitas keimanan seseorang
Dan proses penelitian keimanan dan keislaman seseorang, dapat dilakukan dalam dua hal: Pertama, meneliti keislaman seseorang dalam persoalan yang disyaratkan adanya faktor keislaman. Kedua, meneliti keadilan dalam persoalan yang disyaratkan adanya faktor keadilan.[71]
Dengan demikian, warga sipil yang berdomisili di negara-negara Muslim terdiri dari berbagai kelompok komunitas. Dan bila terjadi percampuran antara yang mubah dan yang haram, maka meninggalkan yang haram harus lebih diutamakan.[72]
Karena itu, tidak ada alasan syar’i yang membolehkan penyerangan terhadap warga sipil dengan cara yang tidak pilih kasih (peledakan bom). Dan kalaupun diasumsikan bahwa tindakan itu perlu dilakukan, lantas bagaimana kita menyerang orang-orang yang majhul al-hal (identitas keislamannya tidak diketahui), tanpa didahului penelitian tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Padahal Allah swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, Dan Jangan mengatakan: ‘kamu tidak beriman’, kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaanmu di masa lalu, kemudian Allah menganugerahkan nikmat-Nya kepada kamu. Maka telitilah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apapun yang kamu kerjakan” (QS. An-Nisa’, ayat 94). Ayat ini disebutkan dalam Quran setelah ayat yang mengancam keras orang “...yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja...” (QS. An-Nisa’, ayat 93). Dan Allah swt mengulang kata “telitilah” untuk menegaskan kewajibannya. Di ayat ini, Allah juga mengancam orang yang membunuh orang lain yang tidak diketahui identitas keimanannya, dengan tujuan untuk mendapatkan harta benda duniawi. Disebutkan juga bahwa umat Islam sebelumnya berada dalam kondisi demikian “...Begitulah keadaanmu di masa lalu...” agar menjadi peringatan keras bagi mereka yang terburu-buru mengganggu dan membunuh orang lain.[73]
Dan saya tidak yakin bahwa membunuh warga sipil di negara-negara non-Muslim dengan cara peledakan hotel, gedung dan alat transportasi, dapat dikategorikan sebagai jihad di jalan Allah. Semua perbuatan itu, tidak boleh dilakukan, walaupun dengan alasan membunuh perisai manusia Muslim atau untuk membunuh orang kafir.[74]
Karena itu, haram hukumnya membunuh warga sipil di negara-negara non-Muslim, di mana warga non-Muslim bercampur dengan komunitas Muslim, dan juga terjadi percampuran antara orang yang mastur al-hal dan majhul al-hal). Dan tindakan membunuh mereka sekaligus, melalui aksi peledakan bom atau sejenisnya, posisi hukumnya berada antara haram yang pasti keharamannya dan syubhat. Dan dalam hadis Nabi saw disebutkan, “Siapapun yang melakukan perbuatan yang syubhat, berarti dia telah melakukan perbuatan haram”. Artinya, bila terjadi percampuran antara yang haram dan halal, dalam satu persoalan, maka persoalan itu haram hukumnya. Tidak ada satu pun alasan hukum yang membenarkan untuk membunuh mereka.[75]
Lagi pula, sanksi terhadap perbuatan kemungkaran/maksiat tidak harus dilakukan dengan pembunuhan atau peledakan bom. Dan Rasulullah saw sudah melarang mengancam orang lain tanpa pilih kasih, dan pelakunya diancam secara keras: “Ummatku yang membangkang terhadap umatku yang lain, membunuh orang yang baik dan orang yang jahat, tidak peduli dengan orang-orang beriman, dan tidak menepati janjinya, maka mereka itu tidak termasuk golonganku” (HR Ahmad dan Muslim). Dan ungkapan “tidak termasuk golonganku” dalam hadis itu merupakan format kalimat yang berarti ancaman besar yang menunjukkan dosa besar.[76]
5.9.        JIHAD OFENSIF DAN JIHAD DEFENSIF
Radikalisme: Umat Islam di dunia sekarang ini selalu berada dalam posisi teraniya. Umat Islam di Palestina melakukan jihad defensif melawan agresor Israel. Umat Islam di Afganistan berjihad defensif menghadapi serangan membabi buta yang dilancarkan pasukan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.
Bagi mujahidin yang berpeluang pergi ke Afganistan, dipersilakan. Tapi, kalau tidak berpeluang ke medan tempur, maka seorang Muslim harus memaksimalkan potensi dirinya dan memanfaatkan setiap peluang untuk berjihad sesuai dengan kemampuan di manapun dan kapanpun.
Radikalisme: Pengertian jihad ofensif yang mulai dikembangkan di kalangan kelompok radikal memang sangat longgar, dan konsekuensinya bisa sangat fatal. Gagasan ini yang juga diyakini Imam Samudra cs.
Namun, jihad ofensif ini berubah bentuk menjadi aksi teror tanpa pandang bulu. Dalam kasus bom Bali I, meskipun konon sasaran operasi jihad didahului pengecekan lapangan (survei target), namun tetap saja menciptakan teror yang luar biasa dan korbannya pun tidak terbatas pada sasaran awal (yakni orang yang dianggap musuh). Sebab, di antara para korban, terdapat banyak warga Muslim yang tidak tahu menahu tentang konflik ideologis yang diusung oleh para anggota militan dari satu kelompok radikal.
5.10.     JIHAD LOKAL DAN JIHAD GLOBAL
Apapun alasannya, harus diakui bahwa kelompok-kelompok radikal di hampir semua negara Islam telah berhasil memposisikan diri sebagai gerakan global, atau lebih tepatnya sukses melakukan perlawanan pada skala global.
Radikalisme: Seperti diketahui, Amerika dan sekutunya sejak 11 September 2001, melancarkan agenda memerangi terorisme melalui slogan “war on terror” di seluruh dunia, terutama di negara-negara Muslim yang dianggap sebagai basis gerakan radikal, seperti Afganistan, Indonesia, Irak, Iran, Mesir, Al Jazair, Maroko, Sudan, bahkan Saudi Arabia dan negara-negara Teluk lainnya (Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Omman).
Kalau war on teror dilakukan secara global, maka harus dilawan dengan jihad yang juga berskala global. Argumentasi lokal jihad, dalam perang hanya di wilayah konflik perang tidak bisa lagi diterima.
Jihad global ini kemudian difatwakan oleh Osama bin Laden: boleh membunuh warga Amerika di manapun dan kapanpun. Artinya, di negara manapun di dunia ini, pembunuhan itu dapat dilakukan.
Deradikalisasi: melawan war on terror ala Amerika dengan teror lokal adalah pertarungan yang tidak seimbang, dan cenderung merupakan kebijakan mengambil jalan pintas.
Dengan kata lain, melakukan pembalasan yang tidak berimbang dengan terror yang dilakukan dengan argumentasi di manapun bisa dilakukan adalah sebuah tindakan lari dari inti persoalan.
