Pendahuluan
Perkembangan
dunia terorisme saat ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dikatakan sudah
mulai menurun atau reda. Karena ancaman dari aksi terror ini tidak akan mudah
terselesaikan karena pasalnya bahay yang ditimbulkan oleh para terror ini
tidak akan selesai-selesai. Mereka akan terus mencari-cari anggota yang baru
ketika angota lama mereka tertangkap oleh aparat. Dan pemburuan semakin sulit
ketika muncul lagi para orang radikal baru yang telah baru direkrut oleh
mereka.
Kekuatan
mereka diperkirakan akan terus bertambah jika hal-hal seperti ini dapat
bertahan dan berlangsung stabil. Kekuatan mereka akan terus menjadi kekuatan
yang sangat besar. Karena mereka sekarang terus begerak secara underground
yang tidak tampak pada permukaan akan tetapi terdapat hasil yang baik pada
kenyataanya.
Mereka dapat
berkembang dengan bagus dan terorganisir salah satunya adalah disebabkan oleh
system pendanaannya yang cukup baik. Oleh karena itu, pergerakan radikal yang
mereka lakukan tidak akan berjalan
apabila peredaran keuangan yang ada didalamnya tidak dapat terorganisir
dengan baik. Dalam paper ini akan kami membahas mengenai “Sistem Pendanaan Para
Kelompok Radikal”. Yang bermaksudkan bahwa sirkulasi dari keuangan kelompok
radikal yang dapat membuat suatu bahaya yang
sangat berbahaa bagi setiap Negara. Dan tentunya perlu solusi untuk
masalah ini.Untuk itu, kami harap dapat mengelupas masalah ini dengan sesuai
harapan pembaca.
Pembahasan
Kebanyakan
masalah-masalah yang ada pada negeri tercinta Indonesia ini merupakan
masalah-masalah yang datang dari dalam negeri sendiri.Hal tersebut
membuktikan bahwa dalam negeri masih banyak celah yang harus ditutupi.Banyak
hal juga yang harus dibenahi supaya dapat menjadi Negara yang
diidamkan.Seharusnya masalah-masalah dalam negeri dapat terselesaikan secara
intern dan dipplomasi.Tetapi terkadang masalah-masalah ini tidak dapat
terselesaikan dengan jalur damai dan berujung ricuh dan merusak fasilitas
umum yang ada.
Masalah-masalah
yang dihadapi negeri ini juga sangatlah kompleks.hal tersebut dapat terbukti
bahwa banyak organisasi-organisasi masyarakat tidak puas dengan keadaan
negeri Indonesia pada saat ini. Banyak haluan-haluan yang menyimpang dari aturan-aturan
yang berlaku.Sebut saja dengan istilah radikal kanan dan radikal
kiri.Orang-orang yang menyimpang dari aturan yang berlaku dapat disebut orang
radikal.Dan radikal kiri adalah suatu aliran yang membenci dan tidak suka
dengan aturan ynag dibuat oleh pemerintah dan condong kearah
komunis.Sedangkan radikal kanan adalah suatu aliran yang membenci dan tidak
suka dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah dan lebih condong ke
terorisme.
Ancaman
dari kedua sisi kanan dan kiri ini sungguh sangat dapat menggaggu kestabilan
nasional. Dalam masalah ini akan terfokuskan terhadap serangan dari kanan.
Serangan dari kanan ini merupakan serangan doktrin islam salafi jihadis. Yang
merupakan sebuah doktrin mengenai cara-cara mendirikan Negara islam dengan
melakukan yang tidak seharusnya. Modus yang dilakukan adalah dengan jihad dan
melakukan pemboman atas nama ALLAH swt. dalam konteks perang. Penduduk
Indonesia sendiri mayoritas adalah islam. Oleh karena itu, mereka sangat
mudah dalam bergerak dan beoperasi.
Hal-hal
tersebut dapat disebut sebagai terorisme.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
disebutkan Terorisme berarti penggunaan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan
politik); praktek tindakan teror.teror adalah usaha menciptakan
ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan (kelompok).
Meneror adalah berbuat kejam (sewenang-wenang dsb) untuk menimbulkan rasa
ngeri atau takut. Teroris adalah orang yang
menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan
politik. Menurut Pasal 7 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, teroris adalah “Setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud
untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis
atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”
Dalam penjelasannya disebutkan
bahwa: “yang dimaksud dengan “kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup”
adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk lainnya. Hal itu termasuk merusak atau menghancurkan dengan sengaja
melepas atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau
bercaun ke dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap
orang atau barang.”
