Jihad
Dari sekian variabel yang dapat menciptakan
radikalisme, doktrin jihad boleh dibilang memainkan peran kunci. Sebab,
meskipun seorang Muslim menganut paham radikal dalam soal penegakan Syariat Islam
dan cita-cita pembentukan khilafah Islamiyah, tidak akan memberikan konsekuensi
praktis, selama tidak dibarengi doktrin jihad.
Dengan kata lain, pemahaman kaku tentang jihad berpotensi
mengantar seorang Muslim menjadi radikal yang destruktif, dengan menggunakan berbagai
instrumen kekerasan untuk membunuh dan/atau terbunuh, dengan alasan berjihad.
pemaparan tentang jihad ini juga disajikan secara head-to-head antara radikalisme dan
deradikalisasi: setiap pendapat dan gagasan tentang jihad di pihak radikal akan
langsung disandingkan dengan pendapat dan gagasan pembandingnya.
Namun, sekali lagi, harus ditegaskan bahwa
pemaparan argumen dengan argumen tandingannya secara head-to-head akan terlihat bahwa pada bagian tertentu, argumen
radikalisme yang lebih kuat, sementara pada bagian lain, giliran argumentasi
deradikalisasi yang lebih rasional. Kemungkinan seperti ini merupakan sesuatu
yang tidak terelakkan. Sebab, dalam rangka deradikalisasi, persoalan benar dan
salah menjadi nomor dua. Dan yang paling penting adalah bahwa setiap gagasan
dan penafsiran selalu tersedia gagasan dan penafsiran pembandingnya.
5.1.
MAKNA JIHAD
Radikalisme: Kata jihad,
berasal dari asal kata jim-ha’-dal (j-h-d),
yang berarti upaya yang sungguh-sungguh.
Dari segi
terminologi, konotasi awal dari kata jihad adalah berperang dan bertempur di
jalan Allah (jihad fi sabilillah),
atau biasa juga disebut ghazwah
(perang). Meskipun jihad dapat pula diartikan perbuatan amal shaleh lainnya
atau melawan hawa nafsu.
|
Deradikalisasi: Dari segi terminologi
secara umum jihad berarti suatu perbuatan amal shaleh yang dilakukan dengan
penuh kesungguhan guna menyelesaikan suatu masalah atau untuk mencapai suatu
tujuan mulia yang diridhai Allah swt. Karena itu, terdapat beberapa variasi
perbuatan jihad, antara lain:
Pertama, bertempur di
medan perang untuk melawan musuh Islam.
Kedua, menunaikan ibadah
guna meraih haji mabrur. Haji diposisikan sebagai jihad karena selain
membutuhkan dana, juga kekuatan fisik. Hampir seluruh manasik haji
membutuhkan tenaga fisik, mulai dari tawaf, sai, melontar jumrah, perjalanan
dari satu titik ke titik lokasi manasik lainnya. Bahkan di zaman dulu, ketika
sarana transportasi belum maju, haji adalah perjalanan yang sangat
melelahkan. Khusus untuk Indonesia, sampai tahun 1970-an, ketika jemaah haji
menggunakan kapal laut, periode perjalanan haji berlangsung sampai enam
bulan. Karena itulah, jemaah haji yang meninggal dunia diyakini telah mati
syahid, khususnya kalau wafat dalam keadaan ihram.
Ketiga, menyampaikan
kebenaran di hadapan penguasa zalim. Disebut sebagai jihad, karena
menyampaikan kebenaran memang dapat berisiko tinggi berupa kematian.
Keempat, berbakti kepada
kedua orang tua.
Kelima, menuntut ilmu
pengetahuan.
Keenam, membantu fakir
miskin.
Ketujuh, bekerja secara profesional.
Moral dasar dari bekerja adalah bahwa setiap Muslim tidak boleh menjadi beban
bagi orang lain. Rasulullah saw bersabda, wa
la takunu kallan ‘alan-nas (Dan jangan Kamu sekalian menjadi beban bagi
orang lain).
Dalam hal
profesionalisme, Rasulullah saw bersabda Innallaha
yuhibbu idza amila ahadukum amalan an uutqinahu (Allah mencintai orang
yang bila bekerja, dia melakukannya dengan cermat dan teliti). Kata itqan dalam hadis ini diartikan
profesional, yang menuntut kecermatan dan ketelitian di bidangnya
masing-masing.
Point
paling penting dari semua jenis-jenis jihad di atas tentu saja adalah niat.
Artinya semua perbuatan itu dilakukan dengan niat mencari ridha Allah swt.
Bahkan
dalam satu ayat yang bermakna lebih umum disebutkan, “Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sunguh) di jalan Kami, maka
Kami akan menuntunnya dengan petunjuk Kami.” (QS Al Ankabut, ayat 69).
Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seorang Muslim
secara bersungguh-sungguh, selama perbuatan itu masih dalam koridor tuntunan
Allah swt dan dilakukan untuk mendapat ridha Allah swt, maka dapat
dikategorikan sebagai jihad. Tegasnya, berdasarkan ayat ini, perbuatan yang
dapat dikategorikan jihad paling tidak harus memenuhi tiga syarat: (a)
perbuatan itu tidak melanggar hukum Allah swt; (b) perbuatan itu dilakukan
dengan sungguh-sungguh alias tidak asal-asalan; dan (c) tujuan melakukan
perbuatan itu adalah ingin mendapatkan ridha Allah swt.
|
Radikalisme: Kami tidak
membantah bahwa jihad memang luas maknanya. Tapi, grade jihad yang paling tinggi nilai pahalanya adalah mati syahid
di medan tempur. Sebab, aktivitas jihad yang paling dekat dengan mati syahid
adalah bertempur di medan perang.
Imam Samudra menulis, “Menurut pandangan
saya, jihad adalah pertama,
dari segi bahasa, artinya bersungguh-sungguh. Ini berlaku untuk orang Muslim
atau orang kafir. Karena orang kafir juga bersungguh-sungguh. Kedua, jihad secara istilah, bersungguh-sungguh
menegakkan syariat Islam. Ketiga,
secara syariat adalah berperang melawan kafir dan sekutunya, terutama jihad
terbesar sekarang yaitu jihad memerangi teroris Amerika dan sekutunya yang
terlibat perang salib memerangi umat Islam di seluruh dunia. Terutama denan
menjatuhkan ribuan ton bom di Afghanistan pada September 2001, tepatnya Ramadhan
1422 H, terhadap kurang lebih 200.000 lelaki tua, Muslimah dan anak-anak
kecil yang tidak berdosa. Orang yang telah berjihad secara bahasa, dia masih
berkewajiban untuk melaksanakan jihad secara istilah dan syariat.”[1]
|
Deradikalisasi: Klaim bahwa bertempur
di medan adalah grade jihad paling tinggi, dapat juga dikategorikan
sebagai bagian dari metode membangkitkan semangat berjihad. Sebab, dalam
sebuah hadis, ketika pulang dari suatu perang, Rasulullah saw justru bersabda
“Kita baru pulang dari perang kecil, dan sedang menuju ke perang yang lebih
besar, yakni berjihad melawan hawa nafsu.” Artinya, jihad melawan nafsu lebih
besar (termasuk pahalanya) dibanding jihad tempur.
|
Deradikalisasi: Klaim bahwa
bertempur di medan adalah grade jihad paling tinggi, dapat juga
dikategorikan sebagai bagian dari metode membangkitkan semangat berjihad.
Sebab, dalam sebuah hadis, ketika pulang dari suatu perang, Rasulullah saw
justru bersabda “Kita baru pulang dari perang kecil, dan sedang menuju ke
perang yang lebih besar, yakni berjihad melawan hawa nafsu.” Artinya, jihad
melawan nafsu lebih besar (termasuk pahalanya) dibanding jihad tempur.
|
Deradikalisasi: Memerangi hawa
nafsu dikategorikan sebagai jihad paling besar, karena dalam semua jenis
aktivitas jihad, seorang Muslim harus mengendalikan hawa nafsunya atau
selera-selera manusiawinya. Misalnya, untuk berjihad dalam menunut ilmu,
seorang Muslim dituntut sabar dan tidak tergesa-gesa ingin mencapai hasil.
Dalam berjihad tempur, seorang Muslim dituntut mengendalikan hawa nafsunya
secara maksimal. Dengan kata lain, kalau melakukan jihad tempur hanya untuk
mau disebut mujahid yang mati syahid, berarti pengendalian hawa nafsunya
belum maksimal. Sebab masih dibayangi sifat riya’ (congkak). Singkat kata, mengendalikan hawa nafsu
dikategorikan jihad paling besar, karena jihad yang sesungguhnya hanya
mungkin dilakukan oleh orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya secara
maksimal.
|
5.2.
TAHAPAN DOKTRIN JIHAD TEMPUR
Radikalisme: Salah
satu pemahaman radikal tentang jihad adalah fokus pada makna jihad dalam
pengertian jihad tempur, yang juga kadang disebut Jihad Musallahah (jihad
bersenjata) di medan laga. Qital
(pertempuran) adalah berperang di jalan Allah untuk melawan musuh Allah dan
Rasul-Nya, antara lain penguasa kafir, musyrik, murtad, zindiq, mustabdil dan
pembantu-pembantunya. Karena itu dapat juga disebut dengan jihad tempur.[2]
Rujukan dalil yang sering dipakai oleh
kelompok-kelompok radikal untuk melegalkan aktivitas jihad tempur ini antara
lain.[3]
§
QS. Al-Baqarah, ayat 216: : “Telah diwajibkan kepadamu tentang
berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi,
sesuatu yang kamu benci itu justru merupakan sesuatu yang amat baik bagimu,
dan (sebaliknya) boleh jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu amat buruk bagi kamu. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahuinya”.
§
QS. At-Taubah, ayat 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula beriman) kepada hari kemudian, dan mereka yang tidak mengharamkan apa
yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mereka yang tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang yang)
telah diberikan alkitab, (perangilah mereka itu) sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dan penuh
ketundukan”. (catatan: jizyah
adalah pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang
yang bukan penganut Islam dan hidup dalam wilayah pemerintahan Islam, sebagai
imbangan bagi jaminan keamanan diri mereka).
§
QS. At-Taubah, ayat 41: “Berangkatlah kamu (untuk berperang), baik dalam keadaan merasa ringan ataupun
merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu (jiwamu) di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
§
QS. At-Taubah, ayat 123: “Hai orang-orang yang beriman, perangilah
orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui
kekerasan pada dirimu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa”.
Ketika menjelaskan fungsi dan tujuan
jihad tempur disebutkan antara lain sebagai berikut:
§
Untuk menghancurkan kekuatan thogut (sebagai sumber fitnah), yang
selalu menghalangi dakwah Islamiyyah berdasarkan Sunnah Nabi (rujukan: QS.
Al-Anfal, ayat 39).
§
Untuk memberantas kezhaliman dan menegakkan
al-haq (kebenaran) sehingga
tercegah penyebaran kerusakan di muka bumi (Rujukan QS. Al-Baqarah, ayat 251;
dan QS. Al-Hajj, ayat 39-40).[4]
§
Menjaga eksistensi dan kemuliaan kaum
Muslimin dan menolong kaum yang lemah (rujukan: QS. An-Nisa’, ayat 75).[5]
§
Menghinakan dan menggetarkan musuh-musuh
Allah dan mencegah kejahatan mereka (Rujukan: QS. At-Taubah, ayat 29; QS.
Al-Anfal, ayat 60; dan QS. An-Nisa’, ayat 84).[6]
§
Untuk membedakan dan memisahkan antara
mu’min dan kafir/munafiq dan untuk menyediakan jalan menuju mati syahid (QS.
Muhammad, ayat 4).[7]
§
Untuk menguji iman (QS. Muhammad, ayat 4).[8]
§
Untuk memantapkan kekuasaan di muka bumi
dalam rangka menegakkan Syariat Allah (keadilan) dan hidup di bawah naungan
minhaj Allah (Rujukan: QS. .........................., ayat 39-41).
Adapun target jihad tempur adalah untuk
tegaknya Khilafah Islamiyyah ‘Ala
Minhajin Nubuwwah (berdasarkan praktek dan metode Kenabian); dan dalam
hubungannnya dengan minhaj haraki (tahapan
perjuangan), jihad bersenjata ini ditergetkan untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyyah (Negara Islam).[9]
Untuk
memaksimalkan indoktrinasi jihad, diperlukan tiga tahapan, sebagai berikut:[10]
Pertam, i’dad (persiapan yang
matang). Persiapan yang matang ini dilakukan dalam dua kategori: mental dan
fisik.[11]
Kedua, ribath (Soliditas).
Artinya, kekuatan kelompok harus dibangun secara solid. Dan salah satu kunci
soliditas adalah kerahasiaan gerakan.[12]
Ketiga, qital (pertempuran di
medan perang). Ini merupakan tahapan praktek. Di Indonesia, wilayah konflik
seperti di Poso dan Ambon pernah dijadikan sebagai lokasi latihan sekaligus
tempat praktek lapangan untuk mengimplementasikan doktrin jihad.[13]
|
Deradikalisasi: Sebenarnya tidak
ada yang salah dalam rumusan tahapan-tahapan persiapan jihad tersebut. Namun, ada satu point yang perlu dicermati
pada tahapan i’dad
yang berarti persiapan atau menyiapkan kekuatan untuk jihad.
Di kalangan
kelompok radikal, i’dad (persiapan) di sini dimaknai secara longgar.
Yang sering dilansir media massa adalah melakukan pelatihan militer di lokasi
rahasia.
Tapi,
berdasarkan keterangan Ali Imron, persiapan dapat dilakukan dengan melakukan
perburuan senjata dan bahan peledak. “Sejak masih di Afganistan, saya sudah
berencana, di mana pun saya berada, harus mencari dan mengumpulkan
senjata-senjata beserta amunisinya, bahan-bahan bom, dan peralatan perang.”[14]
Setelah
pulang pulang ke Indonesia, dan
berdomisili sementara di Lamongan, Jawa Timur, lanjut Ali Imron, “... langkah
pertama yang saya lakukan adalah mencari toko-toko kimia di Surabaya yang
menjual pupuk, yang merupakan bahan yang paling mudah dijadikan bom.... Saya
juga selalu berusaha mendapatkan bermacam-macam jenis racun, sebagai
persiapan jika suatu saat diperlukan melakukan pembunuhan dengan racun. Dan
racun itu bisa langsung digunakan lewat berbagai macam cara, atau digabungkan
bersama bom menjadi Bom Kimia... juga selalu berusaha mencari pedang, senjata
api beserta amunisinya...”.[15] Dan ternyata sebagian
bahan bom yang dipakai dalam Bom Bali-I, adalah bahan yang sudah dibeli,
bahkan sebelum tercetus rencana aksi Bom Bali tersebut.
Yang menarik,
bahwa kegiatan mencari dan mengumpulkan alat-alat dan bahan-bahan pembunuh
tersebut, dilakukan dengan senang hati dan diposisikan sebagai bagian dari
jihad juga.
Dengan kata
lain, bahwa dalam keadaan adem ayam pun, dalam arti tidak ada aksi teror,
sangat dimungkinkan bahwa jajaran anggota kelompok radikal tetap dan terus
aktif mengumpulkan senjata, bahan peledak, belajar membuat peledak dan
melakukan percobaan membuat senjata dan bom improvisasi.[16] Kemungkinan inilah yang
harus diantisipasi secara cermat dan teliti dalam program deradikalisasi.
|
Radikalisme: dalam kajian
tentang jihad, banyak dijelaskan bahwa pada zaman Rasulullah saw, jihad
disyariatkan dalam empat tahap:
Tahap
pertama:
Menahan diri: di tahap ini, sebenarnya jihad belum disyariatkan. Umat Islam
diperintahkan menahan diri atas segala macam ujian, celaan, serangan dan
penindasan kaum kafir. Hal ini terjadi pada periode Makkah, sebelum
Rasulullah saw dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Artinya, tindakan
menahan diri itu adalah bagian jihad.
Tahap kedua: Diizinkan
berperang, ketika dizalimi. Pada tahap ini, jihad belum diperintahkan, tapi
baru sebatas diizinkan. Artinya jihad masih bertahan secara pasif. Jihad
hanya boleh bagi yang mampu. Karena baru sebatas diizinkan, maka hukumnya
masih fardhu kifayah (bila ada yang berjihad, berarti kewajiban itu
gugur bagi yang lain).
Tahap
ketiga:
Jihad diperintahkan secara terbatas. Pada tahap ini, jihad sudah
diperintahkan namun masih terbatas. Terbatas di sini berarti jihad hanya
boleh untuk memerangi kelompok non-Muslim yang menyerang kaum Muslimin.
Sementara kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin tidak boleh diperangi.
Artinya, umat Islam sudah diperintahkan melawan dan membalas penyerangan.
Pada tahap ini, posisi hukum jihad sudah dikategorikan fardhu ain (kewajiban
individual) ketika terjadi perang. Bila tidak ada penyerangan musuh, maka
fardhu air (kewajiban individual) itu gugur.
Tahap
keempat:
perintah jihad untuk memerangi seluruh kaum kafir musyrik. Pada tahap inilah,
jihad diartikan sebagai jihad thalab (berjihad karena permintaan),
yang sekarang disebut jihad ofensif, dan karena itu posisi hukumnya adalah
fardu ain selamanya. Mulai saat itulah, terjadi pemilahan antara darul Islam (wilayah yang dikuasai
umat Islam dan Syariat Islam ditegakkan) dan darul harbi (wilayah perang yang dikuasai oleh orang kafir).[17]
Berdasarkan
tafsiran tentang pentahapan jihad itu, “...para pelaku pengeboman meyakini
bahwa setelah turun Syariat Islam yang memerintahkan untuk memerangi
orang-orang kafir secara umum, maka dibolehkan memerangi, membunuh, mengebom
dan menyerang orang-orang kafir di mana pun mereka berada dan dengan cara
apapun. Ini dikuatkan dengan keyakinan bahwa hampir semua negara yang ada di
dunia ini statusnya adalah sebagai Darul Harbi (negara yang boleh
diperangi atau boleh berperang di dalam wilayahnya). Karena itu, melakukan
penyerangan kepada orang-orang kafir di manapun dan dengan cara apapun adalah
sah, karena penyerangan tersebut dalam rangka melaksanakan jihad ofensif”.[18]
|
Deradikalisasi: Sebagai suatu
hasil analisis tentang pentahapan kewajiban berjihad, kesimpulan itu tidak
memberikan konsekuensi apapun. Sebab, itu merupakan hasil interpretasi.
