Friday, October 18, 2013

Pendanaan Teroris

Pendahuluan
Perkembangan dunia terorisme saat ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dikatakan sudah mulai menurun atau reda. Karena ancaman dari aksi terror ini tidak akan mudah terselesaikan karena pasalnya bahay yang ditimbulkan oleh para terror ini tidak akan selesai-selesai. Mereka akan terus mencari-cari anggota yang baru ketika angota lama mereka tertangkap oleh aparat. Dan pemburuan semakin sulit ketika muncul lagi para orang radikal baru yang telah baru direkrut oleh mereka.
Kekuatan mereka diperkirakan akan terus bertambah jika hal-hal seperti ini dapat bertahan dan berlangsung stabil. Kekuatan mereka akan terus menjadi kekuatan yang sangat besar. Karena mereka sekarang terus begerak secara underground yang tidak tampak pada permukaan akan tetapi terdapat hasil yang baik pada kenyataanya.

Mereka dapat berkembang dengan bagus dan terorganisir salah satunya adalah disebabkan oleh system pendanaannya yang cukup baik. Oleh karena itu, pergerakan radikal yang mereka lakukan  tidak akan berjalan apabila peredaran keuangan yang ada didalamnya tidak dapat terorganisir dengan baik. Dalam paper ini akan kami membahas mengenai “Sistem Pendanaan Para Kelompok Radikal”. Yang bermaksudkan bahwa sirkulasi dari keuangan kelompok radikal yang dapat membuat suatu bahaya yang  sangat berbahaa bagi setiap Negara. Dan tentunya perlu solusi untuk masalah ini.Untuk itu, kami harap dapat mengelupas masalah ini dengan sesuai harapan pembaca.
Pembahasan
Kebanyakan masalah-masalah yang ada pada negeri tercinta Indonesia ini merupakan masalah-masalah yang datang dari dalam negeri sendiri.Hal tersebut membuktikan bahwa dalam negeri masih banyak celah yang harus ditutupi.Banyak hal juga yang harus dibenahi supaya dapat menjadi Negara yang diidamkan.Seharusnya masalah-masalah dalam negeri dapat terselesaikan secara intern dan dipplomasi.Tetapi terkadang masalah-masalah ini tidak dapat terselesaikan dengan jalur damai dan berujung ricuh dan merusak fasilitas umum yang ada.
Masalah-masalah yang dihadapi negeri ini juga sangatlah kompleks.hal tersebut dapat terbukti bahwa banyak organisasi-organisasi masyarakat tidak puas dengan keadaan negeri Indonesia pada saat ini. Banyak haluan-haluan yang menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku.Sebut saja dengan istilah radikal kanan dan radikal kiri.Orang-orang yang menyimpang dari aturan yang berlaku dapat disebut orang radikal.Dan radikal kiri adalah suatu aliran yang membenci dan tidak suka dengan aturan ynag dibuat oleh pemerintah dan condong kearah komunis.Sedangkan radikal kanan adalah suatu aliran yang membenci dan tidak suka dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah dan lebih condong ke terorisme.
Ancaman dari kedua sisi kanan dan kiri ini sungguh sangat dapat menggaggu kestabilan nasional. Dalam masalah ini akan terfokuskan terhadap serangan dari kanan. Serangan dari kanan ini merupakan serangan doktrin islam salafi jihadis. Yang merupakan sebuah doktrin mengenai cara-cara mendirikan Negara islam dengan melakukan yang tidak seharusnya. Modus yang dilakukan adalah dengan jihad dan melakukan pemboman atas nama ALLAH swt. dalam konteks perang. Penduduk Indonesia sendiri mayoritas adalah islam. Oleh karena itu, mereka sangat mudah dalam bergerak dan beoperasi.
Hal-hal tersebut dapat disebut sebagai terorisme.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan Terorisme berarti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktek tindakan teror.teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan (kelompok). Meneror adalah berbuat kejam (sewenang-wenang dsb) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut. Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Menurut Pasal 7 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, teroris adalah “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa: “yang dimaksud dengan “kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup” adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya. Hal itu termasuk merusak atau menghancurkan dengan sengaja melepas atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau bercaun ke dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau barang.”
Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Ciri-ciri aksi terorisme adalah bersifat kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan negara; melawan kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk aksi kekerasan. RAND Corporation, lembaga penelitian di Amerika berkesimpulan bahwa setiap tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal.
Defenisi lain bahwa (a) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, (b) sasaran aksi teror adalah warga sipil. (penyerangan terhadap sasaran militer bukan tindakan terorisme; (c) meskipun aksi teror sering disertai tuntutan politik, namun aksi teror tidak dapat disebut sebagai bagian dari kegiatan politik.
Pada tahun 1937, Liga Bangsa (sebelum menjadi PBB) merumuskan rancangan resolusi (namun tidak dilaksanakan) yang menjelaskan pada Pasal 1/2 bahwa aksi terorisme meliputi “Tindak kriminal yang melawan kedaulatan negara yang bertujuan atau diharapkan akan menciptakan rasa takut di pikiran orang-orang tertentu atau sekelompok orang atau publik opini”.
Selanjutnya pada pasal 2 dijelaskan beberapa tindakan yang dikategorikan aksi teror, antara lain: (1) Setiap perbuatan yang disengaja yang dapat mengakibatkan kematian atau cedera fisik bagi beberapa orang seperti kepala-kepala negara, anggota dewan, perwakilan suatu negara atau orang yang melakukan tugas-tugas resmi negara; (2) Tindakan pengrusakan yang menciptakan kerusakan pada fasilitas publik; (3) Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kehidupan manusia; (4) memproduksi atau memiliki atau memberikan senjata, peralatan, bahan peledak atau zat lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan tiga perbuatan yang disebutkan pada ayat (1), (2), dan (3) di atas”.[1]
Dari berbagai defenisi yang dikemukakan para pakar atau lembaga resmi, baik nasional maupun internasional, dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai aksi teror bila memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:
(1) menciptakan rasa takut yang bersifat massal, dengan cara melakukan aksinya di tempat-tempat publik yang strategis;
(2) dalam aksinya menggunakan kekerasan seperti bom, gas beracun atau ancaman kekerasan melalui pernyataan.
(3) Aksi teror umumnya memiliki tuntutan tertentu yang bersifat memaksa, biasanya di bidang politik.
(4) Sasaran teror bukan tujuan pembunuhan itu sendiri, tapi tuntutan di balik pembunuhan tersebut. Artinya, antara teroris dan korban tidak ada keterkaitan langsung. Ini berbeda dengan pembunuhan biasa.
Tampaknya, karena berangkat variabel yang didasari berbagai defenisi tentang terorisme tersebut di atas, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono dalam bukunya “Terorisme: Yahudi, Kristen, Islam” (2009) menyimpulkan bahwa George Bush adalah juga seorang teroris, yang menggunakan bahasa agama, persis seperti Usamah bin Laden. “George Walker Bush telah mengalami kegalatan kategori dalam usahanya memerangi terorisme, melalui serbuan militer dengan sasaran yang undiscriminated (tidak terbatas, sembarang obyek). Tidak terhitung dan tidak terperikan besarnya korban yang berjatuhan, baik fisik maupun psikis, moral maupun materil dari manusia yang tidak berdosa”.[2]
Dalam menganalisis sejumlah pernyataan George Bush terkait agenda war on terror-nya, telah mengakibatkan “Pengerahan kekuatan militer Barat menyerbu Afganistan, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban non-combatan (sipil) yang tak tahu apa-apa... Maka operasi anti teror telah kehilangan legitimasinya dan berbalik menjadi terorisme yang serupa”.[3]
Hal-hal yang mengenai terror tersebut meiliki latar atau dasar radikalisme.Radikalisme merupakan salah satu konsekuensi dari adanya Darul Kufri adalah bahwa senantiasa ada potensi berperang, ketika penduduk Darul Kufri menyerang dan/atau memusuhi umat Islam di wilayah Darul Islam. Dan ketika Darul Kufri bergeser menjadi darul harbi (wilayah perang), maka yang berlaku adalah peraturan dan etika berperang. Bukan lagi etika dalam situasi damai.