5.11.  JIHAD DAN IZIN ORANG TUA DAN DAN KEWAJIBAN MEMBAYAR UTANG
Radikalisme: dalam banyak kasus di Indonesia, sering terjadi para tersangka teroris baru diketahui oleh pihak keluarganya ketika ditangkap. Sebagian di antaranya sudah bertahun-tahun meninggalkan keluarga (orang tua, anak-istri), lalu tiba-tiba foto dan namanya muncul di layar televisi sebagai tersangka pelaku aksi kekerasan.
Salah satu alasannya karena dalam jihad fardhu ‘ain, seorang mujahid tidak harus meminta izin kepada kedua orangtua. Posisinya seperti mau shalat, tidak perlu izin kedua orang tua. Izin kedua orang hanya diwajibkan dalam jihad yang posisinya hukumnya masih fardhu kifayah.
Deradikalisasi: Salah satu syarat penting jihad adalah izin dari kedua orang tua dan juga izin dari orang yang memberi utang. Syarat ini mengacu pada kaidah: mendahulukan yang lebih penting ketika terdapat banyak kewajiban yang harus dilakukan pada waktu yang sama. Maka, seorang Muslim tidak boleh pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tuanya. Seorang muslim yang sedang berutang juga tidak boleh pergi berjihad tanpa izin dari orang yang berpiutang (yang memberi utang), kecuali bila ada pihak ketiga yang menjamin utangnya. Sebab, meskipun mati syahid akan menghapus segala dosa, namun tidak mampu menghapus utang. Rasulullah saw bersabda, “Mati syahid menghapus segala dosa, kecuali utang” (HR Muslim), kecuali utang orang yang mati syahid di tengah laut.[77]
Pernah seorang sahabat mau pergi berjihad, untuk itu, dia meminta izin kepada Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Orang itu menjawab: ya, kedua orang tuaku masih hidup. Rasulullah mengatakan, “Berjihadlah untuk kedua orang tuamu” (muttafaq ‘alaihi), artinya berjihadlah dengan cara berbuat baik kepada kedua orang tuamu.[78]
Dalam soal utang, Rasulullah saw bersabda, “Jiwa setiap Muslim bergantung pada utangnya, sampai dia melunasinya” (HR Tirmidzi, yang mengatakan ini hadis hasan). Juga, pernah seorang sahabat meninggal dunia, lalu Rasulullah saw memerintahkan saudara dan kerabatnya yang masih hidup, “Sungguh, saudaramu ini terperangkap dengan utang, maka bayarkanlah utangnya itu! (hadis shahih, diriwayatkan oleh Ahman bin Majah).[79]
Dan sungguh sangat menyesalkan, di zaman modern, kita melihat sebagian Muslim pergi berjihad, atau melakukan suatu operasi istisyhad di negara lain tanpa izin dari kedua orang tuanya, bahkan kadang tanpa izin dari orang yang berpiutang kepadanya (kreditor). Lebih dari itu, juga tanpa meninggalkan biaya hidup untuk anggota keluarganya dan orang yang menjadi tanggungannya. Tindakan seperti ini merupakan dosa. Sebab, boleh jadi, dia mati dalam jihadnya, sementara belum bisa dipastikan apakah Allah swt mengampuni dosanya atau tidak. Dan seperti diketahui, ampunan Tuhan bergantung pada kehendak-Nya, “...Dan Allah mengampuni segala doa, kecuali syirik, sesuai dengan kehendak-Nya.” (QS. An-Nisa’, ayat 48). Dalam hadis shahih, Rasulullah saw bersabda, “Bahwa perbuatan baik seorang Muslim dihitung dengan perbuatan yang terakhir dilakukan di dunia)”.[80]
Benar bahwa ahli fiqhi berpendapat bahwa izin dari kedua orangtua hanya disyaratkan dalam jihad yang bersifat fardu kifayah. Namun sebagian ahli fikhi juga mengatakan bahwa bila seorang Muslim berjihad dalam posisi fardhu ain (kewajiban individual), namun jihadnya itu akan membinasakan kedua orangtuanya atau salah satu dari kedua orang tuanya, maka dia tidak boleh pergi berjihad, dengan alasan bahwa ada orang lain yang bisa menggantikan posisinya. Dalam perang Badr, Rasulullah saw mengizinkan Usman bin Affan tidak ikut bertempur, dengan alasan akan merawat istrinya yang sakit, dan secara logika, kedua orang tua lebih utama daripada istri.[81]
Imam Syafi’i, dalam bukunya “Al-Umm”, mengatakan, “Seorang Muslim tidak boleh pergi berjihad, bila khawatir keluarganya akan diserang musuh, ketika sedang pergi berjihad”. Ketika terjadi Perang Al-Ahzab di Madinah, Rasulullah saw mengumpulkan semua wanita dalam sebuah benteng, karena khawatir akan diserang oleh musuh, yang sudah mengepung Kota Madinah. Maka sungguh tidak benar, bila ada orang pergi berjihad tanpa menjamin keamanan bagi keluarganya, dan/atau membiarkan anggota keluarganya menjadi sasaran rentan dari serangan musuh.[82]
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa argumentasi ini terbantahkan dengan hadis yang menyebutkan, “Bahwa setan senantiasa menggoda manusia dengan berbagai cara”, (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i). Lanjutan hadis ini menjelaskan bahwa bila seorang Muslim ingin pergi berjihad, maka setan akan menggodanya dengan mengatakan, “Kamu pergi berperang, lalu kamu tewas, lantas wanita (isterimu) akan dinikahi (orang lain), dan hartamu akan dibagi-bagi” (Hadis). Namun agumentasi seperti ini adalah upaya justifikasi, yang bukan pada tempatnya. Pernah Umar bin Khattab memerintahkan semua orang untuk pergi berjihad, tapi Umar melihat sikap malas-malasan dari umat Islam, dan akhirnya Umar bin Khattab menegaskan “Pergilah berjihad, dan aku adalah kepala keluarga untuk semua, (artinya, akan menjamin keamanan semua keluarga yang ditinggalkan)”, maka mereka pun bersemangat pergi berjihad.[83]
Karena itu, semua Muslim di dunia dihimbau agar tidak terpesona oleh retorika orang-orang bodoh yang mengajak Anda untuk melakukan konfrontasi dan berperang melawan musuh, tanpa persiapan yang matang dan berimbang. Tentu, orang-orang bodoh itu akan membacakan ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengancam Muslim yang tidak mau berjihad. Tindakan seperti ini, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw atau sahabat Nabi. Jihad hanya wajib bila ada kemampuan. Dan sebelum Hijrah, ketika umat Islam masih dalam posisi lemah, Rasulullah saw meminta “Siapa yang mau membantu saya, sampai Allah menurunkan wahyu (perintah selanjutnya). Permintaan Rasul ini mengacu pada tuntunan Allah yang menyebutkan, “Katakanlah (wahai Muhammad): ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku ke pintu yang benar, dan anugerahkanlah kepadaku kekuatan yang menolong” (QS. Al-Isra’, ayat 80). Padahal, kita tahu, Rasulullah saw adalah hamba yang senantiasa mendapatkan dukungan langit dari Allah.[84]
Terhadap para sahabat Nabi yang tidak mampu berjihad, Rasulullah saw hanya menyampaikan firman Allah swt yang mengatakan, “Juga tidak berdosa orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena bersedih, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan ” (QS. At-Taubah, ayat 92).[85]
Dan Allah swt telah mengatur sistem dan proses kehidupan di dunia ini berdasarkan hukum sebab akibat, bukan berdasarkan logika mukjizat atau klenik. Benar, bahwa sesuatu yang luar biasa bisa saja terjadi ketika sedang berjihad, tapi tidak bisa dijadikan acuan utama dalam melakoni kehidupan yang normal. Dan proses hukum sebab-akibat senantiasa bermanfaat selama tidak bertentangan dengan takdir.[86]

5.12.     Jihad perorangan dan perimbangan kekuatan
Sebagai catatan, istilah jihad perorangan sekarang ini sebenarnya tidak terlalu tepat. Sebab, dalam melakukan suatu operasi jihad berupa pengeboman, tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu orang mujahid, tapi paling tidak beberapa orang. Dalam beberapa kasus aksi bom di Indonesia, umumnya melibatkan sekitar 15 sampai 20 orang.