Sebagian
besar ulama Islam sepakat pada tahapan pertama, kedua dan ketiga. Namun,
mulai muncul perbedaan interpretasi pada tahapan keempat. Artinya, tahap
keempat itu tidak boleh dilaksanakan secara serampangan, karena terlebih
dahulu harus memenuhi beberapa syarat. Artinya, persoalan muncul ketika
tahapan keempat (jihad ofensif) ditafsirkan lanjut dengan mengatakan boleh
“membunuh orang kafir di manapun dan kapanpun”.
Ungkapan
bahwa boleh membunuh orang kafir “kapan pun dan di mana pun” menjadi
persoalan karena berpotensi menimbulkan berbagai implikasi negatif, yang
bertentangan dengan tujuan utama dari jihad itu sendiri, seperti tergambar
dalam uraian berikut:
Pertama, ketika
ayat di tahap keempat itu diturunkan, umat Islam di Madinah memang sudah
kuat, memiliki wilayah kekuasaan sendiri. Artinya identifikasi musuh dengan
mudah dapat dilakukan. Sehingga mereka yang berada di wilayah kufur (darul
harbi) boleh diperangi. Karena itu, ketika menyerang musuh di wilayah kafir,
maka semua korbannya adalah musuh. Berbeda saat ini, tidak ada pemilahan yang
tajam antara wilayah Islam dan wilayah kafir. Maka, sebuah serangan terhadap
titik musuh, katakanlah ruang publik, sangat berpotensi mengakibatkan korban
sipil.
Kedua, ada
kepemimpinan yang jelas dan diakui (legitimated). Dengan demikian,
garis komando jelas, dan mobilisasi pasukan berjalan baik. Sekarang ini,
komando hanya diperintahkan oleh pimpinan kelompok. Lebih fatal lagi, dalam
kelompok radikal di Indonesia, tidak semua anggota menyetujui aksi-aksi
penyerangan dengan bom terhadap fasilitas dan ruang publik.
Ketiga, terkait
dengan aksi bom, terdapat dua persoalan paling krusial (a) jatuhnya korban
sipil dan (b) pengrusakan ruang/fasilitas publik. Kalau dicermati, resistensi
dan kutukan publik terhadap jihad melalui aksi bom selama ini sebenarnya
diakibatkan oleh dua elemen tersebut (jatuhnya korban sipil dan pengrusakan
ruang/fasilitas publik).
Sebab,
Islam tampak tidak damai lagi, sebagian umat Islam tampak seperti orang yang
haus darah.
|
5.3.
SYARAT-SYARAT JIHAD
Radikalisme: Sebagian anggota
kelompok terkesan seolah memaksa-maksakan jihad tanpa memperhatikan syarat-syarat
yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad.
|
Deradikalisasi: Dan Rasulullah
saw tidak berjihad dan Allah swt tidak mewajibkan, kecuali setelah
syarat-syarat jihad terpenuhi. Dan semua syarat jihad ini tidak terpenuhi di
sebagian besar negara Muslim, yaitu:[19]
·
Tidak adanya darul hijrah. Dan darul hijrah di sini bukan sekedar
wilayah persembunyian. Sebab, Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah
mendapatkan jaminan keamanan dan setelah sebagian warga Madinah membaiat –
melalui Baiatul Aqabah yang pertama dan kedua – untuk tunduk kepada agama Islam, dan melindungi
Rasulullah saw. Juga setelah Rasulullah saw mengirim seorang mata-mata, yaitu
Mush’ab bin Umair, untuk mengetahui kondisi Madinah dan penduduknya. Dan
syarat ini tidak terpenuhi sekarang ini.[20]
·
Tidak adanya perimbangan kekuatan dari segi
kuantitas dan kualitas, yang merupakan syarat utama untuk bertahan atau
memenangkan pertempuran. Bila tidak ada perimbangan kekuatan, dengan
sendirinya, jihad menjadi tidak wajib alias gugur. Dan inilah kondiri riil
kelompok-kelompok Islam di sebagian besar negara Muslim.[21]
·
Jaminan keamanan bagi keluarga (istri dan
anggota keluarga), juga tidak terpenuhi. Sebab, anggota kelompok Islam yang
berkonfrontasi dengan rezim penguasa sering justru sering mencelakakan
keamanan keluarganya. Dalam perang Al-Ahzab, Rasulullah saw mengumpulkan para
wanita dan anak-anak di sebuah benteng di Madinah. Pada bab empat, saya telah
mengutip pendapat Imam Syafi’i dalam bukunya “Al-Umm” yang mengatakan,
“bila seorang Muslim khawatir keluarganya akan diserang musuh selama pergi
berjihad, maka dia tidak boleh pergi berjihad.” Dan syarat ini juga
diisyaratkan pada ayat: “... Dan sebagian dari mereka minta izin keada
Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: ‘sesungguhnya rumah-rumah kami
terbuka (tidak ada penjaga)’. Padahal rumah mereka samasekali tidak terbuka.
Mereka tidak mau kecuali lari dari perang,” (QS. Al-Ahzab, ayat 13). Arti
ayat ini bahwa bila rumah mereka terbuka dan rentan terhadap serangan musuh,
maka mereka boleh meminta izin tidak ikut berjihad, tanpa harus takut dicela.[22]
·
Tidak adanya dukungan logistik untuk
berjihad. Tidak halal bagi seorang Muslim melakukan pengambilan harta benda
orang lain secara tidak sah, dengan dalih membiayai jihad. Sebab, tidak boleh
melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh, untuk melakukan sesuatu yang
tidak diwajibkan.[23]
·
Tidak adanya kelompok yang bisa dimintai
bantuan: Umar bin Khattab berkata, “Saya adalah tempat yang bisa dimintai
pertolongan oleh setiap Muslim”. Sekarang ini, tidak ada orang seperti
Umar bin Khattab. Dan Khalid bin Walid, dalam perang Mu’tah, meminta
pertolongan kepada Rasulullah saw.[24]
·
Sulit membedakan kriteria musuh: akibatnya,
dalam melakukan operasi jihad, sering terjadi pembunuhan terhadap orang yang
semestinya tidak boleh dibunuh, meskipun dalam situasi perang.[25]
Oleh karena
tidak terpenuhi syarat utama berjihad, maka tidak boleh bersikukuh melakukan
tindakan konfrontasi dengan rezim penguasa, untuk menerapkan syariat Islam.
Karena itu, perlu beralih haluan menempuh alternatif lain, yang juga sesuai
dengan hukum Islam, seperti jalur dakwah dan reformasi damai. Khususnya
karena alternatif jalur konfrontasi juga menciptakan mudharat yang lebih
besar. Sementara ada kaidah fikhi yang mengatakan, “mencegah kerusakan lebih
utama daripada upaya mendapatkan
maslahat”; Juga kaidah fikhi lain: “kerusakan adalah alasan
pengharaman”; dan bahwa “mudharat tidak boleh dihilangkan dengan cara
melakukan mudharat yang sama, apalagi mudharat yang lebih besar”. Semua
kaidah ini membuktikan bahwa haram hukumnya melakukan tindakan konfrontasi
dengan rezim penguasa.[26]
|
5.4.
MATI SYAHID DAN MATI NORMAL
Radikalisme: Salah satu ajaran
agama Islam yang paling mendasar adalah bahwa orang yang mati syahid dijamin
masuk surga. Dan salah satu mati syahid yang paling mulia adalah tewas di
medan tempur.
|
Deradikalisasi: Memang harus
diakui bahwa banyak hadis Nabi yang memposisikan mati di medan tempur (jihad)
merupakan mati syahid yang paling mulia, dengan catatan, kematian benar-benar
didasarkan niat yang baik, dan praktek jihadnya sudah memenuhi syarat, rukun
dan etika berjihad di medan laga.
Dan nyaris
tidak bisa diukur atau diketahui secara kasat mata. Artinya, bagi kita yang
masih hidup, sulit menentukan apakah seseorang yang mati di dalam perang
sekalipun telah mati syahid atau malah mati kafir.
Hanya,
perlu disampaikan bahwa mati syahid juga bisa didapatkan dari perbuatan lain
selain bertempur fi sabilillah. Berdasarkan beberapa riwayat hadis
Nabi, bahwa mati syahid itu dapat diperoleh oleh seorang Muslim yang
meninggal dan/atau terbunuh dalam sepuluh kasus, sebagai berikut:
1.
Bertempur: yakni
meninggal karena tewas dalam pertempuran jihad di medan perang.
2.
Membela
agama (non tempur): misalnya seorang Muslim terbunuh oleh
musuh, karena mempertahankan dan membela prinsip-prinsip agama Islam.
Misalanya, seorang Muslim dibunuh seorang penguasa karena menyampaikan
kebenaran.
3.
Membela dan
mempertahankan harta: yakni orang yang mempertahankan harta
bendanya, dari pencurian dan perampokan, misalnya, yang mengakibatkan dia
terbunuh.
4.
Membela
darahnya:
artinya mempertahankan jiwa atau membela diri dari suatu penganiayaan atau
pembunuhan.
5.
Membela
keluarga:
dan bangsanya, yakni mati karena membela anggota keluarga dari penganiayaan
6.
Sakit perut: yakni
meninggal dunia karena sakit perut.
7.
Sakit tha’un (muntaber): meninggal
dunia akibat penyakit tha’un
(muntaber).
8.
Tenggelam: orang
yang mati tenggelam, baik di laut maupun di sungai.
9.
Kebakaran: orang
yang tewas karena kebakaran, akibat tidak bisa atau tidak mampu menyelamatkan
diri dari kobaran api.
10. Menahan
diri dari berbuat zalim (madzlamatihi).
Artinya, orang yang meninggal dunia karena bertahan tidak melakukan perbuatan
zalim.
11. Melahirkan
(khusus wanita): ibu yang meninggal ketika melahirkan juga dikategorikan mati
syahid.
Selain itu,
terdapat beberapa ijtihad dan hasil analisis para ulama yang menggambarkan
kategori lain tentang orang mati syahid. Ibnu Hizam berpendapat, seorang
miskin papa, yang mencuri dari orang kaya, lalu ditangkap dan dipukuli
akhirnya meninggal dunia, dapat diposisikan sebagai orang yang mati syahid.
|
5.5.
BOM SYAHID VS BOM BUNUH DIRI
Bom syahid kadang juga
disebut bom istisyhad (إستشهاد) yang berarti meminta atau berharap mati syahid. Aksi jihad
bunuh diri juga kadang disebut istimata (إستماتة),
yang berarti berharap mati atau meminta kematian dalam suatu operasi. Dari kata
istimatah inilah asal nama laskar istimatah, yang dapat diartikan prajurit yang mencari mati atau laskar berani
mati.
Dengan kata lain,
seorang Muslim yang menerima dan mau melakukan bom istisyhad, dalam hatinya sebenarnya
sudah ada keyakinan bahwa kemungkinan mati dalam operasinya lebih besar
daripada kemungkinan untuk selamat.
Radikalisme: pelaku aksi bunuh
diri dalam aksi teror bom adalah mujahid. Bukan teroris. Karena itu, aksinya
tidak disebut bom bunuh diri, tapi bom
syahid atau bom istisyhad.
|
Deradikalisasi: Tidak ada jaminan
bahwa pelaku bom bunuh diri telah mati syahid. Sebab, tidak seorang pun yang
dapat mengklaim dirinya telah mati syahid. Juga, tidak seorang Muslim pun
yang memiliki otoritas untuk memvonis bahwa seorang Muslim telah mati syahid
atau mati kafir.
Salah
seorang pimpinan di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga konon menolak
Amrozy cs disebut syahid, dengan berkomentar sinis: “Syahid dari mana? Emang ente yang nentuin siapa yang syahid dan siapa
yang bukan syahid?”[27]
Dan para
pelaku aksi bom bunuh diri disebut teroris, karena mereka telah menebar rasa
takut di kalangan warga sipil. Lagi pula, aksi seperti itu sering juga
membunuh warga Muslim yang tidak berdosa, yang notabene termasuk kelompok
yang tidak boleh dibunuh dalam pertempuran.
|
Radikalisme: keutamaan orang
mati syahid sungguh luar biasa. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa
Rasulullah saw bersabda “Seorang yang
mati syahid memiliki enam keistimewaan di sisi Allah: dosanya diampuni pada
tetesan darah pertamanya; akan dinikahkan dengan 72 bidadari; dibebaskan dari
siksaan kubur; diselamatkan dari goncangan dahsyat di hari kiamat; di
kepalanya akan dipasang mahkota kehormatan; berhak memberikan syafaat (hak
pengampunan) bagi 70 orang anggota keluarganya”.[28]
Di hadis
lain, Rasulullah saw bersabda, “Tidak
seorang pun penghuni surga yang mau kembali ke dunia sampai sepuluh kali
kecuali orang mati syahid. Sebab orang yang mati syahid ingin kembali ke
dunia untuk mengalami lagi mati syahid sampai sepuluh kali, setelah dia
merasakan nikmatnya”.[29]
|
Deradikalisasi: Tentu saja kita
tidak membantah kebenaran hadis-hadis Nabi yang memberikan keutamaan orang
yang mati syahid. Persoalannya, kita tidak bisa memastikan apakah seseorang
yang meninggal dunia telah mengalami mati syahid atau mati sombong.
Dan kalau
ingin melihat perbandingan, barangkali bisa diberikan dua contoh sebagai
berikut: pertama, seorang warga Palestina yang mati dalam pertempuran melawan
pasukan Israel akan dielu-elukan sebagai korban mati syahid. Sementara
seorang pelaku bom bunuh diri di tempat publik akan mendapatkan kecaman dari ulama-ulama
Islam.
|
Radikalisme: Salah satu
ungkapan yang sering terdengar di kalangan kelompok-kelompok radikal adalah
penggalan sebuah hadis Nabi yang berbunyi: isy kariman aw mut syahidan (hiduplah secara terhormat atau mati
dengan syahid).
Sebagian
kelompok radikal memaknai hadis ini secara serampangan. Misalnya dikatakan
bahwa kalau di dunia seseorang tidak bisa mendapatkan hidup layak, dalam arti
selalu menderita dan karena itu hidup menjadi terhina alias tidak mulia, maka
keterhinaan tersebut harus segera diakhiri, dan salah satu cara mengakhirinya
adalah menjadi pengantin (pelaku bom syahid), guna mendapatkan kehidupan di
surga.
|
Deradikalisasi: Hidup secara
terhormat dan mulia dapat diperoleh dengan bebagai cara, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.
Kalau aksi
bom syahid dilakukan karena ingin mengkhiri hidup (bunuh diri) melalui aksi
teror dengan alasan mengkhiri kesengsaraan hidup, dapat dipastikan bahwa aksi
itu adalah tindakan kafir, karena menunjukkan adanya rasa putus asa dalam
menjalani kehidupan, yang dilarang oleh Allah swt. Dalam hal tertentu
tindakan seperti ini juga merupakan ciri orang pengecut, tidak berani hidup
dan manja.
|
Radikalisme: Dalam sejarah
Islam ada beberapa hadis yang bercerita tentang aksi individual dalam melawan
musuh Islam, dengan cara menerobos masuk ke wilayah pasukan musuh, yang biasa
diistilahkan inghimas (penetrasi).
Dalam
kaitan ini, terdapat sebuah hadis Nabi menceritakan aksi syahid yang
dilakukan oleh satu orang:
Abu Bakar
bin Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “saya mendengar ayahku, ketika sedang
menghadapi musuh, berkata, Quran telah bersabda, ‘Sesungguhnya pintu-pintu
surga berada di bawah bayang-bayang pedang’. Lantas ada seorang lelaki
berpakaian usang berdiri dan berkata, ‘Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan
Quran mengatakan yang demikian ini. Abu Musa menjawab, ya. Selanjutnya Abu
Musa berkata, “Lelaki (berpakaian usang) itu kembali ke kawan-kawannya seraya
berkata, ‘saya mengucapkan salam (selamat tinggal) kepada kalian’. Kemudian
dia memecahkan sarung pedangnya lalu mencampakkannya, dan sambil membawa
pedangnya, dia bergerak dan menerobos masuk ke arah pasukan musuh dan
menyerang dengan pedangnya, sampai akhirnya dia tewas (HR Muslim).
|
Deradikalisasi: Hadis itu
bercerita ketika sedang terjadi perang, di mana dua pasukan sedang
berhadap-hadapan. Karena itu, seorang ulama fikhi modern asal Suriah, Wahbah
Zuhaili mengatakan, “Jihad hanya mungkin terjadi dalam tiga kondisi: (a)
apabila perbuatan itu terjadi saat bertemunya dua pasukan yang sedang bertempur,
yakni pasukan Islam dan pasukan musuh; (b) Apabila penduduk suatu negeri
Muslim diserang oleh musuh; (c) Apabila Amirul Mukminin (pemimin umat Islam,
khalifah) memerintahkan warganya untuk pergi berperang."[30]
Dalam fatwanya, Dr. Yusuf Al Qardhawi
hanya membenarkan mati syahid dalam kasus Palestina. Namun, fatwa ini diakui
telah menginspirasi banyak kalangan untuk melakukan bom syahid. Berikut
adalah petikan lengkap fatwa Dr. Yusfu Al Qardhawi:
“Banyak orang bertanya tentang aksi pemboman, yang mengakibatkan jatuhnya
korban tewas di kalangan orang-orang Yahudi, melalui operasi bom syahadah (bom Syahid) yang dilancarkan
oleh pemuda-pemuda HAMAS di Palestina.