Dalam berperang melawan musuh ada yang disebut harta rampasan perang, yang dibagi atas dua jenis:
Pertama, ghanimah (harta rampasan perang yang diperoleh setelah melalui pertempuran).Kedua, fa’i (harta rampasan yang diperoleh tanpa pertempuran). Karena itu, seluruh harta benda milik musuh halal diambil, termasuk utang kepada orang kafir boleh tidak dibayar dan utang itu dianggap gugur.
Karena itu, sekarang ini, bila pemerintah dan wilayah Indonesia dianggap darul kufri, maka seluruh harta milik pemerintah halal dijarah. Maka boleh mengambil listrik dan air PAM tanpa harus membayar rekening, karena dikategorikans sebagai fa’i.
Mengacu pada argumentasi fai seperti ini pula sehingga sebagian anggota kelompok radikal menghalalkan mengambil harta non Muslim melalui cara perampokan dan pencurian. Dalam beberapa kasus, terbukti bahwa hasil perampokan itu digunakan untuk membiayai operasi jihad.
Itu semua merupakan hal yang salah kaprah. Pemahaman yang harus dipahami adalah bahwa Pertama, ghanimah, yakni harta rampasan yang diperoleh melalui pertempuran. Dan cara pembagian ganimah adalah dibagi lima (yukhammasu), di mana masing-masing kelompok menerima seperlima (20 persen).Kedua, fa’i (yang benar adalah faiu) yang berarti harta yang diperoleh dari orang kafir atau non Muslim, tanpa melalui pertempuran, baik karena harta itu ditinggalkan oleh pemiliknya, atau diperoleh melalui jalur damai dalam arti harta itu diposisikan sebagai pembayaran jizyah.[4] Catatan: jizyah adalah semacam pajak kepala yang dibayarkan oleh non-Muslim yang bermukim di negara yang dikuasai umat Islam.
Karena itu, mengambil harta non-Muslim dengan cara mencuri atau merampok, hukumnya mengikuti hukum dasar pencurian dan perampokan, yakni haram.Kalaupun diposisikan sebagai bagian jizyah, maka yang harus mengambilnya dan mengelolanya adalah aparat pemerintah Islam, dan tidak bisa dilakukan oleh orang perorang.Lagi pula, salah satu syarat kewajiban jihad adalah dukungan dana/logistik. Seorang Muslim yang tidak memiliki dana/biaya untuk berjihad, maka tidak wajib baginya untuk berjihad. Alasannya sederhana, karena tidak memenuhi syarat kemampuan untuk berjihad.[5]
Dan biaya jihad di sini bukan hanya biaya yang diperlukan seorang mujahid selama operasi jihad, tapi juga mencakup biaya untuk keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, yang ditinggalkan selama pergi berjihad. Rasulullah saw bersabda, “Cukuplah dosa bagi orang yang membiarkan tanggungannya kelaparan”, (hadis shahih, diriwayatkan Abu Daud dari Abdullah bin Amru ra). Maka siapapun yang tidak punya biaya untuk dirinya dan/atau biaya untuk keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, tidak wajib berjihad. Posisi hukum mereka ini seperti orang-orang yang berhalangan dalam Perang Tabuk. Dan Rasulullah saw sendiri, yang merupakan orang yang paling bertawakkal, toh masih “menyisihkan biaya hidup satu tahun untuk keluarganya, yang diambil dari harta rampasan (fa’i) Bani Nadhir,” (Muttafaq ‘alaihi).[6]
Dengan kata lain, membiayai jihad dengan cara merampok dan/atau mencuri telah mencederai kesucian jihad itu sendiri. Sebab, dari segi hukum, merampok untuk membiayai jihad dengan alasan fai dengan alasan fai masih kontroversial dari segi kajian fiqhi.
Sekarang ini, beberapa orang Muslim yang sebenarnya tidak wajib berjihad, karena tidak punya biaya jihad, tapi justru memaksakan diri pergi berjihad. Lebih aneh lagi, karena tidak punya biaya, mereka menempuh cara haram untuk mendapatkan biaya dan bekal untuk berjihad. Misalnya, menculik sandera yang tidak berdosa untuk mendapatkan tebusan, atau dengan cara merampok harta-harta dengan cara haram, yang boleh jadi, ketika merampok, juga terpaksa harus membunuh orang-orang yang tidak boleh dibunuh.[7]