Namun, yang dimaksud dengan jihad perorangan adalah aksi individual pada puncak operasi jihad, seperti yang dilakukan oleh seorang pelaku bom syahid.
Radikalisme: Kelompok-kelompok Islam yang membolehkan jihad perorangan dalam memerangi umat Kristiani dan Yahudi tanpa pandang bulu, mengacu pada dalil, “Maka berperanglah kamu di jalan Allah, jangan terbebani sesuatu kecuali kewajiban kamu sendiri,” (QS. An-Nisa’, ayat 84). Juga dalil tentang tindakan seorang sahabat Nabi, Abu Bashir, yang tetap berjihad seorang diri, setelah Perjanjian Hudaibiyah pada periode Makkah.[87]
Deradikalisasi: Sekali lagi, justifikasi tersebut tidak mengacu pada kaidah penafsiran yang benar. Sebab, dalil-dalil ini tidak bisa dijadian acuan untuk melakukan jihad perorangan.[88]
Firman Allah swt “Maka berperanglah kamu di jalan Allah, jangan terbebani sesuatu kecuali kewajiban kamu sendiri,” (QS. An-Nisa’, ayat 84), diwahyukan setelah umat Islam memiliki wilayah kekuasaan dan wilayah perlindungan yang dikontrol penuh di Madinah. Dalam kaitan ini, Allah swt berfirman, “Dan ingatlah (wahai kaum Muhajirin), ketika kamu masih berjumlah sedikit dan tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, lalu Allah memberi kamu tempat menetap, dan memperkuat posisimu dengan pertolongan Allah, serta menganugerahi kamu rezki yang baik, agar kamu bersyukur,” (QS. Al-Anfal, ayat 26).[89]
Artinya, Allah tidak mewajibkan jihad perorangan ketika umat Islam masih berjumlah sedikit dan tertindas di Makkah sebelum Hijrah. Sebab, seandainya jihad perorangan itu wajib, tentu Allah sudah mewajibkan jihad pada periode Makkah, dan setiap Muslim wajib berjihad tanpa peduli dengan keadaan dan kemampuannya. Artinya, mewajibkan jihad perorangan dengan berdalil pada ayat QS. An-Nisa’, ayat 84, adalah justifikasi yang tidak benar. Selain itu, bahkan paska Hijrah dan setelah jihad telah diwajibkan, Rasulullah saw tidak pernah berjihad sendirian. Lebih dari itu, Nabi Musa dan Harun as, tidak berperang seorang diri, ketika umat Yahudi enggan berjihad. Allah berfirman, “Mereka (Bani Israel) berkata: ‘Hai Musa, kami tidak akan pernah mau masuk ke (Al-Quds/Jerusalem), selama mereka (musuh) berada di dalamnya, maka pergilah kamu berdua bersama Tuhanmu, dan bertempurlah kamu berdua, sedangkan kami hanya akan tetap duduk di sini saja’”....”Lalu Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku. Karena itu, pisahkanlah antara kami berdua dengan orang-orang fasik itu’,” (QS. Al-Maidah, ayat 24 – 25).[90]
Semua dalil yang tidak membolehkan jihad perorangan sebenarnya mengacu pada tujuan utama jihad, yakni menegakkan dan/atau memenangkan agama Allah. Sebab sulit dibayangkan bahwa jihad yang cuma dilakukan oleh satu atau dua orang saja – meskipun keduanya adalah Nabi – akan mampu merealisasikan tujuan utama jihad. Karena itu, para Nabi tidak melakukannya. Lalu atas alasan apa, ada orang perorangan dari kelompok kelompok jihd yang berjihad sendirian.[91]
Karena itu, perintah jihad perorangan yang tercantum dalam ayat: “Maka berperanglah kamu di jalan Allah, jangan terbebani sesuatu kecuali kewajiban kamu sendiri,” (QS. An-Nisa’, ayat 84), hanya bertujuan memberikan dorongan berjihad. Dan kalaupun jihad perorangan diperintahkan, maka hukumnya bukan wajib, tapi sekedar mubah (dibolehkan). Sebab, seandainya jihad perorangan wajib hukumnya, tentu Allah swt sudah mewajibkan jihad terhadap orang-orang tertindas. Seandainya jihad perorangan wajib, tentu Allah swt tidak akan membolehkan tindakan mengisolasi diri; atau menyembunyikan keimanan; atau memaafkan; atau bersabar ketika tertindas; atau melakukan perjanjian damai dengan musuh.[92]
Kesimpulan bahwa jihad perorangan hanya sebatas mubah (dibolehkan) dan bukan wajib, harus ditegaskan bahwa hukum boleh-nya pun harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
Orang yang memiliki dan tunduk pada seorang amir atau imam (pemimpin), maka dia tidak boleh melakukan sesuatu kecuali dengan izin amir dan pemimpinnya “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bila mereka sedang bersama-sama (Rasulullah) mengurus suatu persoalan, mereka tidak boleh menginggalkan (Rasulullah) sebelum memiinta izin kepadanya...” (QS. An-Nur, ayat 62). Rasulullah saw juga bersabda, “Barang siapa yang patuh kepada amir, berarti dia telah mentaatiku. Dan barang siapa yang membangkang kepada amirnya, berarti dia telah membangkang kepadaku” (Hadis muttafaq ‘alaihi).[93]
Karena itu, para ulama fikhi mengatakan, “Persoalan jihad adalah urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada imam (pemimpin dan penguasa)”. Hal ini dijelaskan antara lain Ibnu Quddamah dalam bukunya “Al-Mugni”. Boleh saja terjadi, seorang imam/sultan menugaskan orang perorangan untuk melakukan tugas tertentu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ketika “mengutus Al-Zubair seorang diri untuk melakukan pengintaian”, (HR Bukhari). Juga, dalam perang Al-Ahzab, Rasulullah saw memerintahkan Hudzaifah bin al-Nu’man untuk mencari tahu informasi tentang musuh, lalu Hudzaifah bin al-Nu’man menyusup ke tengah barisan musuh. Kalau kemudian ada seorang Muslim, yang punya pemimpin dan sudah menyatakan baiat, lalu tanpa seizin pemimpinnya, dia berinisiatif sendiri untuk berjihad, dengan melakukan operasi yang justru membahayakan umat Islam dan bisa memprovokasi pihak musuh untuk menghancurkan Negara Islam, berarti dia telah mengkhianati baiat kepada amir (pemimpin)-nya. Dia juga telah menentang kaidah fikhi yang menegaskan bahwa “Persoalan jihad adalah urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada imam (pemimpin dan penguasa)”. Perbuatannya adalah dosa besar yang membinasakan. Dia telah berkhianat dan menipu, lalu lari sambil membiarkan umat Islam lainnya menanggung akibat perbuatannya. Kalau mau, saya bisa saja menyebutkan nama-nama orang yang bertindak seperti ini.[94]