Apakah para pemuda yang mengorbankan dirinya itu termasuk syahid ataukah
dianggap pelaku bunuh diri karena membunuh dirinya sendiri dengan ulah
sendiri pula? Apakah perbuatan mereka termasuk kategori menjerumuskan diri ke
dalam kehancuran, yang telah dilarang oleh Quran melalui sebuah ayat “Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah, ayat 195).
Saya ingin tegaskan di sini, bahwa operasi-operasi bom syahid ini
merupakan cara paling jitu dalam praktek jihad
fi sabilillah. Dan termasuk salah satu bentuk teror yang disinggung dalam
Quran “Dan persiapkanlah kekuatan apa
saja yang bisa kamu kuasai (termasuk) menunggang kuda, yang bisa kamu gunakan
untuk membuat takut musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kamu (QS.
Al-Anfaal, ayat 60).
Ini adalah operasi heroik yang sarat dengan muatan agamisnya. Karena itu,
sangat tidak tepat bila dikatakan sebagai tindakan bunuh diri. Pelakunya pun
tidak bisa disebut sebagai pelaku bunuh diri atau seorang teroris. Sebab,
para pemuda itu melawan orang (kelompok/negara penjajah) yang menduduki
wilayah tanah airnya, mengusir mereka dan keluarga mereka, merampas
hak-haknya dan membungkam masa depan mereka.
Orang yang murni bunuh diri adalah orang yang membunuh dirinya untuk
kepentingan pribadinya sendiri. Sementara para pejuang Palestina itu
mempersembahkan dirinya sebagai korban/tumbal demi kepentingan agama dan
ummatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis terhadap dirinya
dan putus atas atas ketentuan (taqdir) Allah. Sedangkan pejuang-pejuang
tersebut adalah manusia yang seluruh cita-citanya hanya ingin menggapai
rahmat dan ridha Allah swt.
Orang yang bunuh diri itu ingin menyelesaikan dan melepaskan
tanggungjawab dan melepaskan diri dari kesulitannya dengan cara menghabisi
nyawanya sendiri. Sedangkan seorang mujahid membunuh musuh Allah dan musuh
mereka dengan “senjata terbaru” (bom syahid), yang telah ditakdirkan menjadi
milik orang-orang lemah dalam menghadapi tirani kuat yang sombong. Mujahid
itu menjadi bom yang siap meledak kapan dan dimana saja, menelan korban di
pihak musuh Allah dan musuh bangsa, hingga para musuh itu tidak mampu lagi
menghadapi perlawanan para pejuang syahid tersebut. Mereka adalah pejuang
yang menjual dirinya kepada Allah, yang manaruh kepalan tangan mereka di
telapak tangan-Nya demi mencari syahadah di jalan Allah.
Mereka benar-benar orang yang mati syahid, karena mereka mempersembahkan
nyawa mereka dengan penuh kerelaan hati di jalan Allah, tentu selama niatnya
ikhlas hanya kepada Allah, dan selama mereka terpaksa melakukan cara ini
untuk menggetarkan musuh Allah swt, yang notabene jelas-jelas menyatakan permusuhannya
dan bangga dengan kekuatan yang didukung oleh kekuatan besar lainnya, serta
mereka dimotivasi oleh perintah agama yang memerintahkan untuk membela diri,
melarang mundur dari tanah air dan wilayahnya, yang sebenarnya termasuk
wilayah Islam. Persoalannya sama seperti ungkapan penyair masa yang
mengatakan, “Jika tak ada tunggangan
selain mata tombak, maka tidak ada jalan yang terpaksa kecuali menumpangi
tombak tersebut”.
Tegasnya, aktivitas para pejuang Pelastina itu tidak termasuk tindakan
menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, seperti diduga oleh sebagian orang
awam. Bahkan perbuatan mereka itu termasuk bagian perbuatan terpuji dalam
jihad dan sah menurut hukum Syariat Islam. Sebab tujuan bom syahid adalah
untuk bisa mengalahkan musuh, membunuh anggota musuh, menancapkan rasa takut
di hati musuh dan mendorong kaum muslimim untuk berani menghadapi
musuh-musuhnya.
Dan seperti
diketahui, masyarakat Yahudi Zionis adalah masyarakat militer, kaum lelaki
dan wanitanya adalah prajurit angkatan bersenjata, yang kapan saja bisa
dipanggil berdinas.
Kalaupun
ada seorang anak atau ada orang lanjut usia terbunuh dalam operasi syahid
ini, pelakunya tentu tidak bermaksud membunuhnya. Para korban dari kalangan
anak-anak dan orang lanjut usia tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian
dari darurut perang. Dan segala yang darurat tentu bisa membolehkan yang
terlarang (menghalalkan yang haram)”.[31]
Catatan:
Argumentasi Qardhawi tentang boleh bom syahid dalam kasus Palestina berangkat
dari asumsi bahwa warga Palestina sedang berjuang untuk meraih kemerdekaan
dari penjajarahan Yahudi Israel. Namun, kalau dicermati, argumen ini
sebenarnya bisa digeneralisir. Dengan kata lain, seorang radikal di Indonesia
bisa saja berasumsi bahwa posisinya sama dengan warga Palestina, dan karena
itu juga berhak melakukan bom syahid.
|
Radikalisme: Memang tidak ada
orang yang berhak mengklaim dirinya telah mati syahid. Tapi kalau sebuah
kematian diyakini sebagai tindakan mati syahid, toh tidak dilarang juga untuk
meyakininya. Urusan benar tidaknya mati syahid itu adalah persoalan kedua,
baru akan diketahui di akhirat kelak.
|
Deradikalisasi: Keyakinan mati
syahid, tanpa dalil yang jelas, adalah perilaku yang tidak Islami. Sebab,
dengan demikian, tidak salah juga bila disebut mati kafir, alias mati dalam
keadaan kafir, karena mati dengan membunuh dirinya sendirinya dan juga orang
lain.
Dalam satu
kasus, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki tewas dalam suatu perang bersama
Rasulullah saw. Dan beberapa sahabat lainnya mengatakan, “si Fulan itu
mati syahid”, tiba-tiba Rasulullah saw bersabda, “Sama sekali tidak,
justru dia akan di neraka, berpakaian api neraka” (HR Muslim). Ternyata,
sebelum tewas, laki-laki itu sempat mencuri pakaian yang diambil dari harta
rampasan yang belum dibagi. Saya tidak tahu, bagaimana keadaan orang yang
bukan hanya mencuri sepotong pakaian, tapi juga membunuh banyak orang dan
merusak banyak properti melalui aksi peledakan bom yang memakan korban tanpa
pilih kasih.[32]
Sungguh,
sekarang ini, sudah banyak orang yang merasa enteng melakukan perbuatan dosa
besar. Padahal, Anas ra pernah mengatakan, “Kalian melakukan suatu
perbuatan yang di mata kalian terlihat seperti biji gandum. Padahal di masa
Rasulullah saw, kami menganggapnya perbuatan yang membinasakan” (HR
Bukhari). Dan sikap enteng dalam berbuat dosa besar adalah akibat dari
kebodohan, ketidakpedulian dan hati yang keras.[33]
|
Radikalisme: Salah satu dalil
yang digunakan oleh aksi bom syahid adalah kisah Ashabu-l-Ukhdud, yang
dikisahkan dalam sebuah hadist Riwayat Muslim. lihat Shahih Muslim, hadis nomor 3005 berdasarkan tahqiq
Muhammad Fuad Abdul-Baqi atau hadis nomor 7703, berdasarkan tahqiq
Muhammad Makram Al Mishriy.
Di hadis
ini Rasulullah saw berkisah tentang seorang raja zalim, yang menganggap
dirinya sebagai Tuhan, yang berkali-kali berupaya membunuh seorang anak
laki-laki, namun tidak berhasil. Akhirnya, si Anak itu menentang dengan
mengatakan, “Wahai Raja, Anda tidak akan mampu membunuhku kecuali Anda
melakukan apa yang saya perintahkan. Sang Raja bertanya, apa yang harus saya
lakukan. “Kumpulkan banyak wargamu (dipadang terbuka) di satu sisi, dan di
sisi lain, ikat saya dan salib saya di batang kayu, lalu ambil anak panah di
kantong panahku, kemudian pasang anak panah itu ke dalam busur, dan sebelum
memanahku, ucapkanlah: bismillahi
rabbi-l-gulam (Dengan nama Allah, Tuhan si Anak ini)...” Ketika
semua yang diperintahkan oleh anak itu dilakukan oleh raja, “... dan si
Raja siap memanah, dia mengucapkan bismillahi
rabbi-l-gulam (Dengan nama Allah, Tuhan si Anak ini), dan
anak panah itupun menancap di pelipis sang anak, dan anak itu sempat meraba
lokasi anak panah yang menancap di pelipisnyanya, dan tidak lama kemudian, si
anak itupun meninggal dunia. Namun, warga yang melihat peristiwa itu
ramai-ramai berkata, ‘Kami telah beriman kepada Tuhan anak ini’. Mendengar
pernyataan dari rakyatnya, tentu sang Raja semakin marah, dan akhirnya
memerintahkan untuk menggali sebuah lobang/gua (ukhdud) untuk membakar semua
warganya yang beriman kepada Tuhan anak itu...”
Kisah dalam
hadis ini menunjukkan bahwa seorang Muslim boleh mengorbankan dirinya (kalau
sekarang dengan melakukan aksi bom syahid), dalam rangka menunjukkan
keagungan dan kekuasaan Allah di hadapan seorang raja/penguasa yang zalim,
dengan harapan, mati syahid itu akan mengakibatkan akan semakin banyak orang
yang beriman kepada Allah swt, seperti yang terjadi dalam kisah Ashabu-l-Ukhdud.
Kesimpulan
ini mengacu pada komentar yang dinisbatkan ke syaikhu-l-Islam (Ibnu Taimiyah)
yang mengatakan, “Perbuatan anak itu adalah jihad fi sabilillah, karena perbuatannya mengakibatkan suatu
umat/bangsa beriman, sedang si anak itu tidak kehilangan apapun, walaupun dia
mati, karena pada akhirnya dia akan mati juga, cepat atau lambat.”
|
Deradikalisasi: Ini merupakan
sebuah perbandingan yang tidak sebanding. Benar bahwa perbuatan anak itu
mengakibatkan suatu bangsa beriman kepada Allah, dan karena itu, perbuatannya
yang siap dibunuh dan akhirnya memang terbunuh dikategorikan jihad fi
sabilillah. Tapi, si anak itu tidak membantai musuh.
Adapun pelaku
bom bunuh diri sekarang, dia membunuh dirinya sendiri, dan juga orang lain
yang tidak berdosa. Dan lebih dari itu, belum tentu suatu bangsa berbondong
masuk Islam, karena adanya bom bunuh diri. Yang terjadi malah sebaliknya,
bila bom bunuh diri bisa membunuh 10 atau 100 atau 200 orang kafir, agama
Islam tidak diuntungkan. Bahkan aksi pembalasan justru mengakibatkan banyak
umat Islam terbunuh”,[34] seperti yang terjadi di
Afganistan, Irak, Palestina.
|
5.6.
BERJIHAD DENGAN DALIL QISHAS: MEMBELA MUSLIM YANG TERTINDAS
Radikalisme: hukum qishas adalah tindakan pembalasan yang
setara dengan perbuatan/perlakuan musuh terhadap umat Islam. Acuan ayatnya
adalah sejumlah firman Allah antara lain:
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada
sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishas. Oleh sebab itu, barang
siapa yang menyerang kamu, maka balaslah serangnya secara seimbang dengan
serangannya kepada kamu...” (QS. Al Baqarah, ayat 194).
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan yang setara dengan siksaan yang ditimpakan kepada
kamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik,
dan ketahuilah bahwa Allah swt bersama orang-orang bertakwa.” (QS.
An-Nahl, ayat 126).
Deradikalisasi: Menurut Tafsir
Al-Qurthubi, bahwa firman Allah dalam QS. Al Baqarah, ayat 194 dan QS. An-Nahl, ayat 126 adalah ayat qishas
yang harus dilaksanakan di pengadilan. Tidak boleh dilaksanakan dengan cara
main hakim sendiri. Selain itu, pelaksanaan qishas juga harus
dilakukan sendiri oleh keluarga atau wali korban. Dan pembalasan perbuatan
dalam hukum qishas dilakukan dengan alat yang sama, cara yang sama, dan ke
bagian tubuh yang sama.
Artinya,
penikaman pisau tidak boleh diqishas dengan tembakan peluru tajam. Peluru
tajam tidak boleh dibalas dengan bom TNT. Dan orang lain tidak boleh mewakili
wali korban dalam melaksanakan hukum qishas, apalagi tanpa seizin keluarga
korban.
|
|
Radikalisme: Tentang perlunya
membalas perbuatan musuh-musuh Islam dengan tindakan yang setara, berdasarkan
hukum qishas, Imam Samudra menulis justifikasinya, sebagai berikut:
“Yang menjadi target kita adalah
personalnya, individunya, manusianya, bukan tempatnya.... ayat-ayat di atas
dengan jelas tidak membatasi tempat memerangi orang kafir”.[35] Dengan kata lain,
serangan boleh di manapun dan kapanpun, asal target opersinya adalah personalnya, individunya, manusianya.
Imam
Samudra juga menulis, “Operasi Jihad
Bom Bali dimaksudkan sebagai jihad ofensif”.[36]
|
Deradikalisasi: Istilah
Jihad ofensif tidak dikenal dalam ajaran Islam. Sebab, sesungguhnya perang
dalam Islam umumnya bersifat defensif.
|
Radikalisme: Selanjutnya
Imam Samudra menegaskan, “Pada periode
ini, seluruh kaum musyrikin diperangi, kecuali jia mereka bertaubat, masuk
Islam, mendirikan shalat dan membayar zakat”.[37]
“Sipil dibalas sipil!. Itulah
keseimbangan.... dan dengan demikian, jihad Bom Bali tidak dilakukan secara
asal-asalan dan serampangan”.[38]
|
Deradikalisasi: Ungkapan
bahwa sipil harus dibalas dengan sipil, korban dibalas dengan korban, adalah
keyakinan yang dapat mengantar keyakinan yang menghalalkan segala cara. Dan
dengan demikian tidak bisa diterima begitu saja, tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah perang dalam ajaran Islam.
|
Radikalisme: Dalam satu pernyataannya terkait Bom
Bali I, Imam Samudra menegaskan bahwa “Saya bertugas sebagi ide, hukum dan strategi. (a) Ide adalah mengangkat fakta yang terjadi dalam
pembantaian 200 ribu Muslim di Afganistan yang terdiri dari laki-laki lembah,
bayi-bayi dan rakyat sipil lainnya yang tidak berdosa yang dijatuhi ribuan
ton bom pada bulan September 2001, tepatnya dalam bulan Ramadahn 1422
Hijriyah. (b) Yang dimaksud dengan hukum ialah menyampaikan kembali pendapat
dan fakta ulama Mujahidin tentang hukum wajibnya kaum Muslimin membela
saudara-saudara mereka yang tertindas dan dibantai di berbagai penjuru dunia
dan tentang wajibnya berjihad terhadap seluruh kaum kafir. Kalau sekarang ini
terutama teroris AS dan sekutu salibnya. (c) Strategi ialah berkenaan dengan pemilihan target
secara spesifik dan tidak mengganggu atau mencelakakan orang-orang/obyek di
luar target (yang saya maksudkan target adalah AS dan sekutunya, yaitu
Inggris, Jerman, Perancis, Australia, Belgia, Jepang, Cina, Swedia, Italia,
Rusia dan lain-lain)”.[39]
“Salah satu tujuan saya melakukan
pengeboman di Bali adalah untuk melaksanakan perintah Allah swt seperti yang
tersirat dalam Surat An Nisa’ ayat 74-76, yaitu kewajiban membela lelaki lemah dan bayi-bayi yang
tidak berdosa yang selalu menjadi sasaran atas kebiadaban teroris Amerika dan
sekutunya”.[40]
“Alasan pertama memerangi orang Amerika
dan sekutunya ini adalah perintah Allah dan Rasulnya baik secar langsung
ataupun tidak. Alasan kedua, di kepala saya, dalam ingatan saya, kejahatan
Amerika dan sekutunya sudah melampau batas, sehingga tidak bisa lupa image
tentang orang Muslim hilang lehernya dan kebiadaban Amerika dan sekutunya
terhadap kaum Muslim. Yang mana hal ini yang selalu membayang-bayangi pikiran
saya sehingga saya tergerak untuk melakukan pembelaan terhadap kaum Muslim.
Gambar-gambar tentang kebiadaban itu saya lihat pada internet dan VCD tentang
Perang Salib, tentang jihad di Ambon dan jihad di Afganistan, yang dijual
bebas, dan yang paling penting adalah bahwa saya sangat takut akan ancaman
Allah jika saya tidak melakukan jihad terhadap kaum kafir dan sekutunya
sesuai dengan surat At Taubah ayat 39 yang berbunyi, “Jika kamu berperang di
jalan Allah, maka Allah pasti akan mengazab (menyiksa) dengan siksaan yang
sangat dahsyat (At-Taubah (9), ayat 39).”[41]
Terkait dengan aksi Bom Bali-I, Oktober
2002, Imam Samudra menulis sebuah pernyataan yang soft file-nya kemudian ditemukan di dalam laptopnya
yang disita ketika tertangkap. Pernyataan itu secara lengkap sebagai berikut:
Awal kutipan: “Tidak ada setetes pun darah
kaum Muslimin yang gratis. Dari bangsa apapun dan di belahan bumi manapun.