Padahal, mengambil harta dengan cara tidak sah atau membunuh orang-orang yang tidak bersalah adalah dosa besar. Pelakunya telah melakukan suatu perbuatan haram (merampok harta dan/atau membunuh) dengan tujuan menunaikan kewajiban yang sebenarnya tidak wajib bagi dirinya secara syar’i. Lalu, fiqhi dan pemahaman macam apa ini? Barangkali inilah akibat dari pemimpin-pemimpin kelompok yang bodoh, yang memberikan fatwa menyesatkan. Dan belakangan ini, kita banyak mendengar tentang anggota kelompok jihad yang melakukan operasi untuk mendanai jihad. Padahal, kewajiban berjihad gugur ketika tidak ada biaya jihad. Islam tidak mengenal prinsip “tujuan menghalalkan segala cara”.[8]
Simpulnya, orang yang mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar (mencuri, merampok, menculik dan sejenisnya), meskipun tujuannya ingin melakukan ketaatan (berjihad), maka pengambilan harta itu adalah haram, ketaatannya tidak sah, dan tidak diterima oleh Allah swt. Sebab, “Allah hanya menerima amal baik dari orang-orang bertakwa” (QS.. Al-Maidah, ayat 27). Rasulullah saw juga bersabda, “Bahwa Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik” (HR. Muslim). Karena itulah, ada kaidah fiqhi yang mengatakan:المَبْنِي علي الفاسد فاسدٌyang dibangun di atas kerusakan adalah juga kerusakan”, (Ibnu Najim yang bermazhab Hanafi dalam buku “Al-Asybahu wa al-Nazhair”).[9]
Hal-hal yang ada diatas merupakan pengertian mengenai kberadaan keuangan yang pada kelompok radikal. Dan ternyata sungguh tidak wajar cara memperoleh dan salah tafsir mengenai ayat-ayat Al-Qur’an sehingga membuat suatu tindakan yang salah juga. Itu merupakan hal yang kita pandang dari segi kepercayaan ataupun agama. Jika dilihat dari sisi kehidupan pada zaman sekarang pun tidak jauh beda dengan apa yang dipraktekkan pada zaman dulu atau beberapa tahun yang lalu. Hanya saja cara yan di gunakan lebih modern dan bervariasi.
Melihat pelaksanaan terorisme yang terus terjadi sampai sekarang bias disebut tidak terlepas dari dana atau pendanaan terorisme yang lancer, karena pada zaman sekarang kebutuhan material mutlak untuk dipenuhi dalam segi apapun juga baik itu untuk kehidupan, kegiatan ataupun hal yang lainnya , oleh karena itu pemerintah dalam kaitan hal ini membuat RUU yang menyangkut dengan anti pendanaan teroris sehingga dengan dikeluarkan RUU ini dapat mencegah terjadinya kegiatan-kegiatan terorisme di Indonesia dan melumpuhkan terorisme dengan membatasi ruang gerak dan jangkauan-jangkauan yang dapat mereka lakukan. Kami melihat dalam penimbangan dari pembentukan RUU ini juga dijelaskan bahwa unsur pendanaan terorisme merupakan salah satu factor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini tidak akan optimal tanpa diikuti dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme. Terlihat jelasa bahwa pernyataan dan argument dari penulis sejalan hingga selanjutnya kami penulis akan melakukan penelaahan terhadap pendanaan terorisme dan kaitannya dengan pencegahan atau anti pendanaan terorisme tersebut.
Penulis melihat berbagai referensi yang menyatakan bahwa pendanaan teroris untuk kegiatan terorisme di Indonesia khususnya di Indonesia berasal dari :
1.    Luar Negeri yang dikirim melalui kurir khususnya dari jaringan Al-qaeda
2.    Pengumpulan dana juga dilakukan melalui perampokan seperti yang terjadi di Bank CIMB Niaga di Medan.
3.    Pendanaan selanjutnya juga juga dilakukan melalui sumbangan-sumbangan dari kalangan internal dan simpatisan mereka. Orang- orang yang berada di Lapangan diwajibkan menyetor sebagian dari penghasilan mereka.
4.    Kemudian pendanaan teroris juga didapat dari pengumpulan dana dengan menjual sejumlah barang yang memiliki nilai ekonomis  seperti produk herbal dan makanan , mereka juga mengumpulkan dana dengan membelikan hasil kejahatan terhadap benda-benda yang mudah di uangkan.
5.    Agar tidak illegal mereka melakukan pencucian uang dengan membeli berbagai asset bernilai sehingga pada saat dibutuhkan dana bias cepat sesegera mungkin diuangkan , seperti membeli rumah , mobil dan motor untuk kegiatan terror.
Melihat dari kasus ataupun sumber dari pendanaan teroris tersebut terlihat dalam RUU anti pendanaan terorisme dijelaskan pada BAB IV mengenai pencegahan pada bagian-bagiannya yaitu pada bagian pertama pihak pelapor yang tertera pada pasal 9 yaitu :