Menurut konvensi
PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang
ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror
terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Ciri-ciri aksi terorisme adalah
bersifat kejahatan (crime) yang
mengancam kedaulatan negara; melawan kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk aksi
kekerasan. RAND Corporation, lembaga penelitian di Amerika berkesimpulan
bahwa setiap tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal.
Defenisi lain bahwa (a) terorisme
bukan bagian dari tindakan perang, (b) sasaran aksi teror adalah warga sipil.
(penyerangan terhadap sasaran militer bukan tindakan terorisme; (c) meskipun
aksi teror sering disertai tuntutan politik, namun aksi teror tidak dapat
disebut sebagai bagian dari kegiatan politik.
Pada tahun 1937, Liga Bangsa
(sebelum menjadi PBB) merumuskan rancangan resolusi (namun tidak
dilaksanakan) yang menjelaskan pada Pasal 1/2 bahwa aksi terorisme meliputi
“Tindak kriminal yang melawan kedaulatan negara yang bertujuan atau
diharapkan akan menciptakan rasa takut di pikiran orang-orang tertentu atau
sekelompok orang atau publik opini”.
Selanjutnya pada pasal 2 dijelaskan
beberapa tindakan yang dikategorikan aksi teror, antara lain: (1) Setiap
perbuatan yang disengaja yang dapat mengakibatkan kematian atau cedera fisik
bagi beberapa orang seperti kepala-kepala negara, anggota dewan, perwakilan
suatu negara atau orang yang melakukan tugas-tugas resmi negara; (2) Tindakan
pengrusakan yang menciptakan kerusakan pada fasilitas publik; (3) Setiap
perbuatan yang dapat membahayakan kehidupan manusia; (4) memproduksi atau
memiliki atau memberikan senjata, peralatan, bahan peledak atau zat lainnya
yang dapat digunakan untuk melakukan tiga perbuatan yang disebutkan pada ayat
(1), (2), dan (3) di atas”.[1]
Dari berbagai defenisi yang
dikemukakan para pakar atau lembaga resmi, baik nasional maupun
internasional, dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai aksi teror bila memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:
(1) menciptakan rasa takut yang
bersifat massal, dengan cara melakukan aksinya di tempat-tempat publik yang
strategis;
(2) dalam aksinya menggunakan
kekerasan seperti bom, gas beracun atau ancaman kekerasan melalui pernyataan.
(3) Aksi teror umumnya memiliki
tuntutan tertentu yang bersifat memaksa, biasanya di bidang politik.
(4) Sasaran teror bukan tujuan
pembunuhan itu sendiri, tapi tuntutan di balik pembunuhan tersebut. Artinya,
antara teroris dan korban tidak ada keterkaitan langsung. Ini berbeda dengan pembunuhan
biasa.
Tampaknya, karena berangkat variabel
yang didasari berbagai defenisi tentang terorisme tersebut di atas, mantan
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono dalam bukunya
“Terorisme: Yahudi, Kristen, Islam” (2009) menyimpulkan bahwa George Bush
adalah juga seorang teroris, yang menggunakan bahasa agama, persis seperti
Usamah bin Laden. “George Walker Bush telah mengalami kegalatan kategori
dalam usahanya memerangi terorisme, melalui serbuan militer dengan sasaran
yang undiscriminated (tidak terbatas, sembarang obyek). Tidak
terhitung dan tidak terperikan besarnya korban yang berjatuhan, baik fisik
maupun psikis, moral maupun materil dari manusia yang tidak berdosa”.[2]
Dalam menganalisis sejumlah
pernyataan George Bush terkait agenda war on terror-nya, telah
mengakibatkan “Pengerahan kekuatan militer Barat menyerbu Afganistan,
sehingga mengakibatkan jatuhnya korban non-combatan
(sipil) yang tak tahu apa-apa... Maka operasi anti teror telah kehilangan
legitimasinya dan berbalik menjadi terorisme yang serupa”.[3]
Hal-hal yang
mengenai terror tersebut meiliki latar atau dasar radikalisme.Radikalisme merupakan salah satu konsekuensi dari
adanya Darul Kufri adalah bahwa senantiasa ada potensi berperang, ketika
penduduk Darul Kufri menyerang dan/atau memusuhi umat Islam di wilayah Darul
Islam. Dan ketika Darul Kufri bergeser menjadi darul harbi (wilayah
perang), maka yang berlaku adalah peraturan dan etika berperang. Bukan lagi
etika dalam situasi damai.