Kematian ratusan kaum Muslimin mulai dari Palestina, Afganistan, Iraq,
Kashmir, Gujarat dan lain-lain di dataran Asia. Kematian dan kekejaman tak
terperikan terhadap kaum Muslimin di Bosnia dan Kosovo di daratan Asia.
Begitu juga dengan pembunuhan secara brutal terhadap Muslim Sudan di Afrika.
Perpanjangan tangan dan konspirasi Salibis
Internasional di Filipina dan Indonesia. Sehingga terjadi “Moslem
Cleansing” di Moro, Poso serta
Ambon dan sekitarnya, membuktikan bahwa era perang salib baru telah berjalan
dan akan terus berjalan. Serangan Salibis Internasional dan sekutunya
(pasukan Ahzab Salib) di bawah komando Bush dengan semboyan ‘Crusade War’ dan ‘Undefinitif Justice’ terhadap Daulah Islamiyah Afganistan
sungguh tidak bisa diingkari.
Nyawa dibalas nyawa, darah dibalas
darah.... ‘dan perangilah kaum Musyrikin semuanya sebagaimana mereka
memerangi kamu (kaum Muslimin) semuanya’ (At-Taubah: 36). Seorang Mu’min
dengan seorang Mu’min lainnya turut merasakan hal yang sama.
Untuk kalian hai Kafir Salib! Jika anda
katakan bahwa pembunuhan ini biadab dan kejam dan terjadi atas ‘sipil tak
berdosa’, dari bangsa-bangsa kalian, ketahuilah bahwa anda melakukan hal yang
lebih kejam dari itu. Apakah 600 ribu bayi di Irak dan setengah juta
anak-anak Afganistan dan ibu-ibu mereka, anda anggap sebagai tentara dan
manusia penuh dosa yang harus menanggung ribuan ton bom-bom kalian???!! Di
mana otak dan nurani kalian??!!!
Tangis bayi dan jeritan Muslimah yang
kemudian dipanjangkan dengan diplomasi-diplomasi segelintir kaum Muslimin
demi menghentikan kebrutalan kalian tak berhasil dan sama sekali tidak akan
pernah mampu menghentikan kebiadaban kalian. Maka inilah kami, kaum
Muslimin!!! Yang hati-hati kami terluka dan menyimpan kepedihan atas
kematian-kematian saudara kami. Pantang bagi kami untuk membiarkan
kesemena-menaan dan kebiadaban terjadi terhadap saudara-saudara kami kaum
Muslimin di belahan bumi manapun.
Dengan ini kami menyatakan,
bertanggungjawab atas BOM SYAHID yang terjadi di Jalan Legian, Kuta, Bali
pada hari Sabtu Malam Minggu, 12 Oktober 2002 dan sekitarnya. Kedutaan
Amerika Serikat di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, Bali pada malam yang sama.
Tuntutan kami:
Selagi pasukan Ahzab (Salibis
Internasional dan sekutu-sekutunya: Amerika Serikat, Inggeris, Jerman, Australia,
Perancis, Belanda, Italia, Jepang, Swedia dan lainnya) tidak keluar dari
Afganistan, maka selama itu korban dari negara-negara kalian di manapun
berada akan terus berjatuhan.
Selagi saudara-saudara kami yang kalian
anggap teroris dan kalian siksa dalam penjara-penjara kalian, terutama di
Guantanamo, selama itu pula warga dari negara-negara kalian akan merasakan
hal yang sama.
Kuta, 12-10-02, Katibul Istimata
Al-Alamiyah (Batalyon Berani Mati Internasional)
Komandan
Abu Istimata
|
Deradikalisasi: Perlu ditegaskan di sini bahwa Allah
kadang mempermudah bagi hambanya melakukan maksiat untuk menguji keimanan,
seperti orang sedang berpakaian ihram dalam ibadah haji atau umrah, kadang
sangat mudah mendapatkan hewan buruan, padahal ketika itu, haram hukumnya
berburu. “Wahai orang-orang beriman, sungguh Allah akan mengujimu dengan
sesuatu hewan buruan, yang mudah digapai dengan tangan dan/atau tombak-tombak
kalian, agar Allah swt mengetahui siapa di antara kalian yang takut kepada
Allah, biarpun dia tidak melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas
setelah itu, maka baginya siksaan yang pedih... Wahai orang-orang beriman,
janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika sedang ihram...”, (QS. Al-Maidah,
ayat 94-95).[42]
Nabi Yusuf
as juga diuji dengan kemudahan melakukan perbuatan keji (zina). Juga Allah
menguji bangsa Yahudi, dengan kemudahan berburu di hari Sabtu, padahal Allah
telah melarang mereka berburu di hari Sabtu, seperti dikisahkan dalam Quran,
surat Al-A’araf.[43]
Berdasarkan
uraian ini, kita bisa mengetahui bahwa kemudahan melakukan sesuatu yang
haram, boleh jadi sebagai ujian dari Allah swt. Menurut Umar bin Khattab,
seorang Muslim yang mampu menghindari suatu maksiat – meskipun mudah dilakukan
dan dia bisa melakukannya kalau mau – berarti dia termasuk orang yang dipuji
oleh Allah dalam firmanya, “... mereka yang telah diuji hatinya oleh Allah
swt untuk memastikan ketakwaannya, untuk mereka ampuran dan pahala yang
besar,” (QS. Al-Hujuraat, ayat 3). (lihat penjelasan Tafsir Ibnu Katsir,
dalam menafsirkan ayat ini).[44]
Perbedaan mazhab dan pendapat
Tidakkah
cukup sebagai peringatan, hadis Nabi saw yang berbunyi, “Bahwa seorang
mu’min tetap memiliki kelapangan dalam agamanya, selama tidak membunuh orang
yang haram dibunuh,” (HR Bukhari).[45]
Juga hadis
Nabi yang menyebutkan, “Bahwa orang bangkrut dari umatku adalah orang yang
dihari kiamat kelak, datang menghadap Allah dengan amal shalat, puasa dan
zakat. Tapi, pada saat yang sama, ada orang lain yang datang menghadap dengan
mengatakan dia juga mencaci maki si ini, , membunuh si itu, menuduh yang
tidak-tidak si Anu, dan memukul si itu. Lalu amal baiknya dikurangi untuk
menebus amal kejahatannya. Kalau amal baiknya lebih dulu habis daripada amal
jahatnya, maka kejahatan orang lain itu ditimpakan kepadanya, dan dia pun
dijebloskan ke dalam neraka,” (HR Muslim). Di hadis lain, Rasulullah juga
bersabda, “Jauhilah tujuh perbuatan yang membinasakan, yaitu:... (antara
lain) membunuh orang yang diharamkan dibunuh kecuali dengan alasan yang
benar... ” (muttafaq ‘alaihi). Rasulullah saw juga bersabda, “persoalan
yang paling pertama diputuskan pada hari kiamat adalah masalah darah
(pembunuhan)” (Muttafaq ‘alaihi).[46]
Karena itu,
juga tidak boleh membunuh seseorang berdasarkan perbedaan
aliran/mazhab/pendapat. Dan di zaman modern ini, telah muncul beragam bid’ah,
seperti membunuh karena alasan warga negara, membunuh karena alasan
penampilan, membunuh karena alasan identitas, membunuh karena alasan nama,
membunuh karena alasan aliran mazhab, termasuk membunuh orang yang bermazhab
Syiah, yang merupakan salah satu aliran yang sudah muncul sejak abad pertama
Hijriyah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah, dalam bukunya “Minhaj al-Sunnah”
mengatakan, “Sama sekali, tidak seorang pun ulama salaf yang mengkafirkan
mazhab Syiah”. Dan seorang Muslim haram dibunuh meskipun berbeda mazhab.[47]
Dan seorang
Muslim tidak boleh membantu tindakan atau perbuatan yang melanggar batas.
Sebab, siapapun yang memberikan bantuan, berarti dia ikut menanggung dosanya,
Allah swt berfirman, “...Dan janganlah bekerja sama (tolong menolong)
dalam perbuatan dosa dan pelanggaran (hukum)” (QS. Al-Maidah, ayat 2).[48]
Larangan bergembira atau membanggakan
perbuatan maksiat
Berdasarkan
penjelasan pada bab-bab yang lalu, dapat dikatakan bahwa membunuh warga asing
dan wisatawan di negara-negara Muslim, dan operasi jihad di wilayah negara
asing, dan pembunuhan warga sipil, semua itu adalah dosa besar yang
diharamkan, dan seorang Muslim tidak boleh bangga melakukannya. Sebab,
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bergembira dengan amal baiknya,
dan merasa tidak enak dengan amal jahatnya, berarti dia orang yang beriman”,
(HR Thabrani, dari Abu Musa ra).
Memang,
ambisi dan semangat untuk melampiaskan kemarahan terhadap musuh-musuh Islam
telah membuat sebagian kelompok Islam justru merasa gembira ketika melakukan
dosa-dosa di atas. Dan sikap ini menunjukkan kebodohan tentang ajaran agama
Islam, dan merupakan indikasi iman yang tidak sempurna. Sebab orang yang
gembira dengan pebuatan maksiatnya adalah bukan orang beriman. Lebih dari
itu, orang yang meridhai suatu perbuatan maksiat akan berdosa seperti dosa
pelakunya, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Jika suatu kesalahan
dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya dan lalu membencinya sama
dengan orang yang tidak melihatnya. Sebaliknya, orang tidak melihatnya namun
meridhainya, posisinya seperti orang yang melihatnya,” (Hadis hasan, diriwayatkan
oleh Abu Daud).[49]
Lagi pula,
sangat tidak pantas membangga-banggakan perbuatan maksiat dan aksi
pengkhianatan. Karena sikap seperti itu justru merupakan tindakan
berterang-terangan dengan maksiat, yang bisa menambah jarak antara pelakunya
dengan pintu ampunan Allah. Rasulullah saw bersabda, “setiap umatku akan
dimaafkan, kecuali yang melakukan maksiat secara terbuka/terang-terangan”
(hadis muttafaq ‘alaihi). Perbuatan maksiat seharusnya justru
dimintakan ampun dan istighfar,
bukan malah gembira dan membangga-banggakannya. Sebab, tidak ada kebanggaan
dalam hal melakukan pengkhianatan, atau pertempuran yang disertai dengan
penipuan, meskipun dianggap kepahlawanan oleh orang-orang bodoh.[50]
|
5.7.
Quran dan terorisme: perintah
melakukan persiapan
Pertanyaan
paling esensial dalam kasus terorisme adalah apakah Quran memuat ayat-ayat yang
mengisyaratkan perlunya melakukan teror? Tegasnya, apakah Quran memiliki ajaran
atau konsep untuk melakukan teror?
Dalam
bahasa Arab, ada perbedaan antara takut
dan teror. Kata takut lebih sering diungkapkan dengan kata khauf (akar kata: kha’-waw-fa’).
Sementara, dalam bahasa Arab modern, kata teror
diungkap dengan kata irhab (asal
kata: ra’-ha’ besar-ba’ dibaca ra-hi-ba) yang berarti menakut-nakuti.
Kata
yang berakar irhab atau ra-hi-ba
dengan segala derivasinya ini disebutkan dalam Quran sebanyak 12 (duabelas) kali,
dan artinya berbeda-beda, tergantung konteks ayatnya dan juga derivasi
kata-kata yang digunakan dalam suatu ayat.
Dari
12 ayat itu, memang ada dua ayat di mana kata rahiba dimaknai menakut-nakuti, yaitu.
n QS. Al-A’raf,
ayat 116: “Dan ketika mereka melemparkan,
mereka pun menyulap mata orang dan menakut-nakuti mereka, lalu mereka
mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)”.
n QS. Al-Anfal,
ayat 60: “Untuk menghadapi musuh-musuhmu,
maka persiapkanlah semaksimal mungkin (segala jenis) kekuatan, (termasuk) kuda
yang ditambatkan,, yang bisa kamu jadikan alat untuk menakut-nakuti (menggentarkan)
musuh Allah swt dan musuhmu, dan
kelompok lain yang tidak kamu ketahui, namun Allah mengetahui mereka. Dan
kebaikan apapun yang kamu belanjakan (lakukan) di jalan Allah akan mendapatkan balasan yang setimpal, dan kamu
sekalian tidak akan dizalimi”.
Radikalisme: Dengan tegas,
melalui dua ayat itu, Allah memerintahkan ummat Islam membangun kekuatan yang
dapat digunakan untuk menteror musuh ummat Islam dan musuh Allah.
Dan QS.
Al-Anfal, ayat 60 mengandung tiga persoalan inti yaitu: (1) perintah untuk
membangun kekuatan; (2) kekuatan itu digunakan untuk melakukan teror; dan (3)
sasaran teror adalah musuh ummat Islam dan musuh Allah swt dengan rincian
penjelasan sebagai berikut:
Pertama, tentang perlunya
ummat Islam membangun kekuatan, termasuk kekuatan berkuda. Di ayat ini,
pasukan kuda disebutkan, karena ketika itu, pasukan kuda merupakan kekuatan
yang diandalkan pada setiap perang. Tapi intinya adalah kekuatan apa saja yang
berpotensi dijadikan sebagai elemen pertahanan dan penyerangan.
Kedua, kekuatan ummat
Islam tersebut memang bertujuan untuk menakut-nakuti (menteror) musuh-musuh
Allah swt dan musuh ummat Islam. Dengan jelas bahwa ayat ini menghalalkan
ummat Islam menggunakan kekuatannya untuk dijadikan sebagai alat atau serana
untuk menakutnakuti musuh, yang dalam istilah populernya adalan melakukan
teror.
Ketiga, identifikasi
musuh-musuh ummat Allah dan dan musuh ummat Islam. Memang, persoalan paling
pelik dari ketiga inti esensi ayat tersebut adalah masalah mengidentifikasi
siapa musuh ummat Islam dan musuh Allah swt.
|
Deradikalisasi: Ayat 60 Surat Al
Anfal memang menjadi perbedaan tafsir dikalangan para ulama, khususnya di
kalangan aktivis pergerakan Islam. Namun, dilihat dari konteks ayatnya, musuh
yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir musyrik. Sementara ahlu kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak
dikategorikan sebagai musuh.
Dalam Quran
terjemahan Indonesia oleh Departemen Agama, kata turhibuna dalam ayat 60 Surat Al-Anfal diterjemahkan dengan kata menakut-nakuti atau menggentarkan.
Sementara Quran terjemahan bahasa Inggris,
kata turhibuna
dalam
ayat 60 Surat Al-Anfal tersebut diterjemahkan dengan ...to afraid the enemy of Allah and your enemy..., bukan diterjemahkan ...to terrorise the enemy of
Allah and your enemy....
Lagi pula, perintah mempersiapkan kekuatan
itu lebih ditujukan kepada pimpinan pasukan Islam dalam sebuah negara, bukan
perintah perorangan.
Selain itu, kata kekuatan dalam
ayat tersebut juga dapat ditafsirkan lain, misalnya kekuatan ekonomi. Dan
terbukti sekarang ini, negara/bangsa yang memiliki kekuatan ekonomi, justru
disegani dan ditakuti oleh negara/bangsa pesaingnya.
|
5.8.
IDENTIFIKASI MUSUH ISLAM: MEMERANGI
ORANG KAFIR ATAU NON-MUSLIM
Radikalisme: Memerangi orang
kafir adalah kewajiban seorang Muslim, di manapun dan kapan pun. Paham ini
mengacu pada sejumlah ayat Quran, antara lain sebagai berikut.
“...Bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana
saja kamu jumpai mereka.” (QS. At-Taubah, ayat 5).
“...Perangilah mereka, niscaya Allah akan
menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu.” (QS. At-Taubah,
ayat 14).
“...Perangilah orang-orang yang tidak beriman
keapda Allah dan tidak (pula ) kepada hari kemudian.” (QS. At-Taubah,
ayat 29).
“...Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya
sebagai mana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah, ayat 36).
“...Dan perangilah mereka, supaya jangan ada
fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah .” (QS. Al Anfaal,
ayat 39)
“...Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. Al Baqarah, ayat
191).
Menurut
penganut radikalisme, ayat-ayat tersebut di atas dengan tegas memerintahkan
untuk membunuh orang kafir, di manapun dan kapan pun, tidak peduli laki-laki,
wanita, anak-anak. Artinya, bila tidak dilaksanakan maka seorang Muslim akan
berdosa.
|
Deradikalisasi: Ayat-ayat
tersebut di atas, yang memerintahkan pembunuhan orang kafir, semuanya
berbicara dalam konteks pertempuran di medan perang. Artinya, ayat-ayat itu
hanya berlaku di medan tempur, ketika pasukan Islam berhadapan dengan pasukan
musuh.
Karena
semua ayat itu diturunkan dalam kasus perang dan pertempuran. Bila kemudian
ayat-ayat itu diimplementasikan dalam situasi damai, misalnya melakukan
pemboman di tempat publik yang kemudian menggugurkan orang-orang sipil, baik
kafir apalagi yang Muslim, tentu merupakan penafsiran rancu terhadap teks
ayat. Dengan kata lain, tafsiran itu sudah keluar konteks ayat.
Sebab di ayat lain juga banyak ayat untuk
menghormati orang kafir yang tidak memusuhi dan tidak menyerang umat Islam.
|
Radikalisme: Metode
identifikasi musuh yang paling baik adalah bukan berdasarkan orang dan
kelompok, tapi mengacu pada sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh seseorang
ataupun suatu kelompok terhadap ummat Islam. Artinya, musuh Islam adalah
orang atau kelompok yang nyata-nyata menyatakan permusuhan terhadap Islam dan
umat Islam, baik secara fisik (serangan tempur) maupun non-fisik (seperti
cemoohan, manipulasi ayat, ataupun lewat gambar dan karikatur penghinaan
terhadap simbol-simbol Islam).
