Thursday, October 3, 2013

Pengentasan Kemiskinan



A.   PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara yang terletak diantara benua Australia dan benua Asia, serta diapit oleh Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan luas wilayah 1,904,569 km2 dan 17,508 pulau, dari wilayah yang begitu luas Indonesia memiliki banyak sumber daya alam, mulai dari hutan yang hijau, aneka tambang, serta beraneka ragam flora dan fauna.
Indonesia pun memiliki begitu banyak sumber daya manusia, yang terhitung pada sensus tahun 2011 adalah 237,424,363 penduduk, akan tetapi jumlah sumber daya manusia yang begitu banyak ini belum bisa memanfaatkan sumber daya alam  yang ada sehingga timbulah sebagian dari masyarakat Indonesia tersebut  tergolong kedalam penduduk miskin.
Kemiskinan itu sendiri adalah situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian  dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.[1]
1.    Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam dua hal sebagai berikut:
a.    Faktor Internal
Faktor- faktor internal ( dari dalam diri individu atau keluarga ) yang menyebabkan terjadinya kemiskinan antara lain berupa kekurangmampuan dalam hal:
1.    Fisik (misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan)
2.    Intelektual (misalnya kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan informasi)
3.    Mental emosinal ( misalnya malas, mudah menyerah, putus asa dan temperamental)
4.    Spiritual (misalnya jujur, pembohong, serakah dan tidak disiplin)
5.    Sosial psikologis (misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/stress, kurang relasi, kurang mapu mencar dukungan)
6.    Keterampilan (misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja)
7.    Asset ( misalnya tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja).
b.    Faktor Eksternal
Faktor–faktor eksternal (berada diluar individu atau keluarga) yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, antara lain :
1.    Terbatasnya pelayanan sosial dasar
2.    Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah
3.    Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal
4.    Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro
5.    Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak
6.    Sistem mobilitasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang optimal (seperti zakat)
7.    Dampak sosial negatif dari program penyesuaian structural ( structural adjustment program/SAP)
8.    Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan
9.    Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana
10. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material
11. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata
12. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.
2.    Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan.
Menurut hipotesis Kuznets pada tahap awal dari proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan orang miskin berangsur-angsur berkurang. Hal ini menggambarkan relasi antara pertumbuhan output agregat dan kemiskinan. Elastisitas dari ketidak merataan dalam distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan pendapatan adalah satu komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya berkolerasi dengan pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN, tetapi juga dengan pertumbuhan output disektor-sektor ekonomi secara individu. Menurut studi Ravallion dan Datt (1996) menemukan bahwa pertumbuhan output disektor-sektor primer khususnya pertanian jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sector-sektor sekunder. Dari hasil teori diatas dapat dikatakan bahwa sector pertanian sangat efektif untuk mengurangi kemiskinan di LDCs.
3.    Dua Belas Program Pengentasan Kemiskinan
Semenjak tahun 2007 dimana dikeluarkanya 12 program pengentasan kemiskinan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyuno, penduduk miskin ini setiap tahunya semakin berkurang dapat dilihat pada tabel berikut;
Tahun
Jumlah penduduk miskin
Persentase (%)
2012
28.594.600
11,66
2011
30.018.930
12,49
2010
31.023.400
13,33
2009
32.530.000
14,15
2008
34.963.300
15,42
2007
37.168.000
16,58
Program pengentasan kemiskinan tersebut terdiri dari:
1.    Bantuan Langsung Tunai.
2.    Swasembada pangan.
3.    Bantuan pendidikan.
4.    Bantuan kesehatan.
5.    Meningkatkan pembangunan perumahan rakyat.
6.    Melanjutkan pemberian kredit mikro dan dana bergulir untuk koperasi, usaha kecil dan menengah.
7.    Bantuan untuk petani.
8.    Bantuan untuk nelayan dan sektor perikanan.
9.    Peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil.
10. Peningkatan kesejahteraan buruh.
11. Bantuan untuk penyandang cacat.
12. Pelayanan publik yang lebih baik.


B.   PEMBAHASAN
Pada Makalah ini akan dibahas mengenai tiga program pengentasan kemiskinan, yaitu:
1.    Bantuan Langsung Tunai.
2.    Bantuan pendidikan.
3.    Bantuan kesehatan.

