Hidayat Nur Wahid |
DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A
adalah politisi, uztad dan cendekiawan yang bergaya
lembut serta menge-depankan moral dan dakwah. Sosoknya semakin dikenal
masyarakat luas setelah ia menjabat Presiden Partai Keadilan (PK), kemudian
menjadi Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini memperoleh suara
signifikan dalam Pemilu 2004 yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR 2004-2009.
Kepemimpinnya memberi warna tersendiri dalam peta perpolitikan nasional. Setelah terpilih menjadi Ketua
MPR, dia pun mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP PKS, 11 Oktober
2004. Majelis Surya DPP PKS memilih Tifatul Sembiring menggantikannya sampai
akhir periode (2001-2005). Sudah menjadi komitmen partainya, setiap kader tidak
pantas merangkap jabatan di partai manakala dipercaya menjabat di lembaga
kenegaraan dan pemerintahan (publik). Hal ini untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan jabatan. Sekaligus untuk dapat memusatkan diri pada jabatan di
lembaga kenegaraan tersebut.
Dosen
Pasca Sarjana UAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah bercita-cita
jadi politisi. Namun setelah memasuki kegiatan politik praktis namanya melejit,
bahkan dalam berbagai poling sebelum Pemilu 2004 namanya berada di peringkat
atas sebagai salah seorang calon Presiden atau Wakil Presiden. Namun dia mampu
menahan diri, tidak bersedia dicalonkan dalam perebutan kursi presiden kendati
PKS dengan perolehan suara 7 persen lebih dalam Pemilu Legislatif berhak
mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Dia menyatakan akan
bersedia dicalonkan jika PKS memperoleh 20 persen suara Pemilu Legislatif.
Lelaki
40 tahunan ini tak berubah dari watak aslinya meski berada di pucuk pimpinan
partai. Pria yang dikenal berpenampilan sederhana dan ramah, ini masih saja
ikut bermain sepak bola bersama masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Tidak
satu atau dua kali saja tetapi menjadi kegiatan rutin. Ia kelihatan sangat
menikmati sepak bola itu. Sehingga setiap hari Ahad pagi, bila berada di rumah,
nyaris tidak pernah dilewatkan untuk bermain bola dengan anak-anak muda di
kawasan tempat tinggalnya, Komplek Iqro’, Jati makmur Pondok Gede. Usia yang
terpaut puluhan dengan pemain lainnya tidak menyebabkannya canggung.
KEDALAMAN
Hidayat
Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379
Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal
dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah
di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul
Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat,
adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.
Hidayat
Nur Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nur Wahid sendiri
adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini kelak menjadi
petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena menilai Hidayat Nur
Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi adik-adiknya. Lebih dari itu,
Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan
pejabat di Indonesia.
Keluarga
Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni
Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali
karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala
Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai
guru TK ketika anak keduanya lahir.
Pendidikan dan pengalaman organisasi
serta jabatan yang pernah diembannya adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan
·
SDN Kebondalem Kidul I, Prambanan, Klaten
(1972)
·
Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo, Jawa Timur
(1973)
·
Pondok Modern Modern Darussalam, Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur (1978)
·
IAIN Sunan Kalijaga, Fakultas Syariah,
Yogyakarta (1979)
·
Universitas Islam Madinah, Arab Saudi,
Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Saudi Arabia; (1983)
·
Program Pasca Sarjana Universitas Islam
Madinah Arab Saudi, jurusan Aqidah (1987)
·
Program Doktor Pasca Sarjana Universitas
Islam Madinah, Arab Saudi, Fakultas Dakwah dan Ushuludiin, Jurusan Aqidah
(1992)
2. Organisasi
·
Anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) (1973)
·
Andalan Koordinator Pramuka Gontor bidang
kesekretariatan (1977-1978)
·
Training HMI IAIN Yogyakarta (1979)
·
Sekretaris MIP PPI Madinah Arab Saudi
(1981-1983)
·
Ketua I Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
Saudi Arabia (1983-1985)
·
Peneliti LKFKH (Lembaga Kajian Fiqh dan
Hukum) Al Khairot
·
Ketua Umum LP2SI (Lembaga Pelayanan Pesantren
dan Studi Islam) Al-Haramain Jakarta (sejak 1993)
·
Anggota Pengurus badan Wakaf Pondok Modern
Gontor (1999)
·
Pengurus Islamic Center IQRO Bekasi
·
Ketua Dewan Pendiri Partai Keadilan (PK)
·
Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan
(1998-1999)
·
Anggota Steering Commitee IIFTIHAR untuk
International Seminar and Workshop on Islamic Economics (1999)
·
Presiden Partai Keadilan (PK) dan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) (2000-2004)
·
Ketua Majelis Syuro Ikatan Da’i Indonesia
(IKADI)
·
Ketua Forum Dakwah Indonesia
·
Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI (2005-2010)
·
Anggota Dewan Pembina Persatuan Pedalangan
Indonesia (PEPADI)
·
Wakil Ketua Wali Amanat Al Quds Foundation
yang diketuai Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al Qaradhawy
·
Anggota Badan Wakaf Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta.