Artinya,
sikap permusuhan terhadap Islam dapat diungkapkan lewat berbagai cara:
tulisan, pernyataan terbuka, lukisan karikatur dan yang paling brutal adalah
serangan pasukan asing terhadap suatu negeri Muslim.
Dengan
demikian, musuh Ummat Islam dan musuh Allah adalah mereka yang memperlihatkan
sikap permusuhan terhadap ummat Islam dan/atau kepada Allah swt dan Rasulnya
alias terhadap ajaran agama Islam. Artinya pula, musuh di sini bisa datang
dari berbagai kelompok dan agama.
Dalam buku
PUPJI, klasifikasi musuh Allah dan Rasul-Nya, disebutkan antara lain:
Penguasa kafir, Musyrik, Murtad, Zindiq,
mustabdil dan pembantu-pembantunya.[51]
Dan di masa
kini, musuh Islam yang paling nyata adalah negara adidaya Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya, serta Israel (Zionis Yahudi).
Di kalangan
kelompok radikal, Amerika dan Yahudi selalu disandingkan. Sebab, dalam
beberapa kasus memang kebijakan luar negeri Amerika sering ditumpangi oleh
kepentingan lobi Yahudi, yang merasuk bahkan ke semua lembaga politik dan
keuangan di Amerika Serikat.
|
Deradikalisasi: Salah satu
persoalan mendasar dalam kasus terorisme adalah poin tentang bagaimana
mengidentifikasi musuh. Aksi-aksi teror bom di tempat-tempat publik, seperti
hotel dan restoran, adalah hasil dari pemahaman dan metode identifikasi musuh
yang keliru.
Dalam
prakteknya, identifikasi musuh ini bisa sangat longgar. Sehingga kalau
misalnya Amerika dianggap musuh, maka seluruh yang berbau Amerika atau terkait
dengan Amerika adalah juga musuh, yang boleh dijadikan sasaran operasi.
Metode melakukan break-down dari
kategori musuh seperti ini memang sangat berbahaya dan konsekuensinya bisa
melebar ke mana-nama, sebab bisa mencakup wilayah yang sangat lebar, misalnya
sebagai berikut.
Ÿ
Properti warga Amerika. Itulah sebabnya,
kelompok radikal menghalalkan serangan teror terhadap hotel-hotel jaringan
internasional, seperti JW Marriott, yang diyakini sebagai salah satu hotel
yang pemiliknya adalah warga Amerika.
Ÿ
Warga Amerika, di manapan dan kapan pun,
diposisikan sebagai target operasi. Dan tindakan seperti ini tentu saja
menciptakan resistensi di kalangan warga Amerika.
Ÿ
Sekutu Amerika, mencakup seluruh negara
sahabat yang mengamini kebijakan Amerika Serikat. Serangan teror terhadap
Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004, adalah bagian dari
serangan terhadap sekutu Amerika. Itulah sebab, dalam secara global, pihak Al
Qaidah dan Jamaah Islamiyah sering menyebutkan Inggris dan Australia sebagai
sekutu Amerika yang paling dekat.
Dalam satu
pertemuan, seorang anggota kelompok radikal berkoar tentang perlunya
memboikot produk-produk Israel.
Tapi, di tangannya terdapat satu handset telepon seluler, yang menggunakan kartu salah satu operator di Indonesia. Ketika ditanyakan kepadanya kartu seluler apa yang digunakan? dia langsung menyebut salah satu operator seluler. Dia menjadi malu ketika saya menyampaikan bahwa untuk memaksimalkan mutu jaringan selulernya di Indonesia, operator kartu yang Anda gunakan itu menyewa sebuah satelit milik Israel.
Kefasikan dan Maksiat
Dan dapat
dipastikan, bahwa suatu perbuatan fasik dan/atau maksiat tidak membuat
pelakunya keluar dari agama Islam. Dan mendiamkan suatu kemungkaran atau
kekafiran bukan berarti menerima kemungkaran dan kekafiran tersebut.[52]
Sebagian
kelompok Muslim berdalih bahwa “Meridhai suatu kekafiran adalah kafir”
atau “Barang siapa yang tidak mengkafirkan seorang kafir, maka dia juga
menjadi kafir”. Dan akhirnya, mereka mengkafirkan semua orang. Dan ini
tidak benar. Sebab hukum Islam membolehkan sikap mengingkari suatu maksiat
hanya dengan hati. Dan seorang yang sedang tertindas tidak wajib mengingkari
suatu maksiat, dengan tangan ataupun lisan, kalau jutru akan mengancam
keselamatan jiwanya. Artinya, dalam keadaan takut, dia boleh menutupi
keyakinannya. Karena itulah, ada kaidah fikhi yang mengatakan, “لا يُنسَب إلي ساكت
قولٌ” (tidak boleh menisbahkan satu perkataan/pendapat kepada
orang yang diam), kecuali dalam beberapa pengecualian, seperti diamnya
seorang gadis perawan dapat dimaknai persetujuan untuk menikah.[53]
Secara
umum, tidak boleh menilai keimanan seseorang berdasarkan aksi diamnya.
Bukankah Allah swt mengakui keimanan seorang yang menyembunyikan keimanan dan
keyakinan agamanya? “Dan berkata seorang laki-laki beriman dari keluarga
Fir’aun, yang menyembunyikan keimanannya... “ (QS. Gafir, ayat 28).
Lantas atas dasar apa kita menghakimi seseorang dengan cra menisbahkan
perkataan atau hukum kepada orang yang diam?[54]
Rasulullah
saw juga mengakui keimanan “seorang Muslim yang mengingkari kemungkaran
dengan hatinya”, yang berarti dia diam dan tidak mengkafirkan perbuatan
orang kafir. Lantas kenapa kita mencabut keimanan yang notabene diakui oleh
Rasulullah saw? “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran,
maka hendaklah mencegahnya dengan tangan (kekuatan), bila tidak mampu, boleh
dengan lidahnya. Kalau tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah
keimanan yang paling lemah”, (HR Muslim, dari Abu Sa’id). Di hadis lain,
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berjihad dengan hatinya dalam melawan
orang kafir, maka dia juga beriman”, (HR Muslim). Dan tentu saja, tidak
ada lagi pendapat yang bisa didengar setelah Rasulullah saw menyampaikan
keputusan. Dan pengingkaran dengan hati bisa dilakukan dalam bentuk membenci
dan menjauhi kemungkaran tersebut, seperti dijelaskan dalam hadis lain, “Barang
siapa yang membenci (kemungkaran) berarti dia telah bebas (dari tuntutan)”
(HR Muslim).[55]
Dalam hal
mengenali identitas keimanan dan keislaman seseorang, manusia pada umumnya
dapat dibagi menjadi dua kelompok: mastur al-hal (keadaan dan
identitas keimanan dan keisalamannya tertutupi) dan majhul al-hal
(keadaan dan identitas keimanan dan keisalamannya tidak diketahui).[56]
Mastur al-hal (orang
yang keadaannya tertutupi)
Kelompok
pertama, mastur al-hal (keadaan dan identitas keimanan dan
ke-Islam-annya tertutupi). Yaitu orang yang penampilannya mengindikasikan
keislaman, dan tidak terdapat tanda-tanda yang mencederai ke-Islam-annya itu.
Kelompok ini haram dibunuh dan harta bendanya harus dilindungi. Sabda
Rasulullah saw, “Seorang Muslim terhadap sesama Muslim lainnya, haram
saling membunuh, dan saling mengambil harta dengan cara tidak sah, dan saling
mengganggu kehormatan.” (HR Muslim). Membunuh seorang yang mastur
al-hal dengan sengaja merupakan dosa besar, dan pembunuhnya harus dihukum
di dunia dan tentu saja di akhirat kelak; seorang yang mastur al-hal juga
sah dijadikan imam shalat, hewan sembelihannya boleh dimakan tanpa syarat
harus lebih dulu harus diuji kebenaran aqidahnya.[57]
Dengan kata
lain, segala bentuk ibadah yang dilakukan oleh orang yang mastur al-hal dianggap
sah secara hukum. Firman Allah “... Jangan mengatakan: ‘kamu tidak
beriman’, kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu”, (QS. An-Nisa’,
ayat 94). Rasulullah saw bersabda, “Siapapun yang shalat menurut cara
shalat kami, yakni menghadap kiblat, dan memakan sembelihan kami, maka dia
adalah seorang Muslim” (HR Bukhari). Artinya, menafikan keislaman orang
yang melakukan segala bentuk ibadah, adalah sikap yang bertentangan dengan
tuntunan Quran dan Sunnah Nabi. Allah juga berfirman “Ambillah al-afwu”
(QS. Al-A’raf, ayat 199).[58] Dan kata al-afwu
di ayat itu berarti “yang tampak dari seseorang”, dan tidak harus
diperiksa dan dipastikan keadaan hati/batinnya.[59]
Karena itu,
Rasulullah saw bersabda, “Saya tidak diperintahkan untuk memeriksa hati
manusia” (muttafaq ‘alaihi). Menilai setiap orang berdasarkan
penampilan luarnya, merupakan salah satu prinsip agama Islam. Umar bin
Khattab berkata, “Kami orang Islam, pada masa Rasulullah saw, dinilai
berdasarkan tuntunan wahyu. Namun setelah wahyu Allah sudah terputus (dengan
wafatnya Muhammad), maka kami akan menilai kalian sesuai dengan perbuatan
kalian yang tampak bagi kami. Karena itu, siapapun yang memperlihatkan
perbuatan baik, maka kami menjamin keamanannya dan berusaha mendekatkannya
kepada kami. Kami tidak ada urusan dengan apa yang ada di hati/batinnya. Dan
siapapun yang melakukan kejahatan, maka kami akan mengamankan diri darinya,
dan tidak akan mempercayainya, meskipun hati/batinnya menginginkan kebaikan”
(HR Bukhari).[60]
Tentu
dibolehkan bahkan diwajibkan melakukan penelitian atau pemeriksaan terhadap
orang yang mastur al-hal (keadaannya tertutupi) berdasarkan firman
Allah, “... apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita beriman, maka
hendaklah kamu menguji (keimanan) mereka...” (QS. Al-Mumtahanah, ayat 10).
Juga boleh meneliliti keyakinan seseorang untuk memastikan derajat keislaman
seseorang, seperti sifat adil bagi orang yang akan menjadi saksi, atau
seorang yang akan menduduki suatu jabatan, dan juga perkawinan.[61]
Firman
Allah, “...Dan angkatlah dua orang saksi yang adil di antara kamu...”
(QS. Ath-Thalaq, ayat 2). Juga firman Allah, “... menurut keputusan dua
orang yang adil di antara kamu...” (QS. Al-Maidah, ayat 95). Satu Hadis
Rasulullah saw mengatakan, “Barang siapa menikahkan putrinya dengan
laki-laki fasik, berarti dia telah memutus hubungan keluarganya”... Dan
hadis “Bila kamu didatangi orang yang kamu ridhai akhlak dan agamanya,
maka kawinkanlah dia (dengan putrimu)” (HR Turmidzi, hadis hasan).
Dalam satu kasus, Umar bin Khattab berkata kepada seorang saksi, “Saya
tidak mengenal pribadi Anda, maka datangkanlah orang yang mengenal Anda (agar
saya bisa mengenal siapa Anda)” (lihat “Manar al-Sabil”, karya
Ibnu Dhuwaiyan).[62]
Majhul al-hal (orang yang keadaannya tidak diketahui)
Terkait
soal keimanan, kelompok manusia kedua adalah yang majhul al-hal (keadaan
dan identitas keimanan dan ke-Islam-annya tidak diketahui). Yakni orang yang
tidak menunjukkan tanda-tanda apakah dia Muslim atau kafir. Dan di zaman
modern ini, beginilah keadaan sebagian besar umat manusia. Kelompok ini wajib
diteliti keadaannya. Karena itu, mereka tidak bisa disakiti oleh umat Islam.
Tapi, penelitian di sini hanya boleh dilakukan dalam persoalan yang memang
menuntut untuk mengetahui agama dan keadilan, seperti sudah dijelaskan ketika
membahas kelompok mastur al-hal.[63]
Dulu,
kelompok majhul al-hal diposisikan sebagai orang Islam (Muslim).
Karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Anda boleh mengucapkan salam, kepada
orang lain yang Anda kenal dan juga kepada orang yang Anda tidak kenal”
(HR Bukhari). Padahal, hukum dasar dalam soal mengucapkan assalamu alaikum
adalah haram mendahului mengucapkan salam kepada non-Muslim. Dengan hadis
itu, berarti orang yang tidak diketahui identitasnya dianggap Muslim,
karena boleh mengucapkan salam kepadanya. Dan hukum ini mengacu pada dua
alasan sebagai berikut: Pertama, karena dulu, perbedaan penampilan
dapat diketahui dengan mudah. Sebab, komunitas dzimmi (non-Muslim yang
hidup di wilayah Islam) diwajibkan mengenakan pakaian khusus, yang
membedakannya dengan pakaian komunitas Muslim. Kedua, hukuman murtad
diterapkan secara ketat terhadap seorang Muslim yang menyatakan murtad dari
agama Islam.[64]
Kedua
alasan ini, sudah tidak ada lagi di zaman modern ini. Sebab, sulit memastikan
keislaman orang yang majhul al-hal (identitasnya tidak diketahui).[65]
|
Radikalisme: Memang ada
sebagian ulama memposisikan orang yang majhul al-hal berdasarkan
negara domisilinya, artinya kalau berdomisili di wilayah non Muslim, maka
diposisikan sebagai orang kafir.[66]
|
Derdikalisasi: Tapi kesimpulan
ini tidak benar. Sebab, Allah swt membolehkan seorang Muslim yang tertindas
untuk menyembunyikan keimanannya atau keislamannya, berdasarkan firman Allah,
“Dan kalau bukan laki-laki yang mu’min dan wanita-wanita yang mu’min yant
tidak kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu
ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu...” (QS. Al-Fath, ayat 25).[67]
Dulu,
Makkah adalah wilayah kafir sampai ditaklukkan tahun 8 Hijriyah. Dan
Rasulullah saw dan sahabatnya bermukim di Makkah sebelum hijrah. Namun
setelah Rasulullah Hijrah ke Madinah, sebagian umat Islam yang lemah tetap
berdomisili di Makkah, dan mereka adalah orang beriman. Meskipun demikian,
tidak seorang pun yang memposisikan mereka sebagai orang kafir, hanya karena
tetap berdomisili di wilayah kafir (Makkah).[68]
Bila ada
sebuah kampung/negeri yang memberontak, menurut Ibnu Taimiyah, seluruh
penduduknya, Muslim ataupun kafir, diperlakukan sesuai haknya masing-masing.
Artinya, tidak semua penduduknya dianggap pemberontak. Sebab, tidak seorang
pun ulama yang mengatakan bahwa hukum suatu wilayah berlaku bagi seluruh
penduduknya.[69]
Singkat
kata, pendapat yang benar bahwa orang yang majhul al-hal memang tidak
bisa dihakimi, sebelum dipastikan keadaan dan identitasnya yang sebenarnya,
berdasarkan firman Allah, “Dan janganlah mengikuti sesuatu yang kamu tidak
ketahui...” (QS. Al-Isra’, ayat 36). Juga firman Allah, “Wahai
orang-orang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah...” (QS. An-Nisa’, ayat 94).[70]
Dua tingkatan penelitian identitas keimanan
seseorang
Dan proses
penelitian keimanan dan keislaman seseorang, dapat dilakukan dalam dua hal: Pertama,
meneliti keislaman seseorang dalam persoalan yang disyaratkan adanya faktor
keislaman. Kedua, meneliti keadilan dalam persoalan yang disyaratkan
adanya faktor keadilan.[71]
Dengan
demikian, warga sipil yang berdomisili di negara-negara Muslim terdiri dari
berbagai kelompok komunitas. Dan bila terjadi percampuran antara yang mubah
dan yang haram, maka meninggalkan yang haram harus lebih diutamakan.[72]
Karena itu,
tidak ada alasan syar’i yang membolehkan penyerangan terhadap warga sipil
dengan cara yang tidak pilih kasih (peledakan bom). Dan kalaupun diasumsikan
bahwa tindakan itu perlu dilakukan, lantas bagaimana kita menyerang orang-orang
yang majhul al-hal (identitas keislamannya tidak diketahui), tanpa
didahului penelitian tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Padahal Allah
swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman, apabila kamu pergi (berperang)
di jalan Allah, maka telitilah, Dan Jangan mengatakan: ‘kamu tidak beriman’,
kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu (lalu kamu membunuhnya), dengan
maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta
yang banyak. Begitulah keadaanmu di masa lalu, kemudian Allah menganugerahkan
nikmat-Nya kepada kamu. Maka telitilah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apapun yang kamu kerjakan” (QS. An-Nisa’, ayat 94). Ayat ini disebutkan
dalam Quran setelah ayat yang mengancam keras orang “...yang membunuh
seorang mu’min dengan sengaja...” (QS. An-Nisa’, ayat 93). Dan Allah swt
mengulang kata “telitilah” untuk menegaskan kewajibannya. Di ayat ini,
Allah juga mengancam orang yang membunuh orang lain yang tidak diketahui
identitas keimanannya, dengan tujuan untuk mendapatkan harta benda duniawi.
Disebutkan juga bahwa umat Islam sebelumnya berada dalam kondisi demikian
“...Begitulah keadaanmu di masa lalu...” agar menjadi peringatan keras
bagi mereka yang terburu-buru mengganggu dan membunuh orang lain.[73]
Dan saya
tidak yakin bahwa membunuh warga sipil di negara-negara non-Muslim dengan
cara peledakan hotel, gedung dan alat transportasi, dapat dikategorikan
sebagai jihad di jalan Allah. Semua perbuatan itu, tidak boleh
dilakukan, walaupun dengan alasan membunuh perisai manusia Muslim atau untuk
membunuh orang kafir.[74]
Karena itu,
haram hukumnya membunuh warga sipil di negara-negara non-Muslim, di mana
warga non-Muslim bercampur dengan komunitas Muslim, dan juga terjadi
percampuran antara orang yang mastur al-hal dan majhul al-hal).