Jihad perorangan hanya bisa dilakukan bila didasari keyakinan bahwa aksi jihadnya itu akan berdampak positif bagi Islam dan umat Islam. Sebab, inilah inti dan tujuan utama jihad.[95]
Suatu perbuatan tidak boleh berbahaya dan/atau membayahakan
Jihad perorangan tidak boleh justeru membahayakan agama Islam dan umat Islam, berdasarkan hadis Nabi: “لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ” (bahwa suatu perbuatan tidak boleh berbahaya dan/atau membayahakan). Juga kaidah fikhi yang mengatakan, “mencegah mudarat harus lebih diutamakan dari upaya mendapatkan maslahat”. Juga karena “mudharat/kerusakan dapat dijadikan alasan untuk mengharamkan suatu perbuatan”. Karena itu, seorang Muslim tidak boleh melakukan suatu perbuatan, yang memberikan manfaat bagi dirinya, tapi pada saat yang sama, perbutan itu juga membahayakan umat Islam lainnya. Rasulullah saw bersabda, “orang-orang Islam seperti satu sosok laki-laki”. Dan di hadis lain, Rasulullah saw bersabda, “Dalam hal saling mencintai dan mengasihi, orang-orang Islam diumpamakan seperti satu sosok tubuh,” (Hadis muttafaq ‘alaihi).[96]
Artinya, dalam setiap tindakan dan perbuatannya, setiap Muslim wajib memperhatikan kepentingan umat Islam lainnya. Bila tidak, berarti dia bukan dari kelompok Muslim yang diumpakan satu sosok tubuh manusia. Karena itu, seorang Muslim yang melakukan serangan dan pembunuhan dengan dalih untuk berjihad, kemudian lari bersembunyi, sambil membiarkan anggota keluarganya dan pengikutnya menanggung akibat perbuatannya: teracam dibunuh, dipenjara, hidup sengsara dan kelaparan tanpa perlindungan, dan menjadi sasaran balas dendam dari pihak musuh, semua aksi itu sama sekali bukan jihad, bukan juga tindakan jantan. Bahkan orang-orang di zaman Jahiliyah (sebelum Islm) sekalipun akan merasa malu melakukannya. Sebab, seorang di zaman Jahiliyah, akan melindungi kabilah dan anggota keluarganya, meskipun dengan resiko mati.[97]
Tapi, sekarang ini, kita bisa melihat seorang Muslim yang meninggalkan dan membiarkan anggota keluarga dan pengikutnya menjadi sasaran pembunuhan, rentan dipenjara dan hidup sengsara. Kemudian, tiba-tiba dan tanpa merasa malu sedikitpun, mengangkat slogan perjuangan umat Islam seperti memperjuangkan masalah Palestina, yang dijadikan barang dagangan oleh mereka yang mengklaim kepahlawanan dan kepempinan melalui berbagai media.[98]
Sebagian yang lain memboyong keluarganya ke tempat perlindungan aman, lalu membiarkan umat Islam menjadi sasaran rentan oleh aksi balas dendam dari pihak musuh. Sekali lagi, kalau mau, saya bisa saja menyebutkan beberapa nama.[99]
Tidak boleh melakukan Jihad yang melampau batas
Jihad perorangan tidak boleh mengandung tindakan pelanggaran yang malampaui batas (العدوان), yang dilarang oleh hukum Islam, seperti membunuh orang yang tidak boleh dibunuh, baik Muslim ataupun non-Muslim, atau mengambil harta secara tidak sah.[100]
Pertempuran yang dilakukan dalam jihad perorangan juga tidak boleh mengandung unsur pengkhianatan terhadap suatu perjanjian antara umat Islam dengan orang/kelompok yang diperangi. Rasulullah saw bersabda, “Dalam agama kami (Islam), tidak ada tempat tempat bagi pengkhianatan” (hadis muttafaq ‘alaihi, yang disampaikan Rasulullah saw ketika Perjanjian Hudaibiyah).[101]
Kalau dicermati, semua syarat untuk jihad perorangan di atas, memang telah terpenuhi ketika seorang sahabat Nabi, Abu Bashir melakukan jihad perorangan di Makkah setelah Perjanjian Hudaibiyah. Sebab, ketika itu, Abu Bashir memiliki wilayah aman (qaidah aminah) sendiri.  Dan Abu Bashir sendiri tidak dalam posisi di bawah garis komando langsung Rasulullah saw. Aksi jihad Abu Bashir juga tidak membahayakan umat Islam lainnya. Abu Bashir juga tidak terikat dengan suatu perjanjian dengan pihak yang diperanginya.[102]
Lagi pula, pada awalnya, Abu Bashir memang berjihad sendirian, tapi kemudian ikut bergabung beberapa umat Islam lainnya yang tertindas dan lari dari Makkah setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kelompok Abu Bashir juga tidak memerangi pasukan yang lebih unggul, dari segi jumlah prajurit dan peralatan perang. Mereka hanya bertempur melawan prajurit-prajurit Quraisy di Makkah, dan ketika itu, orang kafir Makkah belum memiliki pesawat-pesawat tempur yang bisa membumihanguskan setiap titik perlindungan komunitas Muslim.[103]
Lebih dari itu, kelompok Abu Bashir tidak pernah masuk ke Makkah untuk melakukan operasi jihad. Dan begitu Abu Bashir dan kelompoknya diizinkan oleh kaum kafir Makkah untuk bergabung dan menyusul umat Islam ke Madinah (yang nota bene bertentangan dengan salah satu pasal Perjanjian Hudaibiyah), Kelompok Abu Bashir langsung menghentikan serangan-serangan terhadap kaum kafir Makkah. Sebab tidak lagi bermanfaat banyak untuk merealisasikan tujuan utama jihad: menegakkan agama Allah.[104]
Radikalisme: Jihad perorangan juga berdalih ayat “... Kadang terjadi, kelompok yang kecil bisa mengalahkan kelompok yang besar jumlahnya, dengan izin Allah... ”(QS. Al-Baqarah, ayat 249). Juga ayat “Untuk menghadapi musuh-musuhmu, siapkanlah kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...” (QS. Al-Anfal, ayat 60). Mereka juga berdalih, misalnya, seorang Muslim yang hanya memegang sebilah pisau boleh bertempur melawan musuh yang berjumlah banyak dan dilengkapi kendaraan tempur berupa tank.[105]
Deradikalisasi: Kalau diperhatikan, ayat ... Kadang terjadi, kelompok yang kecil bisa mengalahkan kelompok yang besar jumlahnya, dengan izin Allah... ”(QS. Al-Baqarah, ayat 249) itu diawali dengan kata kam (berarti: berapa atau beberapa). Dalam uslub (ungkapan) Bahasa Arab, kata kam yang berada di awal kalimat sering diartikan kadang-kadang, boleh saja atau mungkin terjadi. Dengan demikian, karena tidak ada kepastian, maka ayat ini tidak bisa dijadikan acuan utama untuk melakukan aksi perorangan atau kelompok kecil.