1. Bantuan Langsung Tunai
Pada tanggal 31 Januari 2007 Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam pidatonya di Istana Negara mengeluarkan 12 program pengentasan kemiskinan, salah satunya adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang mana pada tahun 2013 ini BLT tersebut berganti nama menjadi BLSM (Bantua Langsung Sementara Masyarakat). BLSM juga merupakan salah satu bentuk kompensasi dari pengurangan subsidi BBM, yang harga semula Premium adalah Rp4500,- menjadi Rp6500,- dan Solar yang harga semula adalah Rp4000,- Menjadi Rp5500,-.
BLSM disalurkan dengan tujuan untuk mencegah penurunan daya beli masyarakat dan kompensasi menyusul pengurangan subsidi BBM, karena pengurangan subsidi menyebabkan kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehingga daya beli masyarakat menurun terutama masyarakat miskin. Untuk itulah BLSM disalurkan. BLSM diberikan kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS) yaitu Rumah Tangga Miskin (RTM) yang ditandai dengan Kartu Perlindungan Sosial.
SUMBER DATA KARTU PERLINDUNGAN SOSIAL adalah Data Rumah Tangga Sasaran (RTS) bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT) yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Pendataan RTS telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu: Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) pada tahun 2005, Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) pada tahun 2008, dan yang terakhir PPLS pada tahun 2011.
Dalam rangka meningkatkan keakuratan data RTS, metodologi pendataan RTS disempurnakan, yang mana penyempurnaan metodologi tersebut dikoordinasikan oleh TNP2K. Pendataan di lapangan untuk mencacah seluruh karakteristik Rumah Tangga sasaran dilakukan oleh BPS. Hasil pencacahan tersebut disampaikan kepada TNP2K untuk diolah sehingga menghasilkan 40% data Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Data tersebut kemudian dikelola sebagai Basis Data Terpadu (BDT).
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), diputuskan bahwa KPS diberikan kepada 25% Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Sebagaimana diketahui, bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan September 2012 adalah 11,66%. Maka, pemberian KPS tidak hanya mencakup mereka yang miskin namun juga mencakup mereka yang rentan.[2]
NO.
NAMA
PROPINSI
RTS TAHAP I
RTS TAHAP II
SELISIH RTS
TAHAP I DAN II
1.
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
   356,720
   353,434
  3,286
2.
SUMATERA UTARA
   746,220
   730,711
15,509
3.
SUMATERA BARAT
   275,431
   266,960
  8,471
4.
RIAU
   227,656
   214,350
13,306
5.
JAMBI
   162,779
   155,730
  7,049
6.
SUMATERA SELATAN
   419,579
   413,224
  6,355
7.
BENGKULU
   121,574
   116,059
  5,515
8.
LAMPUNG
   573,954
   559,396
14,558
9.
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
     41,635
     41,458
     177
10.
KEPULAUAN RIAU
     64,732
     60,819
  3,913
11.
DKI JAKARTA
   226,462
   217,280
  9,182
12.
JAWA BARAT
2,615,790
2,588,935
26,855
13.
JAWA TENGAH
2,482,157
2,444,667
37,490
14.
D I YOGYAKARTA
   288,391
   283,462
  4,929
15.
JAWA TIMUR
2,857,469
2,761,558
95,911
16.
BANTEN
   526,178
   520,134
  6,044
17.
BALI
   151,924
   148,667
  3,257
18.
NUSA TENGGARA BARAT
   471,566
   470,431
  1,135
19.
NUSA TENGGARA TIMUR
   421,799
   419,778
  2,021
20.
KALIMANTAN BARAT
   233,922
   232,024
  1,898
21.
KALIMANTAN TENGAH
      83,711
     82,659
  1,052
22.
KALIMANTAN SELATAN
   161,592
   154,689
  6,903
23.
KALIMANTAN TIMUR
   147,718
   143,775
  3,943
24.
SULAWESI UTARA
   161,089
   156,156
  4,933
25.
SULAWESI TENGAH
   201,239
   199,391
  1,848
26.
SULAWESI SELATAN
   484,617
   460,247
24,370
27.
SULAWESI TENGGARA
   158,716
   158,480
     236
28.
GORONTALO
     89,918
     89,487
     431
29.
SULAWESI BARAT
     75,453
     75,328
     125
30.
MALUKU
   119,825
   119,663
     162
31.
MALUKU UTARA
     55,531
     55,531
         0
32.
PAPUA BARAT
     90,547
     90,547
         0
33.
PAPUA
   435,003
   435,003
         0