Dan tindakan membunuh mereka sekaligus, melalui aksi peledakan bom atau
sejenisnya, posisi hukumnya berada antara haram yang pasti keharamannya
dan syubhat. Dan dalam hadis Nabi saw disebutkan, “Siapapun yang
melakukan perbuatan yang syubhat, berarti dia telah melakukan perbuatan haram”.
Artinya, bila terjadi percampuran antara yang haram dan halal, dalam satu
persoalan, maka persoalan itu haram hukumnya. Tidak ada satu pun alasan hukum
yang membenarkan untuk membunuh mereka.[75]
Lagi pula,
sanksi terhadap perbuatan kemungkaran/maksiat tidak harus dilakukan dengan
pembunuhan atau peledakan bom. Dan Rasulullah saw sudah melarang mengancam
orang lain tanpa pilih kasih, dan pelakunya diancam secara keras: “Ummatku
yang membangkang terhadap umatku yang lain, membunuh orang yang baik dan
orang yang jahat, tidak peduli dengan orang-orang beriman, dan tidak menepati
janjinya, maka mereka itu tidak termasuk golonganku” (HR Ahmad dan
Muslim). Dan ungkapan “tidak termasuk golonganku” dalam hadis itu
merupakan format kalimat yang berarti ancaman besar yang menunjukkan dosa
besar.[76]
|
5.9.
JIHAD OFENSIF DAN JIHAD DEFENSIF
Radikalisme: Umat Islam di
dunia sekarang ini selalu berada dalam posisi teraniya. Umat Islam di
Palestina melakukan jihad defensif melawan agresor Israel. Umat Islam di
Afganistan berjihad defensif menghadapi serangan membabi buta yang
dilancarkan pasukan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.
Bagi
mujahidin yang berpeluang pergi ke Afganistan, dipersilakan. Tapi, kalau
tidak berpeluang ke medan tempur, maka seorang Muslim harus memaksimalkan
potensi dirinya dan memanfaatkan setiap peluang untuk berjihad sesuai dengan
kemampuan di manapun dan kapanpun.
|
Radikalisme: Pengertian jihad
ofensif yang mulai dikembangkan di kalangan kelompok radikal memang sangat
longgar, dan konsekuensinya bisa sangat fatal. Gagasan ini yang juga diyakini
Imam Samudra cs.
Namun,
jihad ofensif ini berubah bentuk menjadi aksi teror tanpa pandang bulu. Dalam
kasus bom Bali I, meskipun konon sasaran operasi jihad didahului pengecekan
lapangan (survei target), namun tetap saja menciptakan teror yang luar biasa
dan korbannya pun tidak terbatas pada sasaran awal (yakni orang yang dianggap
musuh). Sebab, di antara para korban, terdapat banyak warga Muslim yang tidak
tahu menahu tentang konflik ideologis yang diusung oleh para anggota militan
dari satu kelompok radikal.
|
5.10.
JIHAD LOKAL DAN JIHAD GLOBAL
Apapun alasannya, harus
diakui bahwa kelompok-kelompok radikal di hampir semua negara Islam telah
berhasil memposisikan diri sebagai gerakan global, atau lebih tepatnya sukses
melakukan perlawanan pada skala global.
Radikalisme: Seperti
diketahui, Amerika dan sekutunya sejak 11 September 2001, melancarkan agenda
memerangi terorisme melalui slogan “war
on terror” di seluruh dunia, terutama di negara-negara Muslim yang
dianggap sebagai basis gerakan radikal, seperti Afganistan, Indonesia, Irak,
Iran, Mesir, Al Jazair, Maroko, Sudan, bahkan Saudi Arabia dan negara-negara
Teluk lainnya (Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Omman).
Kalau war on teror dilakukan secara global,
maka harus dilawan dengan jihad yang juga berskala global. Argumentasi lokal
jihad, dalam perang hanya di wilayah konflik perang tidak bisa lagi diterima.
Jihad
global ini kemudian difatwakan oleh Osama bin Laden: boleh membunuh warga
Amerika di manapun dan kapanpun. Artinya, di negara manapun di dunia ini,
pembunuhan itu dapat dilakukan.
|
Deradikalisasi: melawan war on terror ala Amerika dengan teror
lokal adalah pertarungan yang tidak seimbang, dan cenderung merupakan
kebijakan mengambil jalan pintas.
Dengan kata lain, melakukan pembalasan
yang tidak berimbang dengan terror yang dilakukan dengan argumentasi di
manapun bisa dilakukan adalah sebuah tindakan lari dari inti persoalan.
|
5.11. JIHAD
DAN IZIN ORANG TUA DAN DAN KEWAJIBAN MEMBAYAR UTANG
Radikalisme: dalam banyak kasus di Indonesia, sering
terjadi para tersangka teroris baru diketahui oleh pihak keluarganya ketika
ditangkap. Sebagian di antaranya sudah bertahun-tahun meninggalkan keluarga
(orang tua, anak-istri), lalu tiba-tiba foto dan namanya muncul di layar
televisi sebagai tersangka pelaku aksi kekerasan.
Salah satu alasannya karena dalam jihad fardhu ‘ain, seorang mujahid tidak harus meminta izin
kepada kedua orangtua. Posisinya seperti mau shalat, tidak perlu izin kedua
orang tua. Izin kedua orang hanya diwajibkan dalam jihad yang posisinya
hukumnya masih fardhu kifayah.
|
Deradikalisasi: Salah satu syarat penting jihad
adalah izin dari kedua orang tua dan juga izin dari orang yang memberi utang.
Syarat ini mengacu pada kaidah: mendahulukan yang lebih penting ketika
terdapat banyak kewajiban yang harus dilakukan pada waktu yang sama.
Maka, seorang Muslim tidak boleh pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang
tuanya. Seorang muslim yang sedang berutang juga tidak boleh pergi berjihad
tanpa izin dari orang yang berpiutang (yang memberi utang), kecuali bila ada
pihak ketiga yang menjamin utangnya. Sebab, meskipun mati syahid akan
menghapus segala dosa, namun tidak mampu menghapus utang. Rasulullah saw
bersabda, “Mati syahid menghapus segala dosa, kecuali utang” (HR
Muslim), kecuali utang orang yang mati syahid di tengah laut.[77]
Pernah
seorang sahabat mau pergi berjihad, untuk itu, dia meminta izin kepada
Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw bertanya, “Apakah kedua orang tuamu
masih hidup?” Orang itu menjawab: ya, kedua orang tuaku masih hidup.
Rasulullah mengatakan, “Berjihadlah untuk kedua orang tuamu” (muttafaq
‘alaihi), artinya berjihadlah dengan cara berbuat baik kepada kedua orang
tuamu.[78]
Dalam soal
utang, Rasulullah saw bersabda, “Jiwa setiap Muslim bergantung pada
utangnya, sampai dia melunasinya” (HR Tirmidzi, yang mengatakan ini hadis
hasan). Juga, pernah seorang sahabat meninggal dunia, lalu Rasulullah
saw memerintahkan saudara dan kerabatnya yang masih hidup, “Sungguh,
saudaramu ini terperangkap dengan utang, maka bayarkanlah utangnya itu! (hadis
shahih, diriwayatkan oleh Ahman bin Majah).[79]
Dan sungguh
sangat menyesalkan, di zaman modern, kita melihat sebagian Muslim pergi
berjihad, atau melakukan suatu operasi istisyhad di negara lain tanpa
izin dari kedua orang tuanya, bahkan kadang tanpa izin dari orang yang
berpiutang kepadanya (kreditor). Lebih dari itu, juga tanpa meninggalkan
biaya hidup untuk anggota keluarganya dan orang yang menjadi tanggungannya.
Tindakan seperti ini merupakan dosa. Sebab, boleh jadi, dia mati dalam
jihadnya, sementara belum bisa dipastikan apakah Allah swt mengampuni dosanya
atau tidak. Dan seperti diketahui, ampunan Tuhan bergantung pada
kehendak-Nya, “...Dan Allah mengampuni segala doa, kecuali syirik, sesuai dengan
kehendak-Nya.” (QS. An-Nisa’, ayat 48). Dalam hadis shahih, Rasulullah
saw bersabda, “Bahwa perbuatan baik seorang Muslim dihitung dengan
perbuatan yang terakhir dilakukan di dunia)”.[80]
Benar bahwa
ahli fiqhi berpendapat bahwa izin dari kedua orangtua hanya disyaratkan dalam
jihad yang bersifat fardu kifayah. Namun sebagian ahli fikhi
juga mengatakan bahwa bila seorang Muslim berjihad dalam posisi fardhu ain
(kewajiban individual), namun jihadnya itu akan membinasakan kedua
orangtuanya atau salah satu dari kedua orang tuanya, maka dia tidak boleh
pergi berjihad, dengan alasan bahwa ada orang lain yang bisa menggantikan
posisinya. Dalam perang Badr, Rasulullah saw mengizinkan Usman bin Affan
tidak ikut bertempur, dengan alasan akan merawat istrinya yang sakit, dan
secara logika, kedua orang tua lebih utama daripada istri.[81]
Imam
Syafi’i, dalam bukunya “Al-Umm”, mengatakan, “Seorang Muslim tidak
boleh pergi berjihad, bila khawatir keluarganya akan diserang musuh, ketika
sedang pergi berjihad”. Ketika terjadi Perang Al-Ahzab di Madinah,
Rasulullah saw mengumpulkan semua wanita dalam sebuah benteng, karena
khawatir akan diserang oleh musuh, yang sudah mengepung Kota Madinah. Maka
sungguh tidak benar, bila ada orang pergi berjihad tanpa menjamin keamanan
bagi keluarganya, dan/atau membiarkan anggota keluarganya menjadi sasaran
rentan dari serangan musuh.[82]
Mungkin ada
orang yang mengatakan bahwa argumentasi ini terbantahkan dengan hadis yang
menyebutkan, “Bahwa setan senantiasa menggoda manusia dengan berbagai cara”,
(Hadis shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i). Lanjutan hadis ini
menjelaskan bahwa bila seorang Muslim ingin pergi berjihad, maka setan akan
menggodanya dengan mengatakan, “Kamu pergi berperang, lalu kamu tewas,
lantas wanita (isterimu) akan dinikahi (orang lain), dan hartamu akan
dibagi-bagi” (Hadis). Namun agumentasi seperti ini adalah upaya
justifikasi, yang bukan pada tempatnya. Pernah Umar bin Khattab memerintahkan
semua orang untuk pergi berjihad, tapi Umar melihat sikap malas-malasan dari
umat Islam, dan akhirnya Umar bin Khattab menegaskan “Pergilah berjihad,
dan aku adalah kepala keluarga untuk semua, (artinya, akan menjamin keamanan
semua keluarga yang ditinggalkan)”, maka mereka pun bersemangat pergi
berjihad.[83]
Karena itu,
semua Muslim di dunia dihimbau agar tidak terpesona oleh retorika orang-orang
bodoh yang mengajak Anda untuk melakukan konfrontasi dan berperang melawan
musuh, tanpa persiapan yang matang dan berimbang. Tentu, orang-orang bodoh
itu akan membacakan ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengancam Muslim yang
tidak mau berjihad. Tindakan seperti ini, tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw atau sahabat Nabi. Jihad hanya wajib bila ada kemampuan. Dan
sebelum Hijrah, ketika umat Islam masih dalam posisi lemah, Rasulullah saw meminta
“Siapa yang mau membantu saya, sampai Allah menurunkan wahyu (perintah
selanjutnya). Permintaan Rasul ini mengacu pada tuntunan Allah yang
menyebutkan, “Katakanlah (wahai Muhammad): ya Tuhanku, masukkanlah aku
secara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku ke pintu yang benar, dan
anugerahkanlah kepadaku kekuatan yang menolong” (QS. Al-Isra’, ayat 80).
Padahal, kita tahu, Rasulullah saw adalah hamba yang senantiasa mendapatkan
dukungan langit dari Allah.[84]
Terhadap
para sahabat Nabi yang tidak mampu berjihad, Rasulullah saw hanya
menyampaikan firman Allah swt yang mengatakan, “Juga tidak berdosa
orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka
kendaraan, lalu kamu berkata: ‘aku tidak memperoleh kendaraan untuk
membawamu’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata
karena bersedih, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan ” (QS. At-Taubah, ayat 92).[85]
Dan Allah
swt telah mengatur sistem dan proses kehidupan di dunia ini berdasarkan hukum
sebab akibat, bukan berdasarkan logika mukjizat atau klenik. Benar, bahwa
sesuatu yang luar biasa bisa saja terjadi ketika sedang berjihad, tapi tidak
bisa dijadikan acuan utama dalam melakoni kehidupan yang normal. Dan proses
hukum sebab-akibat senantiasa bermanfaat selama tidak bertentangan dengan
takdir.[86]
|
5.12.
Jihad perorangan dan perimbangan
kekuatan
Sebagai
catatan, istilah jihad perorangan sekarang ini sebenarnya tidak terlalu tepat.
Sebab, dalam melakukan suatu operasi jihad berupa pengeboman, tidak mungkin
hanya dilakukan oleh satu orang mujahid, tapi paling tidak beberapa orang.
Dalam beberapa kasus aksi bom di Indonesia, umumnya melibatkan sekitar 15
sampai 20 orang.
Namun,
yang dimaksud dengan jihad perorangan adalah aksi individual pada puncak
operasi jihad, seperti yang dilakukan oleh seorang pelaku bom syahid.
Radikalisme:
Kelompok-kelompok Islam yang membolehkan jihad perorangan dalam memerangi
umat Kristiani dan Yahudi tanpa pandang bulu, mengacu pada dalil, “Maka
berperanglah kamu di jalan Allah, jangan terbebani sesuatu kecuali kewajiban
kamu sendiri,” (QS. An-Nisa’, ayat 84). Juga dalil tentang tindakan
seorang sahabat Nabi, Abu Bashir, yang tetap berjihad seorang diri, setelah
Perjanjian Hudaibiyah pada periode Makkah.[87]
|
Deradikalisasi: Sekali lagi,
justifikasi tersebut tidak mengacu pada kaidah penafsiran yang benar. Sebab,
dalil-dalil ini tidak bisa dijadian acuan untuk melakukan jihad perorangan.[88]
Firman
Allah swt “Maka berperanglah kamu di jalan Allah, jangan terbebani sesuatu
kecuali kewajiban kamu sendiri,” (QS. An-Nisa’, ayat 84), diwahyukan
setelah umat Islam memiliki wilayah kekuasaan dan wilayah perlindungan yang
dikontrol penuh di Madinah. Dalam kaitan ini, Allah swt berfirman, “Dan
ingatlah (wahai kaum Muhajirin), ketika kamu masih berjumlah sedikit dan
tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan
menculik kamu, lalu Allah memberi kamu tempat menetap, dan memperkuat
posisimu dengan pertolongan Allah, serta menganugerahi kamu rezki yang baik,
agar kamu bersyukur,” (QS. Al-Anfal, ayat 26).[89]
Artinya,
Allah tidak mewajibkan jihad perorangan ketika umat Islam masih berjumlah
sedikit dan tertindas di Makkah sebelum Hijrah. Sebab, seandainya jihad
perorangan itu wajib, tentu Allah sudah mewajibkan jihad pada periode Makkah,
dan setiap Muslim wajib berjihad tanpa peduli dengan keadaan dan
kemampuannya. Artinya, mewajibkan jihad perorangan dengan berdalil pada ayat
QS. An-Nisa’, ayat 84, adalah justifikasi yang tidak benar. Selain itu,
bahkan paska Hijrah dan setelah jihad telah diwajibkan, Rasulullah saw tidak
pernah berjihad sendirian. Lebih dari itu, Nabi Musa dan Harun as, tidak
berperang seorang diri, ketika umat Yahudi enggan berjihad. Allah berfirman,
“Mereka (Bani Israel) berkata: ‘Hai Musa, kami tidak akan pernah mau masuk
ke (Al-Quds/Jerusalem), selama mereka (musuh) berada di dalamnya, maka
pergilah kamu berdua bersama Tuhanmu, dan bertempurlah kamu berdua, sedangkan
kami hanya akan tetap duduk di sini saja’”....”Lalu Musa berkata: ‘Ya
Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku. Karena itu,
pisahkanlah antara kami berdua dengan orang-orang fasik itu’,” (QS.
Al-Maidah, ayat 24 – 25).[90]
Semua dalil
yang tidak membolehkan jihad perorangan sebenarnya mengacu pada tujuan utama
jihad, yakni menegakkan dan/atau memenangkan agama Allah. Sebab sulit
dibayangkan bahwa jihad yang cuma dilakukan oleh satu atau dua orang saja –
meskipun keduanya adalah Nabi – akan mampu merealisasikan tujuan utama jihad.