Selain itu, hukum syariat Islam, tidak boleh hanya mengacu pada satu dalil saja, tanpa melihat dalil lain yang boleh jadi membatasi dan/atau mengkhususkannya dalam persoalan yang sama. Karena itu, Allah saw mewajibkan bertanya kepada orang yang lebih ahli di bidangnya, “... Maka bertanyalah kepada seorang ahli pengetahuan, bila kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl, ayat 43). Rasulullah saw menjelaskan bahwa fatwa orang bodoh akan mengantar ke jurang kesesatan, ketika “masyarakat mengangkat orang bodoh sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu ditanya dalam berbagai persoalan, lalu dia berfatwa tanpa pengetahuan, akhirnya dia menjadi sesat dan juga menyesatkan orang lain” (hadis muttafaq ‘alaihi).[106]
Dalam berfatwa, tidak boleh hanya mengacu pada satu dalil, tanpa memperhatikan dalil-dalil lain yang berbicara dalam persoalan yang sama. Sebagai contoh, seorang ulama berfatwa bahwa masa iddah (menunggu) bagi wanita yang ditalak adalah tiga kali quru’ (haid dan/atau suci), dengan mengacu pada ayat “Dan wanita-wanita yang ditalak wajib menunggu sampai tiga kali  quru’ (suci atau haid)” (QS. Al-Baqarah, ayat 228). Meskipun dia menjawab pertanyaan berdasarkan ayat Quran, namun fatwa seperti ini bisa keliru dan menyesatkan, bila tidak diawali dengan pengetahuan tentang keadaan orang yang bertanya. Sebab, masa iddah bisa bervariasi berdasarkan kondisi riil wanita yang ditalak. Karena wanita yang ditalak dan belum disetubuhi, tidak wajib menunggu masa iddah-nya, berdasarkan ayat “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudia kamu ceraikan mereka, sebelum kamu mencampurinya, maka para wanita ita tidak harus menunggu iddah...” (QS. Al-Ahzab, ayat 49); Sementara wanita berusia sangat muda dan/atau wanita yang monopause, masa iddah-nya hanya tiga bulan; Wanita yang ditalak ketika sedang hamil, masa iddah-nya habis begitu dia melahirkan anaknya, berdasarkan ayat “Dan perempuan-perempuan yang tidak lagi haid (monopause), jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan, begitu pula wanita yang belum haid (belum memasuki usia haid). Sementara wanita hamil, masa iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya...” (QS. At-Thalaq, ayat 4); Wanita yang berhijrah ke wilayah Muslim dan meninggalkan suaminya di wilayah kafir, masa iddah-nya adalah hanya satu kali haid, berdasarkan hadis  yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas; Istri yang berasal dari hamba sahaya, masa iddah-nya dua kali haid; Wanita yang masih hamba sahaya, masa iddah-nya hanya satu kali haid. Artinya, dalam persoalan masa iddah bagi wanita yang ditalak, tidak boleh berfatwa dengan hanya mengacu pada satu dalil. Begitu juga dalam persoalan jihad perorangan.[107]
Perimbangan kekuatan
Dalam berjihad, harus ada batas minimal perimbangan kekuatan (jumlah prajurit dan peralatan), antara umat Islam dan musuh. Bila perimbangan kekuatan ini sangat timpang, misalnya, pihak musuh jauh lebih kuat dibanding umat Islam, maka umat Islam tidak wajib bertahan dalam pertempuran jihad, berdasarkan beberapa ayat di akhir surat Al-Ahzab. Dalam hal inilah, sahabat Nabi, Ibnu Abbas mengatakan, “Seorang Muslim yang kabur dari pertempuran melawan dua orang musuh, dikategorikan kabur dari kewajiban berjihad (berdosa). Sementara seorang Muslim yang kabur dari pertempuran ketika melawan tiga orang musuh, tidak dianggap lari dari kewajiban berjihad (tidak berdosa)[108]..[109]
Menurut para ulama fikhi, masalah perimbangan kekuatan ini bukan hanya berkaitan dengan jumlah prajurit, tapi juga mencakup hal lain seperti peralatan. Sebab illat (pertimbangan hukum) yang meringankan kewajiban jihad bersifat umum. Allah swt berfirman, “Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu, dan Allah mengetahu bahwa pada dirimu ada kelemahan...” (QS. Al-Anfal, ayat 66). Keringanan berjihad di ayat ini bersifat umum, dan mengacu pada prinsip bahwa kehidupan harus dilakoni berdasarkan prinsip sebab-akibat, bukan berdasarkan mu’jizat apalagi klenik. Tentu saja, harus diakui bahwa boleh saja, dalam pertempuran yang tidak imbang, terjadi hal-hal yang luar biasa. Tapi sesuatu yang luar biasa itu tidak bisa dijadikan acuan utama dalam melakoni kehidupan normal. Toh, periode mu’jizat sudah berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw.[110]
Singkat kata, dalam menjalani kehidupan normal, termasuk dalam bertempur, keputusan harus diambil berdasarkan hukum sebab-akibat, agar orang bisa melakukan suatu perbuatan dengan percaya diri dan punya alasan rasional untuk ikut berpartisipasi membangun di muka bumi. Pepatah mengatakan, yang bersungguh-sungguh akan berhasil; dan orang yang menanam, pada akhirnya, akan memetik hasilnya. Dalam hal ini, Ibnu al-Qayyim mengatakan, bahwa ketika melakukan perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah dan juga dalam berbagai pertempuran yang dilakukannya, Rasulullah saw senantiasa mengambil keputusan dengan mengacu pada hukum sebab-akibat. Dalam perang Uhud, misalnya, Rasulullah saw sampai mengenakan dua rompi perang (dikenakan secara berlapis). Padahal Rasulullah saw adalah orang yang dibantu dengan wahyu dan malaikat. Dan boleh dikatakan, aksi jihad yang dilakukan beberapa orang mujahidin yang memaksakan diri melawan barisan pasukan musuh yang lebih kuat, sama sekali bukan tindakan yang mengacu pada hukum sebab-akibat, dan juga bukan tindakan yang memperhitungkan perimbangan kekuatan.[111]