Dalam berperang melawan musuh ada
yang disebut harta rampasan perang, yang dibagi atas dua jenis:
Pertama, ghanimah
(harta rampasan perang yang diperoleh setelah melalui pertempuran).Kedua, fa’i
(harta rampasan yang diperoleh tanpa pertempuran). Karena itu, seluruh harta
benda milik musuh halal diambil, termasuk utang kepada orang kafir boleh
tidak dibayar dan utang itu dianggap gugur.
Karena itu, sekarang ini, bila
pemerintah dan wilayah Indonesia dianggap darul kufri, maka seluruh harta
milik pemerintah halal dijarah. Maka boleh mengambil listrik dan air PAM
tanpa harus membayar rekening, karena dikategorikans sebagai fa’i.
Mengacu pada argumentasi fai
seperti ini pula sehingga sebagian anggota kelompok radikal menghalalkan
mengambil harta non Muslim melalui cara perampokan dan pencurian. Dalam
beberapa kasus, terbukti bahwa hasil perampokan itu digunakan untuk membiayai
operasi jihad.
Itu semua
merupakan hal yang salah kaprah. Pemahaman yang harus dipahami adalah bahwa Pertama, ghanimah, yakni harta
rampasan yang diperoleh melalui pertempuran. Dan cara pembagian ganimah adalah dibagi lima (yukhammasu), di mana
masing-masing kelompok menerima seperlima (20 persen).Kedua, fa’i
(yang benar adalah faiu) yang berarti harta yang diperoleh dari orang
kafir atau non Muslim, tanpa melalui pertempuran, baik karena harta itu
ditinggalkan oleh pemiliknya, atau diperoleh melalui jalur damai dalam arti
harta itu diposisikan sebagai pembayaran jizyah.[4] Catatan: jizyah
adalah semacam pajak kepala yang dibayarkan oleh non-Muslim yang bermukim di
negara yang dikuasai umat Islam.
Karena itu, mengambil harta non-Muslim dengan
cara mencuri atau merampok, hukumnya mengikuti hukum dasar pencurian dan
perampokan, yakni haram.Kalaupun diposisikan sebagai bagian jizyah,
maka yang harus mengambilnya dan mengelolanya adalah aparat pemerintah Islam,
dan tidak bisa dilakukan oleh orang perorang.Lagi pula, salah satu syarat
kewajiban jihad adalah dukungan dana/logistik. Seorang Muslim yang tidak
memiliki dana/biaya untuk berjihad, maka tidak wajib baginya untuk berjihad.
Alasannya sederhana, karena tidak memenuhi syarat kemampuan untuk berjihad.[5]
Dan biaya jihad di sini bukan hanya
biaya yang diperlukan seorang mujahid selama operasi jihad, tapi juga
mencakup biaya untuk keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya,
yang ditinggalkan selama pergi berjihad. Rasulullah saw bersabda, “Cukuplah
dosa bagi orang yang membiarkan tanggungannya kelaparan”, (hadis shahih,
diriwayatkan Abu Daud dari Abdullah bin Amru ra). Maka siapapun yang tidak
punya biaya untuk dirinya dan/atau biaya untuk keluarganya dan orang-orang
yang menjadi tanggungannya, tidak wajib berjihad. Posisi hukum mereka ini
seperti orang-orang yang berhalangan dalam Perang Tabuk. Dan Rasulullah saw
sendiri, yang merupakan orang yang paling bertawakkal, toh masih
“menyisihkan biaya hidup satu tahun untuk keluarganya, yang diambil dari
harta rampasan (fa’i) Bani Nadhir,” (Muttafaq ‘alaihi).[6]
Dengan kata lain, membiayai jihad
dengan cara merampok dan/atau mencuri telah mencederai kesucian jihad itu
sendiri. Sebab, dari segi hukum, merampok untuk membiayai jihad dengan alasan
fai dengan alasan fai masih kontroversial dari segi kajian fiqhi.
Sekarang ini, beberapa orang Muslim
yang sebenarnya tidak wajib berjihad, karena tidak punya biaya jihad, tapi
justru memaksakan diri pergi berjihad. Lebih aneh lagi, karena tidak punya
biaya, mereka menempuh cara haram untuk mendapatkan biaya dan bekal untuk berjihad.