·
Ketua Dewan Pembina Bulan Sabit Merah
Indonesia (BSMI)
3. Pekerjaan:
·
Dosen Pasca Sarjana Magister Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
·
Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
·
Dosen Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah
JakartaDosen Fakultas Ushuluddin (Program Khusus) IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
·
Dosen Pasca Sarjana Universitas
Asy-Syafi’iyah, Jakarta
·
Ketua LP2SI (Lembaga Pelayanan Pesantren dan
Studi Islam) Yayasan Al-Haramain, Jakarta
·
Dewan Redaksi Jurnal Kajian Islam Ma’rifah
Jakarta
·
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Indonesia (MPR RI) (2004-2009)
Usai
lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok
Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana
diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain
berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini
tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak dewasa sampai kini yang
menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam berpolitik dan juga
dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum
masuk Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam pendidikan
di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh
salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia dapatkan di
Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di
Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan
menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi.
Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut
Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di Lembaga
Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat Nur Wahid
adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa
prosedur tes.
Kecerdasan
Hidayat Nur Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon
Dalem Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, Hidayat
mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah.
Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho kegemarannya, ia juga
membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarga. Kebiasaan dari
kecil itu masih berlanjut sampai sekarang. Kini di ruang perpustakaannya, ada
lebih dari lima lemari besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris,
maupun Indonesia.
Selama
menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti banyak kegiatan.
Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga mengikuti kajian sastra,
hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga diangkat menjadi Staf Andalan
Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika duduk di kelas V Pondok
Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia
(PII).
Selepas dari Gontor tahun 1978,
Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa seorang mantri di PKU
Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Namun
akhirnya ia mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di
kampus ini Hidayat Nur Wahid sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI).
Setahun
kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam Madinah
dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur Wahid pernah berurusan
dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Hidayat
Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun 1983
dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai S-1, awalnya
ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa
namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir
ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan
program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia,
Ard wa Dirasah.
Selepas
S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air, namun
kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah
seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi S-3 dengan
judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah.Melihat
seluruh riwayat pendidikan akademisnya, kecuali SDN Kebon Dalem Kidul, tampak
Hidayat Nur Wahid tercermin sebagai seorang ahli dalam agama Islam.
Sebagai
bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah konsep
yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma
keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam
kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan
Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada era
1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di
Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah
mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung,
Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’
mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb,
Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga
Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam,
seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Gerakan ini mendapat
kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur Tengah mulai tahun 1988,
seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur
Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim. Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998
melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama
Partai Keadilan(PK).
Selepas
pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya, Hidayat
Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan
yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan
Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya
terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat
dimana ia menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan
sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema
pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai
seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat
kepada Cak Nur.
Dalam
pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid memandang Cak Nur sebagai sosok
yang ingin menghadirkan Islam dan Umat Islam yang bisa diterima secara elegan
oleh semua masyarakat dunia, dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi,
menginternasional, dan universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada
pencerahan, bukan Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya.
Meskipun pada beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar
jika ia tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.
Hidayat Nur Wahid juga pernah
menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh
dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan
Wakaf Pondok Modern Gontor.
Dalam bidang akademis, sebagai
bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan
diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada
Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat
sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
dan dosen pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena
perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya
mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat
Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik, untuk memimpin demonstrasi terbesar di
Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak
(KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke
Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas
permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat
Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum
Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis,
akademisi, dan tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif,
Frans Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan
Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah
Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini
disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada
waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal,
di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina.
Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut
dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang
ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi
konflik horizontal tersebut. Sebagai
seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari
oleh perspektif religiusnya.
Dalam konteks politik, nama Hidayat
Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai
Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas
jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan
Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh
Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan
Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.Sebelum menjabat
sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan
Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid
dikenal sebagai dewan pendiri.
Hidayat
Nur Wahid memiliki empat anak dari istri pertamanya (Almarhumah) Hj.
Kastian yaitu Inayatu Dzil Izzati, Ruzaina, Alla Khairi, dan Hubaib
Shidiqi. Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang
wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat Nur Wahid menikah lagi melalui proses
ta’aruf, dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu
dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah. Aktivitas Sosial dan Politik dan dikaruniai satu orang putra yaitu Nizar Muhammad
1. Kelebihan
a. Pengalaman
di kelompok agama membentuk karisma positif dan keparcayaan oleh
organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh agama islam.
b. Pendidikan
yang sangat baik pada bidang Agama Islam.
c. Mempunyai
pengalaman yang banyak di bidang politik dan ketatanegaraan.
2. Kekurangan
a. Pendidikan
yang di jalani hanya pada bidang agama.
b. Sudah
tidak memilki jabatan di Partai politik
Hidayat Nur Wahid, kemungkinan untuk mengikuti pemilihan presiden pada 2014
sangat kecil. Karena Hidayat N.W. tidak lagi mempunyai jabatan di partai
politik. Namun, kesempatannya untuk maju ke pemilihan presiden pada 2014 masih
ada karena kepercayaan masyarakat terhadapnya masih kuat walaupun hanya
masyarakat yang beragama islam saja.
Dengan
terpilihnya Hidayat Nur Wahid
sebagai Presiden, dia akan memanfaatkan kemampuannya dalam mengorganisasi massa
agar massa dapat pro dengan kebijakannya. Serta akan lebih memperhatikan
problem sosial yang pada saat ini menjadi problem besar presiden SBY.
Hidayat Nur Wahid adalah mantan Ketua Umum PKS, sehingga
dikhawatirkan jika dia terpilih nanti akan berusaha untuk mewujudkan keinginan
Organisasi yang menjadi induk PKS, yaitu untuk mendirikan negara Islam di
Indonesia tapi sangat kecil kemungkinannya dikarenakan dia
merupakan sesosok orang yang sangat nasionalisme .
No comments:
Post a Comment