Karena itu, para Nabi tidak melakukannya. Lalu atas alasan apa, ada orang
perorangan dari kelompok kelompok jihd yang berjihad sendirian.[91]
Karena itu,
perintah jihad perorangan yang tercantum dalam ayat: “Maka berperanglah
kamu di jalan Allah, jangan terbebani sesuatu kecuali kewajiban kamu sendiri,”
(QS. An-Nisa’, ayat 84), hanya bertujuan memberikan dorongan berjihad. Dan
kalaupun jihad perorangan diperintahkan, maka hukumnya bukan wajib,
tapi sekedar mubah (dibolehkan). Sebab, seandainya jihad perorangan
wajib hukumnya, tentu Allah swt sudah mewajibkan jihad terhadap orang-orang
tertindas. Seandainya jihad perorangan wajib, tentu Allah swt tidak akan
membolehkan tindakan mengisolasi diri; atau menyembunyikan keimanan; atau
memaafkan; atau bersabar ketika tertindas; atau melakukan perjanjian damai
dengan musuh.[92]
Kesimpulan
bahwa jihad perorangan hanya sebatas mubah (dibolehkan) dan bukan
wajib, harus ditegaskan bahwa hukum boleh-nya pun harus memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:
Orang yang
memiliki dan tunduk pada seorang amir atau imam (pemimpin),
maka dia tidak boleh melakukan sesuatu kecuali dengan izin amir dan
pemimpinnya “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, bila mereka sedang bersama-sama (Rasulullah) mengurus
suatu persoalan, mereka tidak boleh menginggalkan (Rasulullah) sebelum
memiinta izin kepadanya...” (QS. An-Nur, ayat 62). Rasulullah saw juga
bersabda, “Barang siapa yang patuh kepada amir, berarti dia telah
mentaatiku. Dan barang siapa yang membangkang kepada amirnya, berarti dia
telah membangkang kepadaku” (Hadis muttafaq ‘alaihi).[93]
Karena itu,
para ulama fikhi mengatakan, “Persoalan jihad adalah urusan yang
diserahkan sepenuhnya kepada imam (pemimpin dan penguasa)”. Hal ini
dijelaskan antara lain Ibnu Quddamah dalam bukunya “Al-Mugni”. Boleh
saja terjadi, seorang imam/sultan menugaskan orang perorangan untuk melakukan
tugas tertentu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ketika “mengutus
Al-Zubair seorang diri untuk melakukan pengintaian”, (HR Bukhari). Juga,
dalam perang Al-Ahzab, Rasulullah saw memerintahkan Hudzaifah bin al-Nu’man
untuk mencari tahu informasi tentang musuh, lalu Hudzaifah bin al-Nu’man
menyusup ke tengah barisan musuh. Kalau kemudian ada seorang Muslim, yang
punya pemimpin dan sudah menyatakan baiat, lalu tanpa seizin pemimpinnya, dia
berinisiatif sendiri untuk berjihad, dengan melakukan operasi yang justru
membahayakan umat Islam dan bisa memprovokasi pihak musuh untuk menghancurkan
Negara Islam, berarti dia telah mengkhianati baiat kepada amir
(pemimpin)-nya. Dia juga telah menentang kaidah fikhi yang menegaskan bahwa “Persoalan
jihad adalah urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada imam (pemimpin dan
penguasa)”. Perbuatannya adalah dosa besar yang membinasakan. Dia telah
berkhianat dan menipu, lalu lari sambil membiarkan umat Islam lainnya menanggung
akibat perbuatannya. Kalau mau, saya bisa saja menyebutkan nama-nama orang
yang bertindak seperti ini.[94]
Jihad
perorangan hanya bisa dilakukan bila didasari keyakinan bahwa aksi jihadnya
itu akan berdampak positif bagi Islam dan umat Islam. Sebab, inilah inti dan
tujuan utama jihad.[95]
Suatu perbuatan tidak boleh berbahaya
dan/atau membayahakan
Jihad
perorangan tidak boleh justeru membahayakan agama Islam dan umat Islam,
berdasarkan hadis Nabi: “لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ” (bahwa suatu perbuatan
tidak boleh berbahaya dan/atau membayahakan). Juga kaidah fikhi yang
mengatakan, “mencegah mudarat harus lebih diutamakan dari upaya
mendapatkan maslahat”. Juga karena “mudharat/kerusakan dapat dijadikan
alasan untuk mengharamkan suatu perbuatan”. Karena itu, seorang Muslim
tidak boleh melakukan suatu perbuatan, yang memberikan manfaat bagi dirinya,
tapi pada saat yang sama, perbutan itu juga membahayakan umat Islam lainnya.
Rasulullah saw bersabda, “orang-orang Islam seperti satu sosok laki-laki”.
Dan di hadis lain, Rasulullah saw bersabda, “Dalam hal saling mencintai
dan mengasihi, orang-orang Islam diumpamakan seperti satu sosok tubuh,”
(Hadis muttafaq ‘alaihi).[96]
Artinya,
dalam setiap tindakan dan perbuatannya, setiap Muslim wajib memperhatikan
kepentingan umat Islam lainnya. Bila tidak, berarti dia bukan dari kelompok
Muslim yang diumpakan satu sosok tubuh manusia. Karena itu, seorang Muslim
yang melakukan serangan dan pembunuhan dengan dalih untuk berjihad, kemudian
lari bersembunyi, sambil membiarkan anggota keluarganya dan pengikutnya
menanggung akibat perbuatannya: teracam dibunuh, dipenjara, hidup sengsara
dan kelaparan tanpa perlindungan, dan menjadi sasaran balas dendam dari pihak
musuh, semua aksi itu sama sekali bukan jihad, bukan juga tindakan jantan.
Bahkan orang-orang di zaman Jahiliyah (sebelum Islm) sekalipun akan
merasa malu melakukannya. Sebab, seorang di zaman Jahiliyah, akan melindungi
kabilah dan anggota keluarganya, meskipun dengan resiko mati.[97]
Tapi,
sekarang ini, kita bisa melihat seorang Muslim yang meninggalkan dan
membiarkan anggota keluarga dan pengikutnya menjadi sasaran pembunuhan,
rentan dipenjara dan hidup sengsara. Kemudian, tiba-tiba dan tanpa merasa
malu sedikitpun, mengangkat slogan perjuangan umat Islam seperti
memperjuangkan masalah Palestina, yang dijadikan barang dagangan oleh mereka
yang mengklaim kepahlawanan dan kepempinan melalui berbagai media.[98]
Sebagian
yang lain memboyong keluarganya ke tempat perlindungan aman, lalu membiarkan
umat Islam menjadi sasaran rentan oleh aksi balas dendam dari pihak musuh.
Sekali lagi, kalau mau, saya bisa saja menyebutkan beberapa nama.[99]
Tidak boleh
melakukan Jihad yang melampau batas
Jihad
perorangan tidak boleh mengandung tindakan pelanggaran yang malampaui batas (العدوان),
yang dilarang oleh hukum Islam, seperti membunuh orang yang tidak boleh
dibunuh, baik Muslim ataupun non-Muslim, atau mengambil harta secara tidak
sah.[100]
Pertempuran
yang dilakukan dalam jihad perorangan juga tidak boleh mengandung unsur
pengkhianatan terhadap suatu perjanjian antara umat Islam dengan
orang/kelompok yang diperangi. Rasulullah saw bersabda, “Dalam agama kami
(Islam), tidak ada tempat tempat bagi pengkhianatan” (hadis muttafaq
‘alaihi, yang disampaikan Rasulullah saw ketika Perjanjian Hudaibiyah).[101]
Kalau
dicermati, semua syarat untuk jihad perorangan di atas, memang telah
terpenuhi ketika seorang sahabat Nabi, Abu Bashir melakukan jihad perorangan
di Makkah setelah Perjanjian Hudaibiyah. Sebab, ketika itu, Abu Bashir
memiliki wilayah aman (qaidah aminah) sendiri. Dan Abu Bashir sendiri tidak dalam posisi
di bawah garis komando langsung Rasulullah saw. Aksi jihad Abu Bashir juga
tidak membahayakan umat Islam lainnya. Abu Bashir juga tidak terikat dengan
suatu perjanjian dengan pihak yang diperanginya.[102]
Lagi
pula, pada awalnya, Abu Bashir memang berjihad sendirian, tapi kemudian ikut
bergabung beberapa umat Islam lainnya yang tertindas dan lari dari Makkah
setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kelompok Abu Bashir juga tidak memerangi
pasukan yang lebih unggul, dari segi jumlah prajurit dan peralatan perang.
Mereka hanya bertempur melawan prajurit-prajurit Quraisy di Makkah, dan
ketika itu, orang kafir Makkah belum memiliki pesawat-pesawat tempur yang
bisa membumihanguskan setiap titik perlindungan komunitas Muslim.[103]
Lebih dari
itu, kelompok Abu Bashir tidak pernah masuk ke Makkah untuk melakukan operasi
jihad. Dan begitu Abu Bashir dan kelompoknya diizinkan oleh kaum kafir Makkah
untuk bergabung dan menyusul umat Islam ke Madinah (yang nota bene
bertentangan dengan salah satu pasal Perjanjian Hudaibiyah), Kelompok Abu
Bashir langsung menghentikan serangan-serangan terhadap kaum kafir Makkah.
Sebab tidak lagi bermanfaat banyak untuk merealisasikan tujuan utama jihad:
menegakkan agama Allah.[104]
|
Radikalisme: Jihad
perorangan juga berdalih ayat “... Kadang terjadi, kelompok yang kecil
bisa mengalahkan kelompok yang besar jumlahnya, dengan izin Allah... ”(QS.
Al-Baqarah, ayat 249). Juga ayat “Untuk menghadapi musuh-musuhmu, siapkanlah
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...” (QS. Al-Anfal, ayat 60). Mereka
juga berdalih, misalnya, seorang Muslim yang hanya memegang sebilah pisau
boleh bertempur melawan musuh yang berjumlah banyak dan dilengkapi kendaraan
tempur berupa tank.[105]
|
Deradikalisasi: Kalau diperhatikan, ayat “... Kadang terjadi, kelompok
yang kecil bisa mengalahkan kelompok yang besar jumlahnya, dengan izin
Allah... ”(QS. Al-Baqarah, ayat 249) itu diawali dengan kata kam (berarti: berapa atau beberapa).
Dalam uslub (ungkapan) Bahasa Arab,
kata kam yang berada di awal
kalimat sering diartikan kadang-kadang,
boleh saja atau mungkin terjadi.
Dengan demikian, karena tidak ada kepastian, maka ayat ini tidak bisa
dijadikan acuan utama untuk melakukan aksi perorangan atau kelompok kecil.
Selain itu, hukum syariat Islam, tidak boleh hanya mengacu pada satu
dalil saja, tanpa melihat dalil lain yang boleh jadi membatasi dan/atau
mengkhususkannya dalam persoalan yang sama. Karena itu, Allah saw mewajibkan
bertanya kepada orang yang lebih ahli di bidangnya, “... Maka bertanyalah
kepada seorang ahli pengetahuan, bila kamu tidak mengetahui” (QS.
An-Nahl, ayat 43). Rasulullah saw menjelaskan bahwa fatwa orang bodoh akan
mengantar ke jurang kesesatan, ketika “masyarakat mengangkat orang bodoh
sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu ditanya dalam berbagai persoalan, lalu
dia berfatwa tanpa pengetahuan, akhirnya dia menjadi sesat dan juga
menyesatkan orang lain” (hadis muttafaq ‘alaihi).[106]
Dalam
berfatwa, tidak boleh hanya mengacu pada satu dalil, tanpa memperhatikan
dalil-dalil lain yang berbicara dalam persoalan yang sama. Sebagai contoh,
seorang ulama berfatwa bahwa masa iddah (menunggu) bagi wanita yang
ditalak adalah tiga kali quru’ (haid dan/atau suci), dengan mengacu
pada ayat “Dan wanita-wanita yang ditalak wajib menunggu sampai tiga
kali quru’ (suci atau haid)” (QS.
Al-Baqarah, ayat 228). Meskipun dia menjawab pertanyaan berdasarkan ayat
Quran, namun fatwa seperti ini bisa keliru dan menyesatkan, bila tidak
diawali dengan pengetahuan tentang keadaan orang yang bertanya. Sebab, masa iddah
bisa bervariasi berdasarkan kondisi riil wanita yang ditalak. Karena wanita
yang ditalak dan belum disetubuhi, tidak wajib menunggu masa iddah-nya,
berdasarkan ayat “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudia kamu ceraikan mereka, sebelum kamu mencampurinya, maka para wanita
ita tidak harus menunggu iddah...” (QS. Al-Ahzab, ayat 49); Sementara
wanita berusia sangat muda dan/atau wanita yang monopause, masa iddah-nya
hanya tiga bulan; Wanita yang ditalak ketika sedang hamil, masa iddah-nya
habis begitu dia melahirkan anaknya, berdasarkan ayat “Dan
perempuan-perempuan yang tidak lagi haid (monopause), jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan, begitu pula
wanita yang belum haid (belum memasuki usia haid). Sementara wanita hamil,
masa iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya...” (QS. At-Thalaq, ayat
4); Wanita yang berhijrah ke wilayah Muslim dan meninggalkan suaminya di
wilayah kafir, masa iddah-nya adalah hanya satu kali haid, berdasarkan
hadis yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas; Istri yang berasal dari hamba sahaya, masa iddah-nya dua kali
haid; Wanita yang masih hamba sahaya, masa iddah-nya hanya satu kali
haid. Artinya, dalam persoalan masa iddah bagi wanita yang ditalak, tidak
boleh berfatwa dengan hanya mengacu pada satu dalil. Begitu juga dalam
persoalan jihad perorangan.[107]
Perimbangan kekuatan
Dalam
berjihad, harus ada batas minimal perimbangan kekuatan (jumlah prajurit dan
peralatan), antara umat Islam dan musuh. Bila perimbangan kekuatan ini sangat
timpang, misalnya, pihak musuh jauh lebih kuat dibanding umat Islam, maka
umat Islam tidak wajib bertahan dalam pertempuran jihad, berdasarkan beberapa
ayat di akhir surat Al-Ahzab. Dalam hal inilah, sahabat Nabi, Ibnu Abbas
mengatakan, “Seorang Muslim yang kabur dari pertempuran melawan dua orang
musuh, dikategorikan kabur dari kewajiban berjihad (berdosa). Sementara
seorang Muslim yang kabur dari pertempuran ketika melawan tiga orang musuh,
tidak dianggap lari dari kewajiban berjihad (tidak berdosa)”[108]..[109]
Menurut
para ulama fikhi, masalah perimbangan kekuatan ini bukan hanya berkaitan
dengan jumlah prajurit, tapi juga mencakup hal lain seperti peralatan. Sebab illat
(pertimbangan hukum) yang meringankan kewajiban jihad bersifat umum. Allah
swt berfirman, “Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu, dan Allah
mengetahu bahwa pada dirimu ada kelemahan...” (QS. Al-Anfal, ayat 66).
Keringanan berjihad di ayat ini bersifat umum, dan mengacu pada prinsip bahwa
kehidupan harus dilakoni berdasarkan prinsip sebab-akibat, bukan berdasarkan
mu’jizat apalagi klenik. Tentu saja, harus diakui bahwa boleh saja, dalam
pertempuran yang tidak imbang, terjadi hal-hal yang luar biasa. Tapi sesuatu
yang luar biasa itu tidak bisa dijadikan acuan utama dalam melakoni kehidupan
normal. Toh, periode mu’jizat sudah berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw.[110]
Singkat
kata, dalam menjalani kehidupan normal, termasuk dalam bertempur, keputusan
harus diambil berdasarkan hukum sebab-akibat, agar orang bisa melakukan suatu
perbuatan dengan percaya diri dan punya alasan rasional untuk ikut
berpartisipasi membangun di muka bumi. Pepatah mengatakan, yang
bersungguh-sungguh akan berhasil; dan orang yang menanam, pada
akhirnya, akan memetik hasilnya. Dalam hal ini, Ibnu al-Qayyim
mengatakan, bahwa ketika melakukan perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah
dan juga dalam berbagai pertempuran yang dilakukannya, Rasulullah saw
senantiasa mengambil keputusan dengan mengacu pada hukum sebab-akibat. Dalam
perang Uhud, misalnya, Rasulullah saw sampai mengenakan dua rompi perang
(dikenakan secara berlapis). Padahal Rasulullah saw adalah orang yang dibantu
dengan wahyu dan malaikat. Dan boleh dikatakan, aksi jihad yang dilakukan
beberapa orang mujahidin yang memaksakan diri melawan barisan pasukan musuh
yang lebih kuat, sama sekali bukan tindakan yang mengacu pada hukum
sebab-akibat, dan juga bukan tindakan yang memperhitungkan perimbangan
kekuatan.[111]
Keputusan perang dan fikhi
Keputusan
perang dan berjihad, tidak bolah lagi hanya mengacu hanya pada dalil-dalil
fikhi, tapi yang paling penting adalah ilmu kemiliteran dan pengalaman
bertempur. Karena itu, Imam Ahmad bin Hanbali berfatwa bahwa “Bertempur di
bawah komando seorang panglima yang jahat tapi kuat dan ahli, lebih baik
daripada bertempur bersama seorang amir yang lemah”. Yang dimaksud
kekuatan di sini pengalaman dan ilmu kemiliteran. Imam Ahmad melanjutkan, “kejahatannya
toh untuk dirinya sendiri, sementara kekuatan dan keahliannya akan
menguntungkan umat Islam”. Dan pada akhirnya, tujuan utama jihad adalah
menegakkan agama Allah. Karena pertimbangan keahlian bertempur ini pulalah,
sehingga Rasulullah saw lebih memilih mengangkat panglima perang yang
memiliki keahlian bertempur, seperti Amru bin al-‘Ash dan Khalid bin Walid.
Bukan berdasarkan senioritas atau berdasarkan sahabat yang lebih dulu masuk
Islam atau yang lebih tinggi ilmu keislamannya.[112]
Perlu
memperhitungkan perimbangan kekuatan antara pasukan Muslim dan pasukan musuh.
Karena itulah, Khalid bin Walid tidak berdosa ketika memutuskan menarik
mundur pasukan umat Islam dalam Perang Mu’tah, setelah tiga panglima perang
tewas dalam pertempuran. Dalam perang ini, jumlah pasukan Romawi sebanyak
200.000 (dua ratus ribu prajurit). Sementara pasukan Islam hanya berkekuatan
3.000 (tiga ribu) prajurit. Perbandingannya, 3 : 200. Dan Rasulullah saw
menilai keputusan penaarikan mundur pasukan yang dilakukan oleh Khalid bin
Walid sebagai al-fathu (kemenangan/penaklukan), dalam pengertian bahwa
dia telah menyelamatkan pasukan Islam dari kehancuran dan kebinasaan. Dalam
kasus inilah, Allah swt mewahuukan ayat “Dan untuk menghadapi
musuh-musuhmu, persiapkanlah kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...”