Misalnya, menculik sandera yang tidak berdosa untuk mendapatkan tebusan, atau
dengan cara merampok harta-harta dengan cara haram, yang boleh jadi, ketika
merampok, juga terpaksa harus membunuh orang-orang yang tidak boleh dibunuh.[7]
Padahal, mengambil harta dengan cara
tidak sah atau membunuh orang-orang yang tidak bersalah adalah dosa besar.
Pelakunya telah melakukan suatu perbuatan haram (merampok harta dan/atau
membunuh) dengan tujuan menunaikan kewajiban yang sebenarnya tidak wajib bagi
dirinya secara syar’i. Lalu, fiqhi dan pemahaman macam apa ini? Barangkali
inilah akibat dari pemimpin-pemimpin kelompok yang bodoh, yang memberikan
fatwa menyesatkan. Dan belakangan ini, kita banyak mendengar tentang anggota
kelompok jihad yang melakukan operasi untuk mendanai jihad. Padahal,
kewajiban berjihad gugur ketika tidak ada biaya jihad. Islam tidak mengenal
prinsip “tujuan menghalalkan segala cara”.[8]
Simpulnya, orang yang mengambil
harta orang lain dengan cara tidak benar (mencuri, merampok, menculik dan
sejenisnya), meskipun tujuannya ingin melakukan ketaatan (berjihad), maka
pengambilan harta itu adalah haram, ketaatannya tidak sah, dan tidak diterima
oleh Allah swt. Sebab, “Allah hanya menerima amal baik dari orang-orang
bertakwa” (QS.. Al-Maidah, ayat 27). Rasulullah saw juga bersabda, “Bahwa
Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik” (HR. Muslim). Karena
itulah, ada kaidah fiqhi yang mengatakan: “المَبْنِي علي
الفاسد فاسدٌ “yang dibangun di atas kerusakan adalah juga kerusakan”,
(Ibnu Najim yang bermazhab Hanafi dalam buku “Al-Asybahu wa al-Nazhair”).[9]
Hal-hal yang ada diatas merupakan
pengertian mengenai kberadaan keuangan yang pada kelompok radikal. Dan
ternyata sungguh tidak wajar cara memperoleh dan salah tafsir mengenai
ayat-ayat Al-Qur’an sehingga membuat suatu tindakan yang salah juga. Itu
merupakan hal yang kita pandang dari segi kepercayaan ataupun agama. Jika
dilihat dari sisi kehidupan pada zaman sekarang pun tidak jauh beda dengan
apa yang dipraktekkan pada zaman dulu atau beberapa tahun yang lalu. Hanya
saja cara yan di gunakan lebih modern dan bervariasi.
Melihat pelaksanaan terorisme yang terus
terjadi sampai sekarang bias disebut tidak terlepas dari dana atau pendanaan
terorisme yang lancer, karena pada zaman sekarang kebutuhan material mutlak
untuk dipenuhi dalam segi apapun juga baik itu untuk kehidupan, kegiatan
ataupun hal yang lainnya , oleh karena itu pemerintah dalam kaitan hal ini
membuat RUU yang menyangkut dengan anti pendanaan teroris sehingga dengan
dikeluarkan RUU ini dapat mencegah terjadinya kegiatan-kegiatan terorisme di
Indonesia dan melumpuhkan terorisme dengan membatasi ruang gerak dan
jangkauan-jangkauan yang dapat mereka lakukan. Kami melihat dalam penimbangan
dari pembentukan RUU ini juga dijelaskan bahwa unsur pendanaan terorisme
merupakan salah satu factor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya
penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini tidak akan optimal tanpa
diikuti dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan
terorisme. Terlihat jelasa bahwa pernyataan dan argument dari penulis sejalan
hingga selanjutnya kami penulis akan melakukan penelaahan terhadap pendanaan
terorisme dan kaitannya dengan pencegahan atau anti pendanaan terorisme
tersebut.
Penulis melihat berbagai referensi yang
menyatakan bahwa pendanaan teroris untuk kegiatan terorisme di Indonesia
khususnya di Indonesia berasal dari :
1.
Luar
Negeri yang dikirim melalui kurir khususnya dari jaringan Al-qaeda
2.
Pengumpulan
dana juga dilakukan melalui perampokan seperti yang terjadi di Bank CIMB
Niaga di Medan.
3.