Keputusan perang dan fikhi
Keputusan perang dan berjihad, tidak bolah lagi hanya mengacu hanya pada dalil-dalil fikhi, tapi yang paling penting adalah ilmu kemiliteran dan pengalaman bertempur. Karena itu, Imam Ahmad bin Hanbali berfatwa bahwa “Bertempur di bawah komando seorang panglima yang jahat tapi kuat dan ahli, lebih baik daripada bertempur bersama seorang amir yang lemah”. Yang dimaksud kekuatan di sini pengalaman dan ilmu kemiliteran. Imam Ahmad melanjutkan, “kejahatannya toh untuk dirinya sendiri, sementara kekuatan dan keahliannya akan menguntungkan umat Islam”. Dan pada akhirnya, tujuan utama jihad adalah menegakkan agama Allah. Karena pertimbangan keahlian bertempur ini pulalah, sehingga Rasulullah saw lebih memilih mengangkat panglima perang yang memiliki keahlian bertempur, seperti Amru bin al-‘Ash dan Khalid bin Walid. Bukan berdasarkan senioritas atau berdasarkan sahabat yang lebih dulu masuk Islam atau yang lebih tinggi ilmu keislamannya.[112]
Perlu memperhitungkan perimbangan kekuatan antara pasukan Muslim dan pasukan musuh. Karena itulah, Khalid bin Walid tidak berdosa ketika memutuskan menarik mundur pasukan umat Islam dalam Perang Mu’tah, setelah tiga panglima perang tewas dalam pertempuran. Dalam perang ini, jumlah pasukan Romawi sebanyak 200.000 (dua ratus ribu prajurit). Sementara pasukan Islam hanya berkekuatan 3.000 (tiga ribu) prajurit. Perbandingannya, 3 : 200. Dan Rasulullah saw menilai keputusan penaarikan mundur pasukan yang dilakukan oleh Khalid bin Walid sebagai al-fathu (kemenangan/penaklukan), dalam pengertian bahwa dia telah menyelamatkan pasukan Islam dari kehancuran dan kebinasaan. Dalam kasus inilah, Allah swt mewahuukan ayat “Dan untuk menghadapi musuh-musuhmu, persiapkanlah kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...” (QS. Al-Anfal, ayat 60).[113]
Seandainya benar bahwa jihad diwajibkan meskipun tidak ada perimbangan kekuatan, atau seandainya jihad bisa dilakukan hanya dengan persiapan tempur seadanya, pasti Allah swt sudah mewajibkan jihad kepada umat Islam yang masih lemah dan tertindas ketika masih berada Makkah.[114]
Dan sebelumnya sudah disinggung bahwa tidak masuk akal, seorang pemuda Muslim yang baik dan taat hari ini, tiba-tiba, hanya dalam beberapa tahun, berubah menjadi seorang mufti dan sekaligus jenderal perang. Allah mengasihi seorang hamba yang menyadari kadar kemampuan dirinya. Dan sungguh tidak pantas bila seorang Muslim memaksakan diri menanggung suatu bahaya yang di luar batas kemampuannya. Padahal, secara hukum, tidak wajib mengorbankan seorang Muslim dalam persoalan yang tidak bermanfaat. Para ulama sepakat, seorang muslim tidak bisa dibebani tugas yang di luar batas kemampuannya. Kalau seseorang tidak memiliki kapasitas ilmu yang dapat mengarahkan segala perbuatannya, cukuplah dia memiliki akal yang bisa menuntunnya berbuat rasional.[115]
Dan sekarang ini, ada kelompok Islam yang awalnya bertempur, lalu lari karena tidak ada perimbangan kekuatan, dan membiarkan keluarganya dan teman-temannya menjadi sasaran empuk tindakan pembalasan dari pihak musuh. Dan anehnya, mereka tetap saja memprovokasi umat Islam lainnya – yang tidak lemah dan tidak memiliki kekuatan – untuk bertahan menghadapi musuh, meskipun diyakini tidak ada perimbangan kekuatan. Artinya mereka menyuruh orang lain melakukan sesuatu, yang tidak sanggup dilakukannya sendiri. Dan Allah swt mencela orang yang berbuat demikian, “Apakah kamu menyuruh orang lain untuk berbuat baik, sementara kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca ayat-ayat Quran. Apakah kamu tidak berakal?” (QS. Al-Baqarah, ayat 44). Di ayat lain, Allah bahkan mengancam, “Allah akan sangat murka, bila kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan,” (QS. Ash-Shaff, ayat 3).[116]
Bukan itu saja, mereka bahkan telah berupaya bernegosiasi dengan musuh secara diam-diam, sementara teman-temannya terus digiring untuk bertempur, agar tetap memiliki posisi tawar dalam proses negosiasi. Artinya, ada orang yang ingin berdamai dengan musuh di kamar tertutup, jauh dari publikasi media, dengan tujuan menjaga air muka dan harga diri di mata pengikut dan simpatisannya.[117]
Karena itu, para pemuda Muslim di berbagai negara Muslim, dihimbau agar tidak terpesona dengan pahlawan internet dan pemimpin mikrofon dan pedagang slogan yang notabene telah menjadi kelompok yang paling banyak mengirim teman-temannya ke liang kuburan dan juga ke sel-sel penjara. Kalau mau, saya bisa saja menyebutkan beberapa nama di sini. Maka pemuda-pemuda Muslim dianjurkan mempelajari agamanya secara baik, agar tidak gampang menjadi korban provokasi oleh orang yang berkoar-koar dengan slogan-slogan yang menipu.[118]
5.13.     KORBAN SIPIL DAN KEWAJIBAN MEMBAYAR DIYAT (TEBUSAN) KEPADA KELUARGA KORBAN
Salah satu persoalan krusial dalam aksi-aksi teror bom adalah jatuhnya korban sipil, baik Muslim ataupun non-Muslim. Seperti para pegawai di tempat yang menjadi target pengeboman.
Radikalisme: korban tewas dari warga sipil yang tidak berdosa dalam sebuah aksi bom, dapat dikategorikan sebagai collateral damage (korban sampingan dan/atau korban tambahan) yang memang tidak terelakkan dalam suatu perang. Istilah collateral damage sebenarnya justru berasal dari literatur barat, yang diajarkan di akademi-akademi militer.