1.    bank;

2.    perusahaan pembiayaan;

3.    perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;

4.    dana pensiun lembaga keuangan;

5.    perusahaan efek;

6.    manajer investasi;

7.    kustodian;

8.    wali amanat;

9.    lembaga penyimpanan dan penyelesaian

10. perposan sebagai penyedia jasa giro;

11. pedagang valuta asing;

12. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;

13. penyelenggarae-money dan/atau e-wallet;

14. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;

15. pegadaian;

16. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditas;
Dalam kaitanya hal ini juga jelas bahwa dengan adanya pihak-pihak yang menjadi pelapor yang tertera pada pasal 9 agar bisa melaksanakan kewajibannya untuk melapor guna mempersempit ruang gerak pelaksanaan terorisme di Indonesia. Dengan demikian segala macam transaksi yang dilakukan oleh teroris dapat di halau oleh pihak-pihak yang berkewajiban melapor apabila ada indikasi pelaksanaan transaksi terkait pembiayaan untuk kegiatan terorisme baik dari dalam maupun luar negeri.
Kemudian untuk melakukan early warning dalam pentraksaksian dana untuk terorisme juga dibuat penerapan prinsip mengenali pengguna jasa yang tertera dalam RUU anti terorisme pada bagian kedua pencegahan pada pasal 11 yang berisi :
Ayat 3 :
Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan pada saat:
a.    melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;
b.    terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c.    terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
d.    Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.
(4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas kepatuhan
Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
a.    identifikasi Pengguna Jasa;
b.    verifikasi Pengguna Jasa; dan
c.    pemantauan Transaksi Pengguna Jasa;
(6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai
prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala
PPATK.
Pasal 12
(1)   Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi
dengan Pihak Pelapor, bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang
lain.
(2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri dan atas nama
orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen
pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.
(3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi denganorang tersebut.
Pasal 13
(1) Setiap orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib memberikan
identitas dan informasi yang benar dan dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurangkurangnya
a.    memuat identitas diri, sumber dana dan tujuan Transaksi dengan mengisiformulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumenpendukungnya.
(2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai identitas
diri, sumber dana dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut.
Pasal 14
(1) Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi pengiriman uang secara elektronis wajib memberikan informasi yang benar mengenai pengirim asal, alamat pengirim asal, dansumber dana kepada Penyedia Jasa Keuangan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan pengirim wajib menyimpan semua informasi yang diperlukanuntuk mengenali semua pengirim asal dan penerima kiriman.
Pasal 15
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib meminta informasi yang lengkap tentang pengirim asal,