Pendanaan
selanjutnya juga juga dilakukan melalui sumbangan-sumbangan dari kalangan
internal dan simpatisan mereka. Orang- orang yang berada di Lapangan
diwajibkan menyetor sebagian dari penghasilan mereka.
4.
Kemudian
pendanaan teroris juga didapat dari pengumpulan dana dengan menjual sejumlah
barang yang memiliki nilai ekonomis
seperti produk herbal dan makanan , mereka juga mengumpulkan dana
dengan membelikan hasil kejahatan terhadap benda-benda yang mudah di uangkan.
5.
Agar
tidak illegal mereka melakukan pencucian uang dengan membeli berbagai asset
bernilai sehingga pada saat dibutuhkan dana bias cepat sesegera mungkin
diuangkan , seperti membeli rumah , mobil dan motor untuk kegiatan terror.
Melihat dari kasus
ataupun sumber dari pendanaan teroris tersebut terlihat dalam RUU anti
pendanaan terorisme dijelaskan pada BAB IV mengenai pencegahan pada
bagian-bagiannya yaitu pada bagian pertama pihak pelapor yang tertera pada
pasal 9 yaitu :
1.
bank;
2.
perusahaan
pembiayaan;
3.
perusahaan
asuransi dan perusahaan pialang asuransi;
4.
dana pensiun
lembaga keuangan;
5.
perusahaan
efek;
6.
manajer
investasi;
7.
kustodian;
8.
wali amanat;
9.
lembaga
penyimpanan dan penyelesaian
10.
perposan
sebagai penyedia jasa giro;
11.
pedagang
valuta asing;
12.
penyelenggara
alat pembayaran menggunakan kartu;
13.
penyelenggarae-money
dan/atau e-wallet;
14.
koperasi
yang melakukan kegiatan simpan pinjam;
15.
pegadaian;
16. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan
berjangka komoditas;
Dalam kaitanya hal
ini juga jelas bahwa dengan adanya pihak-pihak yang menjadi pelapor yang
tertera pada pasal 9 agar bisa melaksanakan kewajibannya untuk melapor guna
mempersempit ruang gerak pelaksanaan terorisme di Indonesia. Dengan demikian
segala macam transaksi yang dilakukan oleh teroris dapat di halau oleh
pihak-pihak yang berkewajiban melapor apabila ada indikasi pelaksanaan
transaksi terkait pembiayaan untuk kegiatan terorisme baik dari dalam maupun
luar negeri.
Kemudian untuk
melakukan early warning dalam pentraksaksian dana untuk terorisme juga dibuat
penerapan prinsip mengenali pengguna jasa yang tertera dalam RUU anti
terorisme pada bagian kedua pencegahan pada pasal 11 yang berisi :
Ayat 3 :
Kewajiban menerapkan
prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan pada
saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;
b. terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata
uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah);
c. terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan tindak
pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna
Jasa.
(4) Lembaga Pengawas dan
Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas kepatuhan
Pihak Pelapor dalam
menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(5) Prinsip mengenali
Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
a.
identifikasi Pengguna
Jasa;
b.
verifikasi Pengguna
Jasa; dan
c.
pemantauan Transaksi
Pengguna Jasa;
(6) Dalam hal belum terdapat
Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai
prinsip mengenali
Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala
PPATK.
Pasal 12
(1) Pihak Pelapor wajib mengetahui
bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi
dengan Pihak Pelapor, bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan
atas nama orang
lain.
(2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri
sendiri dan atas nama
orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas
dan Dokumen
pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.
(3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak
Transaksi denganorang tersebut.
Pasal 13
(1) Setiap orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib
memberikan
identitas dan informasi yang benar dan dibutuhkan oleh Pihak Pelapor
dan sekurangkurangnya
a.
memuat identitas diri,
sumber dana dan tujuan Transaksi dengan mengisiformulir yang disediakan oleh
Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumenpendukungnya.
(2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain,
setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan informasi
mengenai identitas
diri, sumber dana dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut.
Pasal 14
(1) Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi pengiriman uang secara
elektronis wajib memberikan informasi yang benar mengenai pengirim asal,
alamat pengirim asal, dansumber dana kepada Penyedia Jasa Keuangan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan pengirim wajib menyimpan semua informasi
yang diperlukanuntuk mengenali semua pengirim asal dan penerima kiriman.