Deradikalisasi: Benar, bahwa istilah collateral damage berasal dari literatur Barat. Tapi, istilah itu hanya cocok di medan pertempuran atau kondisi perang antara dua pasukan yang sedang bertempur. Sementara aksi-aksi bom bunuh dilakukan di wilayah publik (hotel, cafe, restoran dll). Bukan di medan perang.
Radikalisme: Jihad bukan hanya untuk defensif, tapi juga harus ofensif. Kesimpulan ini disari dari sebuah ungkapan yang menegaskan bahwa The best form of defence is attack. (pertahanan paling baik adalah menyerang). Artinya, kalau jihad memang untuk bertahan, maka jihad yang paling baik adalah jihad menyerang (ofensif). Sebab, jihad harus difungsikan untuk menghancurkan segala sesuatu yang menghalangi kemajuan Islam dan ummat Islam. Selain itu, jihad juga tidak mengenal batas wilayah: orang Indonesia bisa berjihad di Filipina atau Afganistan, sebaliknya warga Malaysia berjihad di Indonesia. Dengan mengacu pada buku Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fatawa vol.28, Abdullah Azzam mengatakan antara lain: “hukum jihad adalah wajib bagi setiap Muslim, Bahkan kewajiban pertama setelah tauhid (beriman) adalah melawan musuh yang agressor... Bila tidak mungkin melawan kafir tanpa membunuh orang Islam, maka pembunuhan (orang Islam) itu dibolehkan...”.
Deradikalisasi: klasifikasi antara warga sipil dan combatan merupakan klasifikasi modern terhadap warga/penduduk suatu negara. Defenisi warga sipil di negara-negara non Muslim adalah warga yang non-combatan. Sementara defenisi warga sipil di negara-negara Muslim adalah masyarakat umum.[119]
Memang ada perbedaan pendapat tentang status pasukan cadangan yang sedang tidak bertugas. Di beberapa negara, misalnya Israel dan Mesir, peraturan pasukan cadangan yang direkrut melalui sistem wajib militer memang nyaris menyerupai pasukan reguler. Sebab, sewaktu-waktu mereka dapat dipanggil bertugas.
Persoalannya, apakah pasukan cadangan yang sedang tidak bertugas dapat dikategorikan sebagai bagian dari combatan atau tidak?
Secara internasional, pasukan cadangan yang tidak bertugas berarti kembali ke posisi sipil, dan mereka kembali melakoni kegiatan/pekerjaan rutinnya. Artinya, status militer dan combatan itu hanya melekat ketika sedang bertugas.
Dan point penting dalam soal korban tewas sipil ini adalah pembayaran tebusan. Berdasarkan hukum pembunuhan dalam Islam, setiap korban tewas harus ditebus, dengan memberikan diyat (tebusan) kepada anggota keluarga atau ahli warisnya.
Radikalisme: Sebagian umat Islam berpendapat bahwa kewajiban membayar diyat (tebusan/ganti rugi) kepada wali korban  (keluarga korban) terbantahkan oleh hukum yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban membayar ganti rugi atas kematian seorang Muslim dalam suatu pertempuran yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Dalilnya, kesepakatan para sahabat Nabi yang tidak mewajibkan membayar tebusan bagi seorang Muslim yang tewas dalam pertempuran menumpas kelompok pembangkang (bughat), seperti disebutkan oleh Abu Ya’la dan Al-Mawardi dalam buku “Al-Ahkam al-Sulthaniyah”.[120]
Deradikalisasi: Justifikasi ini sungguh tidak benar dan tidak pada tempatnya. Membayar diyat (tebusan/ganti rugi) memang tidak diwajibkan atas korban tewas dalam pertempuran antara dua kelompok (pasukan keamanan negara dengan kelompok pembangkang/pemberontak). Namun aksi pembunuhan yang dilancarkan oleh satu pihak terhadap orang lain, melalui aksi peledakan bom yang sebagian korbannya adalah warga sipil Muslim dan non-combatan, yang tidak diberikan peringatan sebelum bom meledak agar bisa menyelamatkan diri, dan juga mengakibatkan kerusakan properti, semua ini harus dibayar ganti ruginya. Sebab yang terjadi di sini bukan pertempuran, tapi serangan dari satu pihak.[121]
Benar, ada hadis Nabi yang mengatakan bahwa korban tewas dalam pertempuran “akan dibangkitkan pada hari kiamat sesuai dengan niatnya (ketika tewas)” (hadis muttafaq ‘alaihi). Namun, hadis ini hanya berlaku di akhirat, dan tidak menggugurkan hak keluarga korban untuk mendapatkan diyat (tebusan/ganti rugi).[122]
Kalau Rasulullah saw saja masih membayar diyat (tebusan/ganti rugi) untuk korban tewas dari orang kafir – yang telah menyatakan diri masuk Islam, yang memang tidak ikut bertempur dalam perang – seperti orang yang dibunuh oleh Usamah dan Khalid bin Walid), lalu bagaimana hukumnya membunuh orang yang memang tidak berniat bertempur. Dan mereka ini adalah kelompok orang yang majhul al-hal (identitas keislamannya tidak diketahui), dan karena itu, harus diteliti lebih dulu sebelum diperangi. Karena itu, membunuh mereka ini pasti diwajibkan membayar diyat (tebusan/ganti rugi). Bila tidak, beban ganti rugi itu akan terus menggantung di leher pelakunya sampai hari kiamat.[123]
Menurut hukum Islam, dampak setiap perbuatan harus dipertanggungjawabkan. Sebab, sesuatu yang mengantar kepada kerusakan, berarti sesuatu itu adalah juga kerusakan. Dan kerusakan adalah perbuatan haram, maka akibatnya pun haram, meskipun dilakukan dengan niat baik (Lihat Imam Al-Syathibi, dalam “Al-Muwafaqat” jilid 2). Lebih tegasnya, setiap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan/membahayakan orang lain yang semestinya dilindungi, maka dia harus membayar ganti rugi atas kerusakan yang timbul akibat perbuatan itu, meskipun perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa. Sebab, ada kaidah yang mengatakan, “keterpaksaan melakukan sesuatu, tidak menggugurkan hak orang lain” (disebutkan oleh Izzuddin bin Abdulsalam, dalam bukunya “Qawaid al-Ahkam”; dan As-Sayuthi dalam buku “Al-Asybahu wa al-Nazhair”; dan Ibnu Rajab yang bermazhab Hanbali dalam buku “al-Qawaid”).[124]
Dan ganti rugi di sini bisa berupa diyat (ganti rugi jiwa yang mati, anggota badan yang rusak/cacat) atau ganti rugi dengan benda/barang yang persis sama atau berdasarkan nilai barang yang dirusak. Kalau dia bisa lari dari kewajiban mengganti kerugian di dunia, maka kewajiban ini akan terus menggantung di lehernya sampai hari kiamat. Rasulullah saw bersabda, “Di hari kiamat nanti, kalian akan menunaikan amanah kepada orang yang berhak (mengganti kerugian)”. Dan juga hadis yang menjelaskan tentang “Orang yang bangkrut di akhirat kelak”. Tapi, menunaikan hak (mengganti kerugian) orang lain di hari kiamat akan berlangsung dengan pola trade-off antara amal baik dengan amal jahat. Artinya, setiap amal jahat dihapus setelah ditebus dengan amal baik yang setara.[125]
Dan Rasulullah saw pernah membayar diyat (tebusan/ganti rugi) korban tewas yang dibunuh secara salah oleh Usamah bin Yazid. Rasulullah saw juga pernah membayar diyat (tebusan/ganti rugi) korban tewas dari anggota kabilah Bani Khudzaimah, yang dibunuh secara salah oleh Khalid bin Walid. Dalam hal inilah, Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah, kepada-Mu, saya memohon pemutusan hubungan dengan perbuatan Khalid bin Walid” (HR Bukhari).[126]
Artinya, faktor kesalahan dalam membunuh tidak menggugurkan hak orang lain (korban dan keluarga korban) untuk mendapat diyat (ganti rugi). Bahkan dalam persoalan membunuh seorang Muslim yang dijadikan perisai manusia oleh musuh dalam pertempuran, masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa tetap harus dibayar diyat (ganti rugi) atas kematiannya.[127]
Dan nilai diyat (ganti rugi/tebusan) untuk korban tewas seorang laki-laki merdeka (bukan hamba), baik anak-anak maupun orang tua pikun, sebesar 4,25 (empat seperempat) kilogram emas murni, atau sesuai dengan nilai ketika pembayaran dilakukan. Ini berdasarkan hukum Islam yang mengatakan, nilai diyat adalah 1.000 (seribu) Dinar Emas. Dan satu dinar = 4,25 gram (4,25 gram x 1.000 = 4.250 gram). Dengan asumsi harga emas sebesar Rp400.000 per gram, berarti setara dengan Rp1,7 miliar untuk setiap korban tewas laki-laki). Adapun nilai diyat untuk korban tewas wanita Muslimah adalah separuh dari nilai diyat laki-laki, yakni 2,125 kilogram emas (sekitar Rp850.000.000).[128]

















                                                                                                  


[1] BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Tersangka a/n Imam Samudra, 2002, yang dikutip Asep Adisaputa, “Imam Samudra Berjihad” Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 56.