alamat pengirim asal, dan sumber dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2) Dalam hal Pengguna Jasa tidak memberikan informasi yang diminta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan wajib menolak pengiriman uangsecara elektronis tersebut.
            Dalam pasal-pasal yang telah dipaparkan bahwa telah jelas pelaksanaan transaksi sekecil apapun harus teridentifikasi dan harus jelas sumber dan dari, oleh dan untuk siapa dana tersebut dikeluarkan atau diterima. Seperti yang termaktub dalam pasal 11 ayat satu yang telah di paparkan diatas yang mengatur tentang Lembaga pengawas dan pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali pengguna jasa. Kemudian pada pasal 11 ayat 5 menjelaskan bahwa prinsip mengenali pengguna jasa sekurang-kurangnya memuat :
a.    Identifikasi Pengguna Jasa
Hal ini wajib dilakukan karena dengan Identifikasi kita dapat mengetahui orang yang menggunakan jasa tersebut. Apakah dia orang yang baik ataukah dia adalah teroris yang sedang melakukan transaksi untuk kelancaran kegiatan- kegiatan terror yang akan diselenggarakannya.
b.    Verifikasi Pengguna Jasa
Tujuan dan fungsi dari verifikasi adalah memperjelas, mempertegas dan memperhatikan kembali pengguna jasa. Agar tidak terjadinya kecolongan yang mengakibatkan adanya pelaksanaan kegiatan-kegiatan terorisme secara berlanjut .dengantahap Verifikasi tersebut juga bisa diketahui data yang di terima apakah faild ataukah tidak sehingga jika tidak bisa dilakukan penelusuran dan penolakan oleh pihak pengelola.
c.    Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa
Hal ini tidak kalah pentingnya dengan kedua prinsip di ataskarena dengan pemantauan transaksi, transaksi bisa dilakukan secara transparan dan dapat diketahui tingkat keshahihan transaksi sehingga celah bagi para terrorist untuk melakukan transaksi menjadi lebih tertutup rapat dan menghambat gerakan dan kegiatan mereka.
Pasal selanjutnya yang sangat berperan dalam penghambatan kegiatan transaksi guna pendanaan terorisme adalah pada pasal 20 ayat 1 yang memaparkan bahwa setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata uang Rupiah dan/ atau mata uang asing, dan / atau instrument pembayaran lain dalam bentuk antara lain berupa cek, cek perjalanan atau bilyet giro paling sedikit Rp. 100.000.000 ( seratu juta rupiah)  atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya kepada direktorat Jendral Bea dan Cukai.
Dengan adanya pasal yang mengatur pelaksanaan atau in dan out uang terkait kewilayahan , memungkinkan pendataan dan pengelolaan arus transaksi oleh lembaga yang terkait menjadi lebih intensif hingga transaksi sekecil apapun itu akan terdata dan terinci secara transparan. Apabila terjadi ketidakwajaran akan suatu transaksi maka lembaga yang terkait akan segera melakukan identifikasi ulang hingga terlihat mana yang merupakan transaksi yang dilakukan atau digunakan untuk kegiatan terotis untuk selanjutnya ditangani.
Pasal selanjutnya yang akan kami bahasa adalah pasal 23 ayat 1 Poin a dan b :
Penyedia Jasa Keuangan Menunda :
a.    Transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris atau
b.    Transaksi yang diduga untuk kegiatan terorisme berdasarkan pemberitahuan atau informasi dari penegak hokum atau instansi yang berwenang lainnya.
Dengan adanya pasal 23 tersebut secara tegas dikatakan bahwa penundaan akan dilakukan apabila hal yang termaktub dalam poin a dan b terjadi hingga kegiatan terorisme bisa ditahan dan selanjutnya dapat di minimalisasi. Pendanaan terorisme bisa di cekal dan selanjutnya di tangani oleh pihak yang berwajib sesuai dengan porsinya masing-masing.