(QS. Al-Anfal, ayat 60).[113]
Seandainya
benar bahwa jihad diwajibkan meskipun tidak ada perimbangan kekuatan, atau
seandainya jihad bisa dilakukan hanya dengan persiapan tempur seadanya, pasti
Allah swt sudah mewajibkan jihad kepada umat Islam yang masih lemah dan
tertindas ketika masih berada Makkah.[114]
Dan
sebelumnya sudah disinggung bahwa tidak masuk akal, seorang pemuda Muslim
yang baik dan taat hari ini, tiba-tiba, hanya dalam beberapa tahun, berubah
menjadi seorang mufti dan sekaligus jenderal perang. Allah mengasihi seorang
hamba yang menyadari kadar kemampuan dirinya. Dan sungguh tidak pantas bila
seorang Muslim memaksakan diri menanggung suatu bahaya yang di luar batas
kemampuannya. Padahal, secara hukum, tidak wajib mengorbankan seorang Muslim
dalam persoalan yang tidak bermanfaat. Para ulama sepakat, seorang muslim tidak
bisa dibebani tugas yang di luar batas kemampuannya. Kalau seseorang tidak
memiliki kapasitas ilmu yang dapat mengarahkan segala perbuatannya, cukuplah
dia memiliki akal yang bisa menuntunnya berbuat rasional.[115]
Dan
sekarang ini, ada kelompok Islam yang awalnya bertempur, lalu lari karena
tidak ada perimbangan kekuatan, dan membiarkan keluarganya dan teman-temannya
menjadi sasaran empuk tindakan pembalasan dari pihak musuh. Dan anehnya,
mereka tetap saja memprovokasi umat Islam lainnya – yang tidak lemah dan
tidak memiliki kekuatan – untuk bertahan menghadapi musuh, meskipun diyakini
tidak ada perimbangan kekuatan. Artinya mereka menyuruh orang lain melakukan
sesuatu, yang tidak sanggup dilakukannya sendiri. Dan Allah swt mencela orang
yang berbuat demikian, “Apakah kamu menyuruh orang lain untuk berbuat
baik, sementara kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca ayat-ayat
Quran. Apakah kamu tidak berakal?” (QS. Al-Baqarah, ayat 44). Di ayat
lain, Allah bahkan mengancam, “Allah akan sangat murka, bila kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan,” (QS. Ash-Shaff, ayat 3).[116]
Bukan itu
saja, mereka bahkan telah berupaya bernegosiasi dengan musuh secara
diam-diam, sementara teman-temannya terus digiring untuk bertempur, agar
tetap memiliki posisi tawar dalam proses negosiasi. Artinya, ada orang yang
ingin berdamai dengan musuh di kamar tertutup, jauh dari publikasi media,
dengan tujuan menjaga air muka dan harga diri di mata pengikut dan
simpatisannya.[117]
Karena
itu, para pemuda Muslim di berbagai negara Muslim, dihimbau agar tidak
terpesona dengan pahlawan internet dan pemimpin mikrofon dan pedagang slogan
yang notabene telah menjadi kelompok yang paling banyak mengirim
teman-temannya ke liang kuburan dan juga ke sel-sel penjara. Kalau mau, saya
bisa saja menyebutkan beberapa nama di sini. Maka pemuda-pemuda Muslim
dianjurkan mempelajari agamanya secara baik, agar tidak gampang menjadi
korban provokasi oleh orang yang berkoar-koar dengan slogan-slogan yang
menipu.[118]
|
5.13.
KORBAN
SIPIL DAN KEWAJIBAN MEMBAYAR DIYAT (TEBUSAN) KEPADA KELUARGA KORBAN
Salah
satu persoalan krusial dalam aksi-aksi teror bom adalah jatuhnya korban sipil,
baik Muslim ataupun non-Muslim. Seperti para pegawai di tempat yang menjadi
target pengeboman.
Radikalisme: korban tewas dari
warga sipil yang tidak berdosa dalam sebuah aksi bom, dapat dikategorikan
sebagai collateral damage (korban
sampingan dan/atau korban tambahan) yang memang tidak terelakkan dalam suatu
perang. Istilah collateral damage
sebenarnya justru berasal dari literatur barat, yang diajarkan di
akademi-akademi militer.
|
Deradikalisasi: Benar, bahwa
istilah collateral damage berasal
dari literatur Barat. Tapi, istilah itu hanya cocok di medan pertempuran atau
kondisi perang antara dua pasukan yang sedang bertempur. Sementara aksi-aksi
bom bunuh dilakukan di wilayah publik (hotel, cafe, restoran dll). Bukan di
medan perang.
|
Radikalisme: Jihad bukan hanya
untuk defensif, tapi juga harus ofensif. Kesimpulan ini disari dari sebuah
ungkapan yang menegaskan bahwa The best
form of defence is attack. (pertahanan paling baik adalah menyerang).
Artinya, kalau jihad memang untuk bertahan, maka jihad yang paling baik
adalah jihad menyerang (ofensif). Sebab, jihad harus difungsikan untuk
menghancurkan segala sesuatu yang menghalangi kemajuan Islam dan ummat Islam.
Selain itu, jihad juga tidak mengenal batas wilayah: orang Indonesia bisa
berjihad di Filipina atau Afganistan, sebaliknya warga Malaysia berjihad di
Indonesia. Dengan mengacu pada buku Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fatawa vol.28, Abdullah Azzam mengatakan antara lain: “hukum jihad adalah wajib bagi setiap
Muslim, Bahkan kewajiban pertama setelah tauhid (beriman) adalah melawan
musuh yang agressor... Bila tidak mungkin melawan kafir tanpa membunuh orang
Islam, maka pembunuhan (orang Islam)
itu dibolehkan...”.
|
Deradikalisasi: klasifikasi
antara warga sipil dan combatan merupakan klasifikasi modern terhadap
warga/penduduk suatu negara. Defenisi warga sipil di negara-negara non Muslim
adalah warga yang non-combatan. Sementara defenisi warga sipil di
negara-negara Muslim adalah masyarakat umum.[119]
Memang ada perbedaan pendapat tentang
status pasukan cadangan yang sedang tidak bertugas. Di beberapa negara,
misalnya Israel dan Mesir, peraturan pasukan cadangan yang direkrut melalui
sistem wajib militer memang nyaris menyerupai pasukan reguler. Sebab,
sewaktu-waktu mereka dapat dipanggil bertugas.
Persoalannya, apakah pasukan cadangan yang
sedang tidak bertugas dapat dikategorikan sebagai bagian dari combatan
atau tidak?
Secara internasional, pasukan cadangan
yang tidak bertugas berarti kembali ke posisi sipil, dan mereka kembali
melakoni kegiatan/pekerjaan rutinnya. Artinya, status militer dan combatan
itu hanya melekat ketika sedang bertugas.
Dan point penting dalam soal korban tewas
sipil ini adalah pembayaran tebusan. Berdasarkan hukum pembunuhan dalam
Islam, setiap korban tewas harus ditebus, dengan memberikan diyat
(tebusan) kepada anggota keluarga atau ahli warisnya.
|
Radikalisme: Sebagian umat
Islam berpendapat bahwa kewajiban membayar diyat (tebusan/ganti rugi)
kepada wali korban (keluarga korban)
terbantahkan oleh hukum yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban membayar
ganti rugi atas kematian seorang Muslim dalam suatu pertempuran yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam. Dalilnya, kesepakatan para sahabat Nabi
yang tidak mewajibkan membayar tebusan bagi seorang Muslim yang tewas dalam
pertempuran menumpas kelompok pembangkang (bughat), seperti disebutkan
oleh Abu Ya’la dan Al-Mawardi dalam buku “Al-Ahkam al-Sulthaniyah”.[120]
|
Deradikalisasi: Justifikasi ini
sungguh tidak benar dan tidak pada tempatnya. Membayar diyat
(tebusan/ganti rugi) memang tidak diwajibkan atas korban tewas dalam
pertempuran antara dua kelompok (pasukan keamanan negara dengan kelompok
pembangkang/pemberontak). Namun aksi pembunuhan yang dilancarkan oleh satu
pihak terhadap orang lain, melalui aksi peledakan bom yang sebagian korbannya
adalah warga sipil Muslim dan non-combatan, yang tidak diberikan
peringatan sebelum bom meledak agar bisa menyelamatkan diri, dan juga
mengakibatkan kerusakan properti, semua ini harus dibayar ganti ruginya.
Sebab yang terjadi di sini bukan pertempuran, tapi serangan dari satu pihak.[121]
Benar, ada
hadis Nabi yang mengatakan bahwa korban tewas dalam pertempuran “akan
dibangkitkan pada hari kiamat sesuai dengan niatnya (ketika tewas)”
(hadis muttafaq ‘alaihi). Namun, hadis ini hanya berlaku di akhirat,
dan tidak menggugurkan hak keluarga korban untuk mendapatkan diyat
(tebusan/ganti rugi).[122]
Kalau
Rasulullah saw saja masih membayar diyat (tebusan/ganti rugi) untuk
korban tewas dari orang kafir – yang telah menyatakan diri masuk Islam, yang
memang tidak ikut bertempur dalam perang – seperti orang yang dibunuh oleh
Usamah dan Khalid bin Walid), lalu bagaimana hukumnya membunuh orang yang
memang tidak berniat bertempur. Dan mereka ini adalah kelompok orang yang majhul
al-hal (identitas keislamannya tidak diketahui), dan karena itu, harus
diteliti lebih dulu sebelum diperangi. Karena itu, membunuh mereka ini pasti
diwajibkan membayar diyat (tebusan/ganti rugi). Bila tidak, beban
ganti rugi itu akan terus menggantung di leher pelakunya sampai hari kiamat.[123]
Menurut
hukum Islam, dampak setiap perbuatan harus dipertanggungjawabkan. Sebab, sesuatu
yang mengantar kepada kerusakan, berarti sesuatu itu adalah juga kerusakan.
Dan kerusakan adalah perbuatan haram, maka akibatnya pun haram, meskipun
dilakukan dengan niat baik (Lihat Imam Al-Syathibi, dalam “Al-Muwafaqat”
jilid 2). Lebih tegasnya, setiap orang yang melakukan perbuatan yang
merugikan/membahayakan orang lain yang semestinya dilindungi, maka dia harus
membayar ganti rugi atas kerusakan yang timbul akibat perbuatan itu, meskipun
perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa. Sebab, ada kaidah yang
mengatakan, “keterpaksaan melakukan sesuatu, tidak menggugurkan hak orang
lain” (disebutkan oleh Izzuddin bin Abdulsalam, dalam bukunya “Qawaid
al-Ahkam”; dan As-Sayuthi dalam buku “Al-Asybahu wa al-Nazhair”;
dan Ibnu Rajab yang bermazhab Hanbali dalam buku “al-Qawaid”).[124]
Dan ganti
rugi di sini bisa berupa diyat (ganti rugi jiwa yang mati, anggota
badan yang rusak/cacat) atau ganti rugi dengan benda/barang yang persis sama
atau berdasarkan nilai barang yang dirusak. Kalau dia bisa lari dari
kewajiban mengganti kerugian di dunia, maka kewajiban ini akan terus
menggantung di lehernya sampai hari kiamat. Rasulullah saw bersabda, “Di
hari kiamat nanti, kalian akan menunaikan amanah kepada orang yang berhak
(mengganti kerugian)”. Dan juga hadis yang menjelaskan tentang “Orang
yang bangkrut di akhirat kelak”. Tapi, menunaikan hak (mengganti
kerugian) orang lain di hari kiamat akan berlangsung dengan pola trade-off
antara amal baik dengan amal jahat. Artinya, setiap amal jahat dihapus
setelah ditebus dengan amal baik yang setara.[125]
Dan
Rasulullah saw pernah membayar diyat (tebusan/ganti rugi) korban tewas
yang dibunuh secara salah oleh Usamah bin Yazid. Rasulullah saw juga pernah
membayar diyat (tebusan/ganti rugi) korban tewas dari anggota kabilah
Bani Khudzaimah, yang dibunuh secara salah oleh Khalid bin Walid. Dalam hal
inilah, Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah, kepada-Mu, saya memohon
pemutusan hubungan dengan perbuatan Khalid bin Walid” (HR Bukhari).[126]
Artinya,
faktor kesalahan dalam membunuh tidak menggugurkan hak orang lain (korban dan
keluarga korban) untuk mendapat diyat (ganti rugi). Bahkan dalam
persoalan membunuh seorang Muslim yang dijadikan perisai manusia oleh musuh
dalam pertempuran, masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama
berpendapat bahwa tetap harus dibayar diyat (ganti rugi) atas
kematiannya.[127]
Dan nilai diyat
(ganti rugi/tebusan) untuk korban tewas seorang laki-laki merdeka (bukan
hamba), baik anak-anak maupun orang tua pikun, sebesar 4,25 (empat
seperempat) kilogram emas murni, atau sesuai dengan nilai ketika pembayaran
dilakukan. Ini berdasarkan hukum Islam yang mengatakan, nilai diyat adalah 1.000 (seribu) Dinar
Emas. Dan satu dinar = 4,25 gram (4,25 gram x 1.000 = 4.250 gram). Dengan
asumsi harga emas sebesar Rp400.000 per gram, berarti setara dengan Rp1,7
miliar untuk setiap korban tewas laki-laki). Adapun nilai diyat untuk
korban tewas wanita Muslimah adalah separuh dari nilai diyat laki-laki, yakni 2,125 kilogram emas (sekitar
Rp850.000.000).[128]
|
[1] BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Tersangka a/n Imam Samudra, 2002, yang
dikutip Asep Adisaputa, “Imam
Samudra Berjihad” Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 56.
[2] Dokumen “PEDOMAN UMUM PERJUANGAN
JAMAAH ISLAMIYAH (PUPJI)”, hlm 37–40.
[3] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[4] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[5] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[6] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[7] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[8] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[9] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[10] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[11] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[12] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[13] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[19] Sayyid Imam, “وثيقة ترشيد
العمل الجهادي في مصر والعالم (Document of Right Guidance for Jihad Activity in Egypt and
the World / Dokumen untuk mengarahkan praktek jihad di Mesir dan Dunia)”,
Maret 2007, Bab 6.
[20] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[21] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[22] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[23] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[24] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[25] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[26] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[27] Loc.cit, Wawancara Abu
Farhan.
[30] Lihat Wahbah Zuhaili, Al
Fiqhu-l-Islami Wa Adillatuhu, Bab Qawaidu-l-Jihad.
[31] Disadur dari makalah Yusuf Al-Qardhawi, “Legalitas Hukum Syariat atas Operasi
Syahadah di Wilayah Palestina”, dalam Tabloid Mingguan PBNU, WARTA, edisi No. 02/thn XIX/1-15 Oktober
2004.
[32] Loc.cit, Sayyid Imam, Bab 12.
[33] Loc.cit, Sayyid Imam, Bab 12.
[34] Muhammad Husain Al Qahthani, “Fatwa-Fatwa tentang Pengeboman”,
Pustaka Al-Inabah, Bogor, Cet. I, Februari 2006, 120-122.
[36] Ibid, Imam Samudra, hlm 163.
[37] Ibid, Imam Samudra, hlm 130.
[38] Ibid, Imam Samudra, hlm 116.
[39] Wawancara Imam Samudra, 2 Maret 2002, yang dikutip Asep Adisaputa, “Imam
Samudra Berjihad” Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 81.
[40] Ibid, Wawancara Imam Samudra di Polda Bali, 2 Maret 2002, yang dikutip
Asep Adisaputa, “Imam Samudra
Berjihad” Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 81.
[41] BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Tersangka a/n Imam Samudra, oleh
Penyidik Polda Bali, 6 Februari 2003, yang dikutip Asep Adisaputa, “Imam Samudra Berjihad”
Grafika Indah, Jakarta, Cet. I, Februari 2006, hlm 80.
[42] Loc.cit, Sayyid Imam, Bab 9.
[43] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[44] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[45] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[46] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[47] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[48] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[49] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[50] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[51] Ibid, Dokumen PUPJI, hlm
37–40.
[52] Opcit, Sayyid Imam, Bab 9.
[53] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[54] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[55] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[56] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[57] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[58] Menurut “Al Quran dan Terjemahannya”, terbitan Departemen Agama, ayat
ini diterjemahkan “jadilah orang yang pemaaf”.
[59] Opcit, Sayyid Imam, Bab 9.
[60] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[61] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[62] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[63] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[64] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[65] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[66] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[67] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[68] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[69] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[70] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[71] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[72] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[73] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[74] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[75] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[76] Ibid, Sayyid Imam, Bab 9.
[77] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[78] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[79] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[80] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[81] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[82] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[83] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[84] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[85] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[86] Ibid, Sayyid Imam, Bab 4.
[87] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[88] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[89] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[90] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[91] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[92] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[93] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[94] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[95] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[96] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[97] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[98] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[99] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[100] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[101] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[102] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[103] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[104] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[105] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[106] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[107] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[108] Artinya, perimbangan minimal kekuatan dalam hal jumlah prajurit adalah
1 : 2 (musuh). Kalau perimbangannya 1 : 3 (musuh), maka tidak wajib bertahan
dalam pertempuran jihad.
[109] Opcit, Sayyid Imam, Bab 12.
[110] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[111] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[112] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[113] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[114] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[115] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[116] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[117] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[118] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[119] Ibid, Sayyid Imam, Bab 6.
[120] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[121] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[122] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[123] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[124] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[125] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[126] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[127] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
[128] Ibid, Sayyid Imam, Bab 12.
No comments:
Post a Comment