Total RTS Tahap I dan II
     15,530,897
     15,220,033
       310,864

Dalam pelaksanaanya, pemberian BLSM mengalami banyak masalah diantaranya adalah dalam hal pendataan, masih banyak RTS yang tidak sesuai. Hal ini dikarenakan pada pendataan daerah masih banyak yang menggunakan data lama, dan terjadinya proses Kolusi dan Nepotisme. Misalnya saja aparat desa yang memasukkan nama-nama keluarganya dalam RTS, padahal masih banyak keluarga lain yang lebih berhak menerima bantuan tersebut. Sehingga dapat dikatakan program BLSM dari pemerintah tidak tepat sasaran dan kurang berjalan lancar.

2. Bantuan Pendidikan
Bantuan pendidikan di Indonesia dilaksanakan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pada tahun 2003 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar atau wajib belajar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat.
Salah satu indikator penuntasan program Wajib Belajar 9 Tahun dapat diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) SD dan SMP.  Pada tahun 2005  APK SD telah mencapai 115%, sedangkan SMP pada tahun 2009 telah mencapai 98,11%, sehingga program wajar 9 tahun telah tuntas 7 tahun lebih awal dari target deklarasi Education For All (EFA) di Dakar. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan secara signifikan dalam percepatan pencapaian program wajib belajar 9 tahun. Oleh karena itu, mulai tahun 2009 pemerintah telah melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi program BOS, dari perluasan akses menuju peningkatan kualitas.
Pada tahun 2012 Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mengalami perubahan mekanisme penyaluran dan. Pada tahun anggaran 2011  penyaluran dana BOS dilakukan melalui mekanisme transfer ke daerah kabupaten/kota dalam bentuk Dana Penyesuaian untuk Bantuan Operasional Sekolah, mulai tahun anggaran 2012 dana BOS disalurkan dengan mekanisme yang sama tetapi melalui pemerintah provinsi.[3]
Berikut adalah rekap dana pada tahun 2011 triwulan Juli-September:
NO
Provinsi
Alokasi SD
Penyaluran SD
Alokasi SMP
Penyaluran SMP
Total Alokasi
Total Penyaluran
1
ACEH
Rp 206.579.531
Rp 19.494.311
Rp 116.509.630
Rp 11.992.174
Rp 323.089.161
Rp 31.486.485
2
BALI
Rp 168.328.156
Rp 21.930.716
Rp 100.345.785
Rp 12.962.119
Rp 268.673.941
Rp 34.892.835
3
BANTEN
Rp 498.430.543
Rp 106.981.936
Rp 219.708.275
Rp 45.926.738
Rp 718.138.818
Rp 152.908.673
4
BENGKULU
Rp 90.242.061
Rp 8.767.348
Rp 48.489.910
Rp 4.358.078
Rp 138.731.971
Rp 13.125.426
5
D.I. YOGYAKARTA
Rp 118.440.991
Rp 24.003.913
Rp 73.919.405
Rp 14.634.916
Rp 192.360.396
Rp 38.638.829
6
GORONTALO
Rp 57.720.779
Rp 11.021.553
Rp 25.114.475
Rp 4.913.041
Rp 82.835.254
Rp 15.934.594
7
JAKARTA
Rp 339.633.173
Rp 76.109.900
Rp 213.086.655
Rp 47.161.500
Rp 552.719.828
Rp 123.271.400
8
JAMBI
Rp 163.019.363
Rp 32.552.950
Rp 69.513.860
Rp 13.548.821
Rp 232.533.223
Rp 46.101.772
9
JAWA BARAT
Rp 1.920.738.008
Rp 336.379.791
Rp 954.671.320
Rp 167.711.105
Rp 2.875.409.328
Rp 504.090.896
10
JAWA TENGAH
Rp 1.378.099.453
Rp 317.506.235
Rp 761.502.030
Rp 175.907.399
Rp 2.139.601.483
Rp 493.413.633
11
JAWA TIMUR
Rp 1.300.474.261
Rp 235.843.178
Rp 728.092.550
Rp 134.049.901
Rp 2.028.566.811
Rp 369.893.079
12
KALIMANTAN BARAT
Rp 250.597.470
Rp 34.104.301
Rp 109.896.710
Rp 15.586.625