Pasal 15
(1) Penyedia
Jasa Keuangan wajib meminta informasi yang lengkap tentang pengirim asal,
alamat
pengirim asal, dan sumber dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2) Dalam
hal Pengguna Jasa tidak memberikan informasi yang diminta sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan wajib menolak pengiriman uangsecara
elektronis tersebut.
Dalam pasal-pasal yang telah dipaparkan bahwa telah
jelas pelaksanaan transaksi sekecil apapun harus teridentifikasi dan harus
jelas sumber dan dari, oleh dan untuk siapa dana tersebut dikeluarkan atau
diterima. Seperti yang termaktub dalam pasal 11 ayat satu yang telah di
paparkan diatas yang mengatur tentang Lembaga pengawas dan pengatur
menetapkan ketentuan prinsip mengenali pengguna jasa. Kemudian pada pasal 11
ayat 5 menjelaskan bahwa prinsip mengenali pengguna jasa sekurang-kurangnya
memuat :
a. Identifikasi Pengguna Jasa
Hal ini wajib dilakukan karena dengan Identifikasi kita dapat
mengetahui orang yang menggunakan jasa tersebut. Apakah dia orang yang baik
ataukah dia adalah teroris yang sedang melakukan transaksi untuk kelancaran
kegiatan- kegiatan terror yang akan diselenggarakannya.
b. Verifikasi Pengguna Jasa
Tujuan dan fungsi dari verifikasi adalah memperjelas, mempertegas dan
memperhatikan kembali pengguna jasa. Agar tidak terjadinya kecolongan yang
mengakibatkan adanya pelaksanaan kegiatan-kegiatan terorisme secara berlanjut
.dengantahap Verifikasi tersebut juga bisa diketahui data yang di terima
apakah faild ataukah tidak sehingga jika tidak bisa dilakukan penelusuran dan
penolakan oleh pihak pengelola.
c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa
Hal ini
tidak kalah pentingnya dengan kedua prinsip di ataskarena dengan pemantauan
transaksi, transaksi bisa dilakukan secara transparan dan dapat diketahui
tingkat keshahihan transaksi sehingga celah bagi para terrorist untuk
melakukan transaksi menjadi lebih tertutup rapat dan menghambat gerakan dan
kegiatan mereka.
Pasal
selanjutnya yang sangat berperan dalam penghambatan kegiatan transaksi guna
pendanaan terorisme adalah pada pasal 20 ayat 1 yang memaparkan bahwa setiap
orang yang membawa uang tunai dalam mata uang Rupiah dan/ atau mata uang
asing, dan / atau instrument pembayaran lain dalam bentuk antara lain berupa
cek, cek perjalanan atau bilyet giro paling sedikit Rp. 100.000.000 ( seratu
juta rupiah) atau yang nilainya setara
dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia wajib
memberitahukannya kepada direktorat Jendral Bea dan Cukai.
Dengan
adanya pasal yang mengatur pelaksanaan atau in dan out uang terkait
kewilayahan , memungkinkan pendataan dan pengelolaan arus transaksi oleh
lembaga yang terkait menjadi lebih intensif hingga transaksi sekecil apapun itu
akan terdata dan terinci secara transparan. Apabila terjadi ketidakwajaran
akan suatu transaksi maka lembaga yang terkait akan segera melakukan
identifikasi ulang hingga terlihat mana yang merupakan transaksi yang
dilakukan atau digunakan untuk kegiatan terotis untuk selanjutnya ditangani.
Pasal
selanjutnya yang akan kami bahasa adalah pasal 23 ayat 1 Poin a dan b :
Penyedia
Jasa Keuangan Menunda :
a. Transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan publikasi
pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau
organisasi teroris atau
b. Transaksi yang diduga untuk kegiatan terorisme berdasarkan
pemberitahuan atau informasi dari penegak hokum atau instansi yang berwenang
lainnya.
Dengan
adanya pasal 23 tersebut secara tegas dikatakan bahwa penundaan akan
dilakukan apabila hal yang termaktub dalam poin a dan b terjadi hingga
kegiatan terorisme bisa ditahan dan selanjutnya dapat di minimalisasi.
Pendanaan terorisme bisa di cekal dan selanjutnya di tangani oleh pihak yang
berwajib sesuai dengan porsinya masing-masing.
