Sunday, November 10, 2013

Kasus Sambas vs madura

I. PENDAHULUAN
Konfik antar suku di Sambas Kalimantan Barat merupakan pertikaian antar suku dayak yang merupakan warga asli sampit dan suku madura yang merupakan imigran, konflik antar suku ini sudah terjadi pada tahun 1972 dan mencapai puncak pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura di serang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. warga Madura banyak yang ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi kalimantan tengah seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan sehingga membuat masyarakat dayak di rugikan dan hal tersebut yang membuat penyebab utama terjadinya konflik antar suku di sampit kalimantan tengah.
II. Pendapat Tokoh
 
1. Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D (Ahli Antropologi Universitas Indonesia) mengatakan bahwa konflik antar etnis di sampit adalah benturan budaya yang menggunakan acuan kebudayaan menurut stereotip atau keyakinan masing – masing, bukan menggunakan acuan kebudayaan secara obyektif. Permasalahan sosial ini akibat hubungan sosial yang menyangkut jati diri suku bangsa di dalam masyarakat setempat. Preman preman Madura dengan cepat mencabut perang untuk membunuh, lalu orang dayak bereaksi sesuai dengan keyakinan mereka, yaitu kharingan. Mereka percaya adanya dewa dewa dan kekuatan roh yang menjaga kehidupan kesejahteraan hidup manusia. Orang orang dayak menyerahkan masalah ini kepada leluhur untuk minta keadilan dan minta petunjuk yang di sebut menenung dan meramal. Dalam upacara tadi roh tersebut masuk kedalam tubuh orang dayak dan membantai preman preman Madura, tetapi masalahnya adalah para roh tersebut tidak dapat membedakan mana yang preman dan mana yang bukan sehingga semua orang dayak dibantai. Dalam masalah ini kekuatan – kekuatan masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat, tokoh tokoh masyarakat dan para pakar harus berkumpul dalam Kongres Masyarakat Kalimantan, tujuannya untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam memecahkan permasalahan konflik antar etnis tersebut. 2. Bere Ali (Kepala Dinas Sosial Kaltim) mengatakan bahwa Kasus konflik antar etnis seharusnya tidak terjadi dan tidak baik untuk dilanjutkan ketahun selanjutnya. Untuk itulah kami memandang pentingnya digelarnya sarasehan keserasian sosial sehingga masyarakat bisa memiliki kewaspadaan terhadap potensi terjadinya konflik.Sekali lagi kami himbau masyarakat agar tidak mudah terpancing isu-isu miring yang bersifat provokatif sehingga memicu terjadinya konflik yang akan merugikan masyarakat.
3. Dr Thamrin Amal Tomagola (sosiolog dari Universitas Indonesia) mengatakan bahwa Terjadinya proses marginalisasi suku Dayak. Pendidikan yang minim dan sedikitnya warga Dayak yang bisa menikmati pendidikan mengakibatkan sedikitnya warga Dayak yang duduk di pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah lebih banyak di pegang oleh warga pendatang.Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan singgungan hutan. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan hutan, kehidupan masyarakat Dayak terganggu. Sejak tahun 1995 para transmigran di tempatkan di pedalaman Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah, yang dikenal keras dan pembuat masalah, tidak seperti pendatang-pendatang sebelumnya. Selain soal transmigrasi, pemerintah juga telah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk membuka hutan melalui HPH.Masyarakat Dayak kehilangan pijakan, terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-kebijakan pemerintah telah menghilangkan atau mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat.Hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya terjadi tindak kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses pembiaran ini berakibat pada lemahnya hukum dimata masyarakat, sehingga masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya dengan menggunakan kekerasan.
4. Prof. H. K.M.A.M. Usop (Tokoh Masyarakat Dayak) mengatakan bahwa, dalam salah satu pidatonya, disebutkan bahwa sekarang waktunya untuk berdamai dan tidak ada lagi pembunuhan. Dewa – dewa nayau sudah di kembalikan kelangit dan kita sudah menjadi manusia normal lagi. Maka, jika terjadi pembunuhan, orang itu harus di tangkap sesuai dengan prosedur hokum. Sebenarnya tujuan dari kongres itu adalah untuk mengemblikan prinsip Negara Indonesia sebagai Negara kesatuan. Orang asli Kalimantan kembali bersatu dengan suku bangsa yang ada. Karena itu orang – orang Madura harus di terima kembali. Tapi orang Madura yang diterima jangan preman. Dalam menyaring orang Madura yang preman atau bukan dengan cara prioriitas bahwa yang di terima tinggal di sampit adalah orang Madura yang sudah punya dua hingga tiga generasi. Dan yang pendatang harus di periksa dulu latarbelakangnya. Dan kesepakatan dalam kongres ini nantinya akan menjadi payung bagi masyarakat local, hingga peringkat kelurahan, RW, RT. III.
 
Fakta Kasus
1. Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.
2. Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
3. Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
4. Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura.
5. Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang Dayak adalah dihukum berat.
6. Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
7. Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri.
8. Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
9. Tahun 1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
10. Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
11. Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
12. Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
13. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
14. 17-20 Februari Tahun 2001, di Sampit warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
15. 25 Februari 2001, di Palangka Raya 2001seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura.
III. PEMBAHASAN
  pertikaian yang terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya selalu siap berkelahi. Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum. Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
IV. KESIMPULAN
Konflik di Sampit merupakan suatu benturan budaya. Masalahnya adalah benturan antarsuku bangsa yang menggunakan acuan kebudayaan menurut keyakinan masing-masing. Kedua budaya tersebut saling mempertahankan dan menunjukkan jati diri mereka masing-masing sehingga konflik tersebut tak terelakkan. Sikap saling menyalahkan berakibat kasus ini tidak berujung selesai. Untuk mengatasi semua konflik yang terjadi di sampit kalimantan tengah seharusnya pemerintah daerah dan badan intelijen negara lebih sering menggalang masyarakat untuk melihat dari sisi yang berbeda dari satu suku ke suku lain dengan cara membuat pertemuan-pertemuan antar suku yang dikontrol oleh pemerintah.

No comments:

Post a Comment