Rp 360.494.180
Rp 49.690.926
13
KALIMANTAN SELATAN
Rp 159.884.785
Rp 9.195.711
Rp 60.177.055
Rp 3.166.208
Rp 220.061.840
Rp 12.361.919
14
KALIMANTAN TENGAH
Rp 116.114.973
Rp 11.336.037
Rp 48.845.015
Rp 4.546.605
Rp 164.959.988
Rp 15.882.642
15
KALIMANTAN TIMUR
Rp 238.333.403
Rp 31.159.626
Rp 113.651.715
Rp 14.743.226
Rp 351.985.118
Rp 45.902.852
16
KEP. BANGKA BELITUNG
Rp 60.107.865
Rp 15.026.966
Rp 26.260.045
Rp 6.565.011
Rp 86.367.910
Rp 21.591.978
17
KEPULAUAN RIAU
Rp 73.089.255
Rp 16.020.714
Rp 33.043.635
Rp 7.021.353
Rp 106.132.890
Rp 23.042.066
18
LAMPUNG
Rp 366.860.115
Rp 47.996.694
Rp 183.039.705
Rp 24.422.404
Rp 549.899.820
Rp 72.419.098
19
MALUKU
Rp 99.146.181
Rp 1.865.999
Rp 52.101.995
Rp 878.228
Rp 151.248.176
Rp 2.744.227
20
MALUKU UTARA
Rp 69.244.775
Rp 10.179.684
Rp 33.461.365
Rp 5.174.196
Rp 102.706.140
Rp 15.353.881
21
NUSA TENGGARA BARAT
Rp 217.766.646
Rp 39.555.085
Rp 103.263.280
Rp 18.160.698
Rp 321.029.926
Rp 57.715.783
22
NUSA TENGGARA TIMUR
Rp 329.916.754
Rp 30.415.361
Rp 145.526.870
Rp 13.271.738
Rp 475.443.624
Rp 43.687.099
23
PAPUA
Rp 162.915.932
Rp 7.739.276
Rp 57.847.490
Rp 3.281.750
Rp 220.763.422
Rp 11.021.026
24
PAPUA BARAT
Rp 54.221.992
Rp 7.394.621
Rp 21.796.970
Rp 2.911.133
Rp 76.018.962
Rp 10.305.754
25
RIAU
Rp 304.656.542
Rp 30.821.002
Rp 128.953.705
Rp 13.050.384
Rp 433.610.247
Rp 43.871.385
26
SULAWESI BARAT
Rp 72.468.777
Rp 15.481.214
Rp 32.324.700
Rp 6.669.428
Rp 104.793.477
Rp 22.150.641
27
SULAWESI SELATAN
Rp 420.436.613
Rp 87.121.443
Rp 217.669.210
Rp 44.990.256
Rp 638.105.823
Rp 132.111.699
28
SULAWESI TENGAH
Rp 151.542.457
Rp 37.885.614
Rp 66.311.095
Rp 16.577.774
Rp 217.853.552
Rp 54.463.388
29
SULAWESI TENGGARA
Rp 139.636.353
Rp 27.974.590
Rp 66.563.755
Rp 13.331.376
Rp 206.200.108
Rp 41.305.966
30
SULAWESI UTARA
Rp 112.953.745
Rp 21.492.439
Rp 63.595.395
Rp 12.670.179
Rp 176.549.140
Rp 34.162.618
31
SUMATERA BARAT
Rp 268.948.241
Rp 31.458.104
Rp 119.778.210
Rp 14.000.270
Rp 388.726.451
Rp 45.458.374
32
SUMATERA SELATAN
Rp 371.368.289
Rp 35.845.631
Rp 185.275.190
Rp 17.007.594
Rp 556.643.479
Rp 52.853.224
33
SUMATERA UTARA
Rp 728.487.297
Rp 87.673.515
Rp 361.359.085
Rp 42.432.733
Rp 1.089.846.382
Rp 130.106.247
Sumber: http://bos.kemdikbud.go.id
Dari data tersebut terlihat betapa besarnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, akan tetapi pendidikan sembilan tahun masih dirasa kurang. Namun pada sembilan tahun tersebut pendidikan yang didapat siswa hanya pendidikan dasar. Untuk pendidikan yang lebih tinggi sendiri mengalami penurunan drastis. Dimana masyarakat yang kurang mampu mengalami kendala dana pendidikan sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Kemudian banyak pandangan terutama masyarakat desa yang masih belum berkembang, mereka lebih memilih untuk tidak melanjutkan anaknya untuk menempuh pendidikan lanjut dan mengarahkan anaknya agar langsung bekerja. Padahal untuk saat ini standar untuk mendapatkan pekerjaan semakin tinggi, jika hanya menempuh pendidikan sampai SMA tidak akan menjamin mendapat pekerjaan yang layak. Hal inilah yang menyebabkan kemiskinan karena pendapatan masyarakat masih di bawah standar. Terlihat pada tabel berikut:
Tingkat pendidikan
Angka Partisipasi Murni
SD/MI
92,43
SMP/MTs
70,73
SM/MA
51,35
PT
13,28