Pasal yang penulis
rasa paling penting adalah pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa :
Pasal 2 : Setiap orang yang dengan sengaja
menyediakan, mengumpulkan , memberikan atau meminjamkan dana baik langsung
ataupun tidak langsung , dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan
digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas tahun ) dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000 ( Satu
Milyar Rupiah )
Pasal 3 :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan percobaan atau pembantuan
menyediakan, mengumpulkan , memberikan atau meminjamkan dana baik langsung
maupun tidak langsung , dengan maksud akan digunakan atau patut di duga akan
digunakan, seluruhnya tau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun ( lima belas tahun)
dengan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 ( satu Milyar Rupiah )
Dengan adanya kedua pasal tersebut jelas
tersampaikan bahwa apabila ada orang yang melakukan pendanaan untuk kegiatan
terrisme mau bentuk apapun itu akan dikenakan sanksi yang tegas yang
diharapkan itu bisa menjadi acuan kepada masyarakat agar tak tergalang oleh
para teroris untuk melakukan bantuan perihal pendanaan kegiatan teror dalam
bentuk apapun itu.
BI Waspadai Pendanaan
Teroris
Bank
Indonesia (BI) bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Keuangan (PJK)
melakukan pertemuan koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT). Hal ini dilakukan untuk membahas Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang telah disahkan oleh DPR.
Undang-undang
tersebut bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara yang ikut
berpartisipasi dengan masyarakat internasional dalam upaya pemberantasan
pendanaan terorisme. Selain itu, dengan adanya undang-undang ini, BNPT,
bersama dengan PPATK, BI, dan PJK berharap potensi-potensi aliran dana yang
dimanfaatkan untuk kegiatan terorisme dapat dicegah.
Direktur
Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Petrus Reinhard
Golose menjelaskan mengenai tren kegiatan teroris saat ini. Pola transfer
dana kegiatan teroris di Indonesia lebih sering dalam skala atau jumlah yang
kecil, misalnya Rp 500.000 - Rp 10 juta sehingga tidak mencurigakan
pihak bank.
"Bagi
PJK merupakan jumlah yang kecil, tapi bagi BNPT, itu jumlah yang cukup besar,
karena hanya dengan Rp 5 juta saja teroris di Indonesia sudah bisa bikin
bom," kata Petrus dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (3/3/2013).
Ketua
Kelompok Kerja Sama Internasional PPATK Syahrir Ramadhan menjelaskan pasal
penting yang perlu mendapat perhatian. Di antaranya mengenai penerapan
prinsip mengenali pengguna jasa keuangan yang lebih dikenal dengan sebutan "Know
Your Customer", kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan
oleh PJK terkait pendanaan terorisme, pengawasan kepatuhan pengguna jasa
keuangan dan pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer atau
pengiriman uang melalui sistem lainnya.
Syahrir
mengingatkan, ke depan, jika ada transaksi mencurigakan yang diduga masuk
dalam kategori terorisme, maka akan dilakukan pemblokiran terhadap dana dan
harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung. Pemblokiran dilakukan
oleh PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan meminta atau
menyerahkan PJK atau pihak berwenang untuk melakukan pemblokiran.
Sampai
dengan saat ini berbagai upaya telah dilakukan BNPT, PPATK, dan BI. Salah
satunya melalui ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
14/27/PBI/2012, 28 Desember 2012, tentang Penerapan Program Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
PBI
ini dilansir untuk mencegah dan memberantas aksi-aksi terorisme di Indonesia.
"Namun, berbagai upaya tersebut tentunya tidak akan berjalan secara maksimal
tanpa dukungan dari stakeholder, khususnya bank-bank atau jasa
keuangan. Merekalah yang memiliki data transaksi keuangan yang akan dijadikan
sebagai alat bukti di persidangan atau untuk data intelijen guna mengungkap
jaringan terorisme selanjutnya," ujarnya.
DPR Sahkan
UU Pencegahan Dana Terorisme
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Selasa, meloloskan rancangan undang-undang yang
memberi kuasa kepada pemerintah untuk mencegah pendanaan terorisme, seperti
membekukan rekening bank dan menyita aset, guna memperkuat upaya memerangi
terorisme di Indonesia.
Dengan
adanya aturan itu, Indonesia tidak lagi dipandang sebagai negara berekonomi
besar yang tidak memiliki undang-undang pendanaan terorisme. Badan legislatif
DPR telah mendiskusikan pengesahan RUU itu selama setahun belakangan, dan
disahkan tanpa ada hambatan.