Pasal yang penulis rasa paling penting adalah pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa :
Pasal 2     : Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan , memberikan atau meminjamkan dana baik langsung ataupun tidak langsung , dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas tahun ) dan denda paling banyak  Rp. 1.000.000.000 ( Satu Milyar Rupiah )
Pasal 3     :   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan percobaan atau pembantuan menyediakan, mengumpulkan , memberikan atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak langsung , dengan maksud akan digunakan atau patut di duga akan digunakan, seluruhnya tau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun ( lima belas tahun) dengan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 ( satu Milyar Rupiah )
      Dengan adanya kedua pasal tersebut jelas tersampaikan bahwa apabila ada orang yang melakukan pendanaan untuk kegiatan terrisme mau bentuk apapun itu akan dikenakan sanksi yang tegas yang diharapkan itu bisa menjadi acuan kepada masyarakat agar tak tergalang oleh para teroris untuk melakukan bantuan perihal pendanaan kegiatan teror dalam bentuk apapun itu.
BI Waspadai Pendanaan Teroris
Bank Indonesia (BI) bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Keuangan (PJK) melakukan pertemuan koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal ini dilakukan untuk membahas Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang telah disahkan oleh DPR.
Undang-undang tersebut bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara yang ikut berpartisipasi dengan masyarakat internasional dalam upaya pemberantasan pendanaan terorisme. Selain itu, dengan adanya undang-undang ini, BNPT, bersama dengan PPATK, BI, dan PJK berharap potensi-potensi aliran dana yang dimanfaatkan untuk kegiatan terorisme dapat dicegah.
Direktur Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Petrus Reinhard Golose menjelaskan mengenai tren kegiatan teroris saat ini. Pola transfer dana kegiatan teroris di Indonesia lebih sering dalam skala atau jumlah yang kecil, misalnya Rp 500.000 - Rp 10 juta sehingga tidak mencurigakan  pihak bank.
"Bagi PJK merupakan jumlah yang kecil, tapi bagi BNPT, itu jumlah yang cukup besar, karena hanya dengan Rp 5 juta saja teroris di Indonesia sudah bisa bikin bom," kata Petrus dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (3/3/2013).
Ketua Kelompok Kerja Sama Internasional PPATK Syahrir Ramadhan menjelaskan pasal penting yang perlu mendapat perhatian. Di antaranya mengenai penerapan prinsip mengenali pengguna jasa keuangan yang lebih dikenal dengan sebutan "Know Your Customer", kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan oleh PJK terkait pendanaan terorisme, pengawasan kepatuhan pengguna jasa keuangan dan pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer atau pengiriman uang melalui sistem lainnya.
Syahrir mengingatkan, ke depan, jika ada transaksi mencurigakan yang diduga masuk dalam kategori terorisme, maka akan dilakukan pemblokiran terhadap dana dan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung. Pemblokiran dilakukan oleh PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan meminta atau menyerahkan PJK atau pihak berwenang untuk melakukan pemblokiran.
Sampai dengan saat ini berbagai upaya telah dilakukan BNPT, PPATK, dan BI. Salah satunya melalui ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/27/PBI/2012, 28 Desember 2012, tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
PBI ini dilansir untuk mencegah dan memberantas aksi-aksi terorisme di Indonesia. "Namun, berbagai upaya tersebut tentunya tidak akan berjalan secara maksimal tanpa dukungan dari stakeholder, khususnya bank-bank atau jasa keuangan. Merekalah yang memiliki data transaksi keuangan yang akan dijadikan sebagai alat bukti di persidangan atau untuk data intelijen guna mengungkap jaringan terorisme selanjutnya," ujarnya.