[2] Dokumen “PEDOMAN UMUM PERJUANGAN JAMAAH ISLAMIYAH (PUPJI)”, hlm 37–40.
[3] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[4] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[5] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[6] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[7] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[8] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[9] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[10] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[11] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[12] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[13] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[14] Ali Imron, “Ali Imron Sang Pengebom”, Penerbit Republika, Jakarta, 2007, hlm 53-55.
[15] Ibid, Ali Imron, hlm 53-55.
[16] Ibid, Ali Imron, hlm 53-55.
[17] Imam Samudra, “Aku Melawan Teroris,” Jazera, Solo, 2004, hlm 125-133.
[18] Op.cit, Ali Imron, hlm 266.
[19] Sayyid Imam, “وثيقة ترشيد العمل الجهادي في مصر والعالم (Document of Right Guidance for Jihad Activity in Egypt and the World / Dokumen untuk mengarahkan praktek jihad di Mesir dan Dunia)”, Maret 2007, Bab 6.
[20] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[21] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[22] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[23] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[24] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[25] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[26] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[27] Loc.cit, Wawancara Abu Farhan.
[28] Ibnu Syahin, “At-Targhib Fi Fadhaili-l-A’mali Wa Tsawabu Dzalika”, hadis nomor 439.
[29] Ibid, Ibnu Syahin, hadis nomor 440.
[30] Lihat Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu-l-Islami Wa Adillatuhu, Bab Qawaidu-l-Jihad.
[31] Disadur dari makalah Yusuf Al-Qardhawi, “Legalitas Hukum Syariat atas Operasi Syahadah di Wilayah Palestina”, dalam Tabloid Mingguan PBNU, WARTA, edisi No. 02/thn XIX/1-15 Oktober 2004.
[32] Loc.cit, Sayyid Imam, Bab 12.
[33] Loc.cit, Sayyid Imam, Bab 12.
[34] Muhammad Husain Al Qahthani, “Fatwa-Fatwa tentang Pengeboman”, Pustaka Al-Inabah, Bogor, Cet. I, Februari 2006, 120-122.
[35] Imam Samudra, Aku Melawan Teroris”, Jazeera, Solo, Cet. I, September 2004, hlm 120.
[36] Ibid, Imam Samudra, hlm 163.
[37] Ibid, Imam Samudra,  hlm 130.
[38] Ibid, Imam Samudra, hlm 116.
[39] Wawancara Imam Samudra, 2 Maret 2002, yang dikutip Asep Adisaputa, “Imam Samudra Berjihad” Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 81.
[40] Ibid, Wawancara Imam Samudra di Polda Bali, 2 Maret 2002, yang dikutip Asep Adisaputa, “Imam Samudra Berjihad” Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 81.
[41] BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Tersangka a/n Imam Samudra, oleh Penyidik Polda Bali, 6 Februari 2003, yang dikutip Asep Adisaputa, “Imam Samudra Berjihad” Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 80.
[42] Loc.cit, Sayyid Imam, Bab 9.
[43] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[44] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[45] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[46] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[47] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[48] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[49] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[50] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[51] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm 37–40.
[52] Opcit, Sayyid Imam, Bab 9.
[53] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[54] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[55] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[56] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[57] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[58] Menurut “Al Quran dan Terjemahannya”, terbitan Departemen Agama, ayat ini diterjemahkan “jadilah orang yang pemaaf”.
[59] Opcit, Sayyid Imam, Bab 9.
[60] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[61] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[62] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[63] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[64] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[65] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[66] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[67] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[68] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[69] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[70] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[71] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[72] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[73] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[74] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[75] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[76] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[77] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[78] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[79] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[80] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[81] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[82] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[83] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[84] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[85] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[86] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[87] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[88] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[89] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[90] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[91] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[92] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[93] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[94] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[95] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[96] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[97] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[98] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[99] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[100] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[101] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[102] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[103] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[104] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[105] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[106] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[107] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[108] Artinya, perimbangan minimal kekuatan dalam hal jumlah prajurit adalah 1 : 2 (musuh). Kalau perimbangannya 1 : 3 (musuh), maka tidak wajib bertahan dalam pertempuran jihad.
[109] Opcit, Sayyid Imam, Bab 12.
[110] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[111] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[112] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[113] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[114] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[115] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[116] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[117] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[118] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[119] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[120] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[121] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[122] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[123] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[124] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[125] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[126] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[127] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[128] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.

No comments:

Post a Comment