3. Bantuan Kesehatan
Bantuan kesehatan diberikan melalui bantuan operasional kesehatan yang adalah bantuan dana dari pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu pemerintahan kabupaten/kota melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan dengan fokus pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) melalui peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif.

No.
Indikator Kesehatan
2010
2011

1
Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan pada
30,97
29,31

2
Persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan (dokter, bidan dan tenaga medis)
79,82
81,25

3
Balita yang pernah mendapat imunisasi BCG (%)
92,73
94,85

4
Balita yang pernah mendapat imunisasi DPT (%)
89,79
89,07

5
Balita yang pernah mendapat imunisasi Polio (%)
90,56
89,34

6
Balita yang pernah mendapat imunisasi Campak (%)
77,67
76,88

7
Rata-rata lama (bulan) anak 2-4 tahun mendapat ASI
20
19,68

8
Rata-rata anak 2-4 tahun yang disusui dengan makanan tambahan
15
14,98

9
Rata-rata anak 2-4 tahun yang disusui tanpa makanan tambahan
5
4,7

10
Persentase penduduk yang mengobati sendiri
68,71
66,82

11
Persentase penduduk yang menggunakan obat tradisional
27,58
23,63

12
Persentase penduduk yang berobat jalan sebulan yang lalu
43,99
45,8

13
Persentase penduduk yang rawat inap setahun terkahir
2,51
2,1



Pada segi kesehatan ini dilihat bahwa terdapat beberapa hal yang jumlahnya meningkat dan ada juga yang jumlahnya menurun. Perkembangan pada kesehatan ini belum mengalami perkembangan yang begitu pesat, persentase anggaran untuk kesehatan pada APBN dari tahun 2005-2013 hanya berkisar pada 2%. Bahkan dari dana yang telah dianggarkan tersebut, dalam pelaksanaanya nanti masih ada kemungkinan untuk mengalami pengurangan atau pemotongan yang diakibatkan korupsi ataupun penyelewengan dana. Dalam masalah bantuan kesehatan biasanya juga terdapat kesalahan dalam administrasi saat dirumah sakit atau puskesmas, sehingga dalam pelaksanaannya masyarakat sering mengalami keterlambatan pelayanan kesehatan.
C.   KESIMPULAN
Pada program-program yang telah diselenggarakan oleh pemerintah ini sejak tahun 2007, dalam pelaksanaanya masih terdapat banyak kekurangan dan penyimpangan. Misalnya pada penyaluran dana bantuan, terdapat kesalahan-kesalahan pada pendataan penerima bantuan tersebut.
Namun secara garis besar program tersebut telah berhasil untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia,  terlihat pada tabel berikut:

Tahun
Jumlah penduduk miskin
Persentase (%)
2012
28.594.600
11,66
2011
30.018.930
12,49
2010
31.023.400
13,33
2009
32.530.000
14,15
2008
34.963.300
15,42
2007
37.168.000
16,58

Dari berhasilnya program-program tersebut dalam mengurangi angka kemiskinan, maka sebaiknya program-program tersebut tetap dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan pada saat pelaksanaanya di lapangan. Sehingga penyaluran bantuan dalam pengentasan kemiskinan tersebut tepat sasaran dan masyarakat merasakan hasil dari program pemerintah tersebut.


[1] KBBI
[2] http://www.kompensasi.info/
[3] http://bos.kemdikbud.go.id

No comments:

Post a Comment