Menurut
aturan itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang
fungsinya sebagian besar menargetkan kasus pencucian uang, menjadi ujung
tombak dalam pencegahan pendanaan terorisme dari sumber dalam maupun luar
negeri. Semua lembaga keuangan wajib melaporkan transaksi keuangan yang
dipandang mencurigakan ke PPATK, yang memiliki kewenangan untuk membawa kasus
bersangkutan ke lembaga penegak hukum.
Direktur
jenderal urusan multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia, Hasan Kleib,
menyatakan undang-undang itu akan memperbaiki segala titik lemah dalam upaya
antiterorisme di Indonesia.
“Hingga
kini, orang-orang yang mendanai terorisme tidak pernah tersentuh,” ujarnya.
“Program deradikalisasi sudah berjalan. Banyak tersangka teroris sudah
ditangkap. Namun, orang-orang yang melakukan pendanaan belum bisa dikenai
undang-undang.”
Para
pakar teroris mendorong Indonesia memperkuat senjata hukum dengan
undang-undang yang menargetkan pendanaan terorisme. Pada Oktober 2011,
Financial Action Task Force (FATF), satuan tugas internasional yang memerangi
pencucian uang yang berkantor di Paris, Perancis, melukiskan Indonesia
sebagai negara “yang tidak mengalami perkembangan memadai,” dalam melengkapi
perundang-undangan. Lembaga itu memasukkan Indonesia ke dalam daftar hitam
negara yang tidak kooperatif pada Februari 2012.
Kepada
wartawan, Menteri Hukum dan Ham, Amir Syamsudin, menyampaikan bahwa
undang-undang baru itu menjadi isyarat keikutsertaan Indonesia dalam
memperkuat aturan hukumnya setelah meratifikasi Konvensi Internasional PBB
untuk menekan pendanaan terorisme pada tahun 2006.
“Legislasi
ini penting untuk mencegah aksi terorisme. Pasalnya, aliran uang menghidupkan
kegiatan teroris,” ujarnya.
Dalam
aturan itu, orang yang terbukti melakukan pendanaan terorisme bisa mendapat
penjara seumur hidup. Perusahaan bisa dikenai denda hingga Rp100 miliar dan
penyitaan aset.
Undang-undang
mengenai pendanaan terorisme juga memuat prosedur bagi para petugas penegak
hukum untuk menetapkan individu atau perusahaan sebagai tersangka teroris.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia harus terlebih dahulu mengajukan
permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memasukkan individu atau
perusahaan ke dalam daftar tersangka teroris. Pengadilan memiliki waktu 30
hari untuk memberikan persetujuan.
Sepuluh
tahun lalu, Indonesia menjadi korban serangan teroris dalam skala besar,
termasuk Bom Bali I pada tahun 2002, terjadi di Indonesia. Namun, upaya
pembrantasan aksi terorisme terbukti berhasil melumpukan ancaman-ancaman
terbesar. Meski demikian, para pakar keamanan mengungkap kelompok militan
terus beroperasi di luar sarang serta tempat pelatihan di Jawa Tengah,
Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Indonesia
juga tengah melakukan amandemen pada undang-undang antiterorisme. Ansyaad
Mbai, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengatakan
revisi terhadap undang-undang itu harus dimungkinkan. Dengan adanya perbaikan
itu, pidato kebencian dan penistaan bisa dianggap tindak pidana, teroris bisa
diganjar hukuman lebih berat, dan kamp paramiliter bagi warga sipil bisa
dipandang ilegal.
|
[1] Muhammad Umar Ali Madani, “Sikap Saudi Arabia terhadap Teror dan Aksi
Kekerasan dan Radikal, Dulu dan Sekarang”,
[2]A.M. Hendropriyono, “Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
Oktober 2009, hlm 334.
[4]Departemen Wakaf dan Urusan Islam Kuwait,
“Al-Mausuah al-fiqhiyah al-Kuwaitiyah
(Ensiklopedia Fiqhi Islam Kuwait),” Multaqa Ahlul-Hadist, tt, entri Ganimah dan
Faiu. Lihat juga Ibnu
Munzhir, dalam Lisanu-l-Arab, entri al-faiu.
[5]Sayyid Imam, “وثيقة ترشيد
العمل الجهادي في مصر والعالم (Document of Right
Guidance for Jihad Activity in Egypt and the World / Dokumen untuk
mengarahkan praktek jihad di Mesir dan Dunia)”, Maret 2007, Bab 3.
[6] Ibid, Sayyid Imam, Bab 3.
[7] Ibid, Sayyid Imam, Bab 3.
No comments:
Post a Comment