DPR Sahkan UU Pencegahan Dana Terorisme
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Selasa, meloloskan rancangan undang-undang yang memberi kuasa kepada pemerintah untuk mencegah pendanaan terorisme, seperti membekukan rekening bank dan menyita aset, guna memperkuat upaya memerangi terorisme di Indonesia.
Dengan adanya aturan itu, Indonesia tidak lagi dipandang sebagai negara berekonomi besar yang tidak memiliki undang-undang pendanaan terorisme. Badan legislatif DPR telah mendiskusikan pengesahan RUU itu selama setahun belakangan, dan disahkan tanpa ada hambatan.
Menurut aturan itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang fungsinya sebagian besar menargetkan kasus pencucian uang, menjadi ujung tombak dalam pencegahan pendanaan terorisme dari sumber dalam maupun luar negeri. Semua lembaga keuangan wajib melaporkan transaksi keuangan yang dipandang mencurigakan ke PPATK, yang memiliki kewenangan untuk membawa kasus bersangkutan ke lembaga penegak hukum.
Direktur jenderal urusan multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia, Hasan Kleib, menyatakan undang-undang itu akan memperbaiki segala titik lemah dalam upaya antiterorisme di Indonesia.
“Hingga kini, orang-orang yang mendanai terorisme tidak pernah tersentuh,” ujarnya. “Program deradikalisasi sudah berjalan. Banyak tersangka teroris sudah ditangkap. Namun, orang-orang yang melakukan pendanaan belum bisa dikenai undang-undang.”
Para pakar teroris mendorong Indonesia memperkuat senjata hukum dengan undang-undang yang menargetkan pendanaan terorisme. Pada Oktober 2011, Financial Action Task Force (FATF), satuan tugas internasional yang memerangi pencucian uang yang berkantor di Paris, Perancis, melukiskan Indonesia sebagai negara “yang tidak mengalami perkembangan memadai,” dalam melengkapi perundang-undangan. Lembaga itu memasukkan Indonesia ke dalam daftar hitam negara yang tidak kooperatif pada Februari 2012.
Kepada wartawan, Menteri Hukum dan Ham, Amir Syamsudin, menyampaikan bahwa undang-undang baru itu menjadi isyarat keikutsertaan Indonesia dalam memperkuat aturan hukumnya setelah meratifikasi Konvensi Internasional PBB untuk menekan pendanaan terorisme pada tahun 2006.
“Legislasi ini penting untuk mencegah aksi terorisme. Pasalnya, aliran uang menghidupkan kegiatan teroris,” ujarnya.
Dalam aturan itu, orang yang terbukti melakukan pendanaan terorisme bisa mendapat penjara seumur hidup. Perusahaan bisa dikenai denda hingga Rp100 miliar dan penyitaan aset.
Undang-undang mengenai pendanaan terorisme juga memuat prosedur bagi para petugas penegak hukum untuk menetapkan individu atau perusahaan sebagai tersangka teroris. Kepala Kepolisian Republik Indonesia harus terlebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memasukkan individu atau perusahaan ke dalam daftar tersangka teroris. Pengadilan memiliki waktu 30 hari untuk memberikan persetujuan.
Sepuluh tahun lalu, Indonesia menjadi korban serangan teroris dalam skala besar, termasuk Bom Bali I pada tahun 2002, terjadi di Indonesia. Namun, upaya pembrantasan aksi terorisme terbukti berhasil melumpukan ancaman-ancaman terbesar. Meski demikian, para pakar keamanan mengungkap kelompok militan terus beroperasi di luar sarang serta tempat pelatihan di Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Indonesia juga tengah melakukan amandemen pada undang-undang antiterorisme. Ansyaad Mbai, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengatakan revisi terhadap undang-undang itu harus dimungkinkan. Dengan adanya perbaikan itu, pidato kebencian dan penistaan bisa dianggap tindak pidana, teroris bisa diganjar hukuman lebih berat, dan kamp paramiliter bagi warga sipil bisa dipandang ilegal.




[1] Muhammad Umar Ali Madani, “Sikap Saudi Arabia terhadap Teror dan Aksi Kekerasan dan Radikal, Dulu dan Sekarang”,
[2]A.M. Hendropriyono, “Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2009, hlm 334.
[3] Ibid, A.M. Hendropriyono, hlm 328.
[4]Departemen Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, “Al-Mausuah al-fiqhiyah al-Kuwaitiyah (Ensiklopedia Fiqhi Islam Kuwait),” Multaqa Ahlul-Hadist, tt, entri Ganimah dan Faiu. Lihat juga Ibnu Munzhir, dalam Lisanu-l-Arab, entri al-faiu.
[5]Sayyid Imam, “وثيقة ترشيد العمل الجهادي في مصر والعالم (Document of Right Guidance for Jihad Activity in Egypt and the World / Dokumen untuk mengarahkan praktek jihad di Mesir dan Dunia)”, Maret 2007, Bab 3.
[6] Ibid, Sayyid Imam, Bab 3.
[7] Ibid, Sayyid Imam, Bab 3.


No comments:

